Dibalik Deklarasi Univeristas

MEDANHEADLINES – Setidaknya, dalam enam bulan terakhir (Desember 2016-Juli 2017), sudah tiga kali berbagai Universitas melakukan deklarasi sifatnya Nasional merespon berbagai hal memprihatinkan di tanah air. Tidak main-main ketiganya di gawangi oleh ratusan  Profesor/Guru Besar yang “pasang badan” mendukung masing-masing acara tersebut.

Deklarasi yang baru saja dilakukan yaitu Deklarasi 300 Rektor dan perwakilan mahasiswa Negeri dan Swasta di UPVN Jawa Timur di Surabaya terkait larangan kegiatan di kampus yang bertentangan dengan empat pilar kebangsaan dan radikalisme/terorisme serta menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945, cinta tanah air dan bela bangsa demi keutuhan NKRI (Kamis, 6 Juli 2017).

Masih segar dalam ingatan kita, sekitar sebulan yang lalu juga dilakukan Deklarasi oleh 153 Profesor/Guru Besar mendukung KPK untuk menghadapi hak angket, yang mengambil tempat di Universitas Gadjah Mada/UGM (Senin, 19 Juni 2017).

Sebelumnya lagi, penghujung 2016 juga telah dilakukan Deklarasi oleh 300 Antropolog situasi kehidupan kebangsaan di Indonesia dimana para Antropolog tersebut berkumpul di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada/UGM (16 Desember 2016) untuk menganalisis perkembangan situasi sosial terkini dan mendeklarasikan situasi “Darurat Ke-Indonesiaan”.

Dari ketiganya kelihatan Universitas sedang memberi sign kepada masyarakat terkait dengan keberadaannya dan mungkin juga fungsinya. Mungkin ada pentingnya menelusuri maksud Univeristas dan menelisik keberadaannya saat ini.

Ada Apa dengan Universitas?

Universitas kedudukannya jelas sangat krusial dan strategis dalam suatu negara-bangsa modern. Sebabnya, dari rahim universitaslah dilahirkan para “pelaku” pembangunan, mulai dari perencana, pelaksana, hingga evaluator. Dalam pandangan kaum rasionalis, Universitas adalah simbol tegaknya supremasi rasionalitas manusia, munculnya manusia otonom bebas dari dogma dan adat, dalam rangka menuntun dan menunjuki jalan umat manusia di muka bumi.

Dalam konteks ideologis, Universitas sesungguhnya adalah laksana “tuhan” yang melahirkan “nabi-nabi” modern. Alumni Universitaslah yang diharapkan tampil ditengah-tengah masyarakat untuk membimbing manusia, memberi jalan terang, memberi cahaya kepada rakyat ketika gelap, memimpin umat manausia dalam menapaki perjalanan kehidupan di kolong jagad.

Karena itu menurut Setyowati (Kompas, 23 Mei 2017), tugas Universitas selain untuk mengisi pikiran manusia dengan ilmu-ilmu pengetahuan yang pada gilirannya berguna untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi alam, juga mestinya mengisi nilai-nilai moral yang menjunjung tinggi kebhinnekaan, kebangsaan, menjaga gerbang kebenaran, dan mengatasi berbagai masalah ditengah masyarakat.

Namun sebagaimana yang sudah disinyalir banyak kalangan, Universitas kini justru menjadi sumber masalah baik kepada dirinya sendiri maupun kepada bangsanya. Ditengah kesibukannya mengejar predikat sebagai universitas kelas dunia (UKD), Universitas lupa akan kesibukannya sebagai penjaga moral, pengawal kehidupan kebangsaan yang adil dan beradab.

Tanpa disadari, benih-benih intoleransi, radikalisme, terorisme, korupsi justru telah akrab dengan lingkungan Universitas. Semua civitas akademika ternyata hanyalah “manusia biasa” belaka yang juga doyan korup, doyan amoral, bersikap intoleran, setuju dengan radikalisme juga terorisme, juga tak perduli lagi dengan kerusakan alam dan moral bangsa yang kian parah. Praktis semua kejahatan di negara-bangsa tak lepas dari para alumninya.

Hal ini memperkuat sinyalemen selama ini bahwa pada zaman modern ini hanya orang pintar yang bisa melakukan kejahatan. Sebab tak mungkin, orang yang tak sekolahan sanggup mengkorup Hambalang, Century, BLBI, e-KTP, melakukan reklamasi, membalak ribuan hektar hutan, dan melakukan money politic. Wajar jika orang tak sekolah hanya bisa curi kambing, sandal jepit, pisang, ubi, demi sesuap nasi.

Karena itu Deklarasi Universitas bisa bermakna ganda yaitu pertama, bahwa Universitas masih dipandang sebagai institusi yang penting dalam dunia modern saat ini utamanya dalam konteks penjaga moral. Sehingga dengan Deklarasi, Universitas mempertegas posisi dan sikapnya yang anti terhadap setiap kejahatan. Selain juga menggambarkan bahwa Universitas merasa terpanggil dan masih menempatkan posisinya selaku “pembimbing” dan “penuntun” rakyat. Moga-moga dengan Deklarasi ada satu-dua rakyat yang ikut.

Kedua, Deklarasi juga bisa berarti sebagai pernyataan keprihatinan bahwa Universitas justru adalah pihak yang mesti juga diselamatkan. Sebab Universitas adalah bahagian dari instrumen global yang juga bekerja sesuai dengan kehendak “global”.  Betapapun Universitas berkembang dan tumbuh di dunia, George Orwell (1949) mengatakan bahwa dunia kita saat ini justru bergerak tanpa standar kebenaran. Mengapa? Sebab semua kebenaran hanyalah suatu manipulasi yang diubah menjadi fakta oleh para penguasa yang bisa menjelma sebagai pemerintah, pengusaha/perusahaan atau kelompok dominan lainnya.

Sekretaris BNPT mengemukakan bahwa pada hari ini Universitas tidak luput dari sasaran berbagai kejahatan. Kaum intelektual bisa saja terlibat dalam kejahatan apapun. Menurut Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohammad nasir, tanggung jawab Universitas untuk menjadikan mahasiswa memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi penting untuk dicapai, namun tanggung jawab untuk menjadikan mahasiswa bertanggung jawab pada bangsanya yang menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945 juga sangat penting untuk dijiwakan.

Menurut Setyowati ditengah ke-Indonesiaan yang semakin kabur, justru peran aktif Universitas mengatasi masalahnya tidak terlihat. Tidak kelihatan posisi Universitas, keberaniannya dan keberpihakannya dalam situasi dan kondisi krisis kebangsaan. Padahal menurutnya, para Dosen dan Mahasiswa mesti memperjuangkan merah-putih sejak dalam pikirannya.

Terakhir Yudhi Latif berpendapat bahwa sasaran untuk melakukan Pembinaan Ideologi Pancasila justru ke depan menyasar kelompok-kelompok adat, atau komunitas-komunitas sosial, dan tidak lagi mesti bertumpu pada Perguruan Tinggi atau Universitas. Dan Pembinaan Ideologi Pancasila juga tidak akan dilakukan mirip dengan Penataran P4 sebagaimana yang dilakukan zaman Orde Baru yang juga berlaku di Universitas yang jelas-jelas telah gagal.

Ignas Kleden mengutip perkataan Bung Karno dalam bahasa Belanda “Kennis zonder daad is doelloos. Daad zonder kennis is richtingloos”. Maksudnya, pengetahuan tanpa perbuatan adalah tanpa tujuan, sementara perbuatan tanpa pengetahuan adalah tanpa arah/sesat (Kompas, Rabu, 21 Juni 2017).

Intinya, Universitas hanya akan bermanfaat ketika ia memiliki dua nilai sekaligus yaitu nilai pengetahuan dan nilai perbuatan. Dimana, dimaksud dengan pengetahuan itu tidak hanya berisi ilmu pengetahuan belaka melainkan juga berisi nilai-nilai moral yang terpuji serta mulia. Nilai pengetahuan yang didasari atas nilai moral yang terpuji serta mulia inilah yang mestinya dipraktekkan di tengah-tengah masyarakat. Sehingga masyarakat benar-benar akan memperoleh manfaat yang nyata dari keberadaan Universitas. Tanpa menyandingkan keduanya Universitas tak lebih seperti richtingloos, berjalan tanpa tujuan. Deklarasi boleh saja diperbanyak, namun jangan richtingloos.

 

Dadang Darmawan M.Si

Dosen FISIP USU

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.