MEDANHEADLINES.COM – Setiap Aslah melempar senyum atau melirik atau keduanya dilakukan bersamaan, ada saja yang jatuh, terjerembab atau terguling-guling.
“Kan hanya sekedar terguling,”
“Sekedar katamu? Bagaimana kalau terguling-guling di aspal atau di sungai berbatu tajam? Siapa bisa membayangkan seberapa luka sudut-sudut tubuh yang terguling-guling itu? Mungkin saja setelah itu dia koma karena kepalanya terantuk batu,” tanya Rubi, teman lelaki Aslah. Ingat, hanya teman.
“Hanya koma,”
“Loh, koma itu sekarat,”
“Koma itu berlanjut, masih akan berlanjut,”
Aslah tahu betul itu koma yang dimaksud Rubi: pengertian medis yang berarti sekarat dan berada di persimpangan garis nadir. Bisa saja koma berakhir dengan titik panjang: mati. Aslah hanya mencoba mengalihkan pembicaraan Rubi.
Kembali ke soal jatuh dan terjerembab. Nah, senyum dan lirikan Aslah berdaya magnet tinggi. Walau tidak berlaku untuk semua, tapi kebanyakan: itu berarti rata-rata.
Ketika setiap Aslah berdiri-diri atau duduk-duduk atau ngobrol dengan pelanggannya di pinggir trotoar atau di halte atau di depan kampus, dan ada yang melintas dan menyaksikan ia tersenyum kemudian melirik: kebanyakan berakhir terjatuh, atau setidaknya terjerembab.
Sebentar. Ada yang terlewat: menjelaskan siapa Aslah. Dia perempuan beranak satu yang ditinggal suami setahun lalu. Lantas Aslah memilih menjadi penjual gorengan, tepatnya goreng pisang yang terkenal yahud. Tentu dalam arti bahwa rasa gorengan bukan segala-galanya alasan mendasar menyebut yahud atau tidak, tapi juga sebab siapa penggorengnya.
Aslah berdagang gorengan dengan gerobak portable. Dan dimanapun Aslah memarkirkan gerobaknya, keramaian dengan tangkas menghampiri. Tema seputar Aslah dan yahudnya pisang goreng mendapat tempat di antara hiruk pikuk perbincangan: termasuk gejolak politik.
Oke. Kembali ke soal jatuh dan terjerembab yang ditekankan Rubi, bahwa sesuatu yang celaka tetap saja akibat dari sesuatu yang negatif.
“Kan hanya luka ringan,” jawab Aslah kepada Rubi yang terus menyerocos menyalahkan.
“Berhentilah kau hanya melihat akibatnya Aslah, tapi penyebabnya, penyebabnya, dan berhentilah melukai siapapun. Kau pun usahakanlah ada kontrakanmu, biar jangan di pinggir jalan kau jualan,”
“Bukan salahku, tapi salah mereka kan Rubi?”
“Ah, terserahlah, aku sebagai teman sudah mengingatkanmu,”
Aslah tak peduli. Ia terus menggoreng pisang, lalu tersenyum dan melirik siapa saja yang melintas. Dan peristiwa jatuh-terjerembab terus terjadi, setiap hari. Terguling-guling dan masuk parit juga sering.
***
Karena Rubi terus menasehati dan cenderung menyudutkan, Aslah akhirnya takluk. Ia setuju usul Rubi agar menjual gorengan dengan menetap saja dan tak lagi berpindah-pindah. Tapi kendalanya, modal Aslah tak cukup mengontrak kios tak jauh dari kampus.
Mujur tak kemana, seorang pengusaha koperasi jalanan, Pram, akhirnya bersedia memberi solusi. Ia menawarkan modal tanpa bunga dan boleh mencicil kapan saja.
“Asal, setiap aku singgah, gorengan juga gratislah neng,” kata Pram. Alisnya terangkat dua kali dan dibalas senyum oleh Aslah. Senyum kemenangan.
Pram, bukan tanpa alasan bermurah tangan memberi segepok uang. Ia juga pernah jatuh dan terjerembab saat melintas-melirik senyum Aslah. Sejak saat itu ia rutin mendatangi Gerobak Aslah: dimanapun.
Dan berkat Pram, kini gerobak sudah dijual dan kios telah dikontrak tak jauh dari gerbang kampus. Kios diberi nama dari ide Pram: “Kios Gorenglah”.
“Gorengan Aslah, ha ha,” Pram tertawa. Aslah manut.
Peralatan goreng Aslah juga terbaharu dan serba metal anti karat. Kursi dan meja serba plastik, dan etalase semi kaca. Di sudut kios ada speaker aktif. Juga lampu LED warna warni.
“Ini begitu mewah Aslah, kau kayak jualan emas,” ucap Rubi sekali waktu. Aslah hanya tersenyum.
“Yang penting jangan ada lagi yang terguling-guling, jatuh dan terjerembab karenamu,” kata Rubi lagi. Aslah mendehem. “Yasudah, baik-baiklah kau ke om Pram,” kata Rubi dan pergi berlalu.
Nah, pepatah dicipta dari kehidupan untuk kehidupan. Persis. Dimana ada gula disitu ada semut. Kira-kira begitu. Walau tak ada lagi korban terguling-terjatuh dan terjerembab, gorengan Aslah tetap yahud bahkan semakin yahud. Buktinya kios serba semakin ramai saban pagi hingga malam bahkan larut. Yang datang juga kian beragam-walhasil obrolan juga semakin bermacam dan dalam, terkadang soal langit, planet atau hal remeh temeh gonjang ganjing isu politik menjelang pemilihan raya wakil rakyat. Sesekali terselip soal senyum Aslah. Menu pelengkap.
Namun Aslah terlelah. Pernah, karena harus bekerja ekstra menggoreng, Aslah merekrut seorang karyawan, juga perempuan. Namanya Hasna: tak kalah ayu. Namun sehari Hasna bekerja, kios Aslah mendadak sepi seperti kehilangan rasa. Aslah kelimpungan. Hasna di PHK.
***
Tiga bulan lamanya “Kios Gorenglah” beroperasi dengan Aslah yang kian lelah. Tapi selama itu semua berjalan lancar jaya, hingga suatu siang sepucuk surat datang dan menampilkan logo pamong di kepala surat.
“Segera pindah atau ikut digusur, tanah ini milik Riong dan sudah memenangkan gugatan di pengadilan. Ibu kami beri waktu 1×24 jam,” petik surat itu.
Aslah kecut-meradang. Pemilik kios raib. Nomor teleponnya juga tak aktif. Kontrak sudah diteken untuk dua tahun dan baru ditempati tiga bulan lebih satu hari. Ini kerugian besar investasi. Pram tentu tak akan senang.
Rencana penggusuran Kios Aslah tersiar luas. Dengan cepat orang berkumpul dan membangun kesepakatan: Kios Gorenglah harus dibela. Berbagai argumen muncul: surat dadakan, ganti rugi kontrakan hingga mekanisme penggusuran harusnya manusiawi.
Hari penggusuran tiba. Hampir seribu orang pendukung Kios Aslah berkumpul: berbaris membentuk pagar betis. Spanduk dibentang, poster ditandu, kepala dan lengan diikat pita merah jambu.
“Kios Gorenglah milik rakyat, kios ini wujud ekonomi kerakyatan, kami akan tentang penindasan,” teriak seorang pemimpin massa.
Disisi berhadapan, para petugas berseragam berbaris menunggu aba-aba. Jumlah tak kalah banyak dengan bergaya paten. Ditambah peralatan penggusuran yang barusan tiba: buldozer, maka para petugas pamong kian eksyen.
Di kejauhan Aslah terisak. Tapi ia tegar-tegarkan. Pram disebelahnya, berdiri tak kalah tegar meski dengan wajah penuh nafsi.
“Ada saatnya kita melawan Aslah, ada saatnya, soal kerugian ini kau tak usah pikirkan,” Pram bicara sembari menggenggam erat kepalnya.
***
Tak perlu lagi mengingat akhir drama penggusuran itu. Sudah bisa ditebak. Pembela Kios Gorenglah hanya bisa mengutuk dan berteriak-teriak dari jauh usai kalah dorong dorongan. Dan petugas tak peduli, Kios Aslah sudah rata. Beruntung semua alat penggorengan sudah diungsikan ke rumah Rubi, temannya itu. Kecuali lampu LED. Tak terlalu penting menurut Pram.
Lantas sebulan dua hari usai penggusuran itu, Aslah tak bergeming dari kontrakannya. Ia bertahan memikirkan kepedihan kehilangan mata pencahariannya. Dan di jalanan kesedihan juga terjadi karena tidak ada lagi senyum-lirik Aslah dan gorengannya yang Yahud.
Semakin kemari, Pram, sang pengusaha koperasi jalanan berpikir keras dan mendapat ide cemerlang. Aslah punya pendukung banyak. Itu berarti peluang menjadi wakil rakyat di depan mata. Lalu suatu sore, beberapa mahasiswa dan pemerhati politik dan Pram tentunya, mendatangi Aslah di kontrakannya.
“Pemilihan raya akan dimulai, kami mendukungmu maju menjadi calon wakil kami,” ucap seorang pemuda. Aslah terbengong dan bingung.
“Syaratnya, setelah mbak Aslah duduk nanti, mbak harus rutin menggoreng pisang untuk kami dan tersenyumlah lagi,”
Aslah antap dalam pasal tak tahu menahu. Menggoreng pisang memang keahliannya, tapi bukan menggoreng kata atau isu apalagi berbicara di mimbar. Aslah buta soal politik. Namun ia pasrah dan tak menolak karena dukungan sudah bulat dalam jumlah banyak. Apalagi, Pramlah yang mengatur skenario dan terus menguatkan Aslah, menjadi wakil rakyat adalah cara membalas kemarahan buat pamong penggusur.
“Tamatanku cuma SMA mas Pram,”
“Sejak kapan wakil rakyat bersyarat sarjana?” Kata Pram sembari tertawa.
Tim segera dibentuk. Partai membuka peluang karena melihat pendukung Aslah yang militan dan gegap. Lantas strategi mulai dijalankan. Relawan berdatangan. Daya tarik pisang goreng Aslah jadi menu sekaligus di setiap perekrutan: menu diskusi dan menu makanan. Dan tak sulit, dua ribu lebih relawan sudah terdata. Padahal syarat duduk hanya seribu tujuh ratus suara. Sementara kampanye luar ruang juga berdaya tarik tinggi: senyum Aslah dan Pisang goreng.
“Kita menang di atas kertas, semangat,” seru Pram di grup pesan singkat yang dibuat khusus sebagai media bertukar informasi antar relawan. Wajah Aslah dengan senyuman jadi profil grup. Supaya semangat.
Hari pemilihan-pun telah tiba. Aslah diminta cukup tenang saja di rumah menggoreng pisang dalam jumlah banyak dan menunggu kabar bahagia. Relawan akan mengatur semuanya. Dan perjuangan tak sia-sia. Aslah dipilih ribuan orang di banyak titik pengumpulan suara.
“Aslah, kau dipilih dari banyak yang terpilih,” Rubi datang tergopoh memberi kabar.
Mata Aslah berkaca-kaca haru. Bukan karena dia terpilih, tapi sebab memikirkan apa yang harus ia lakukan jika sudah terpilih. Selama relawan direkrut dan kampanye, Aslah hanya kebagian tugas menggoreng dan tersenyum. Itu saja. Saat ada obrolan tentang strategi politik, dia bengong dan hanya mengerti sedikit.
Tapi ia tetap tenang, karena ada Pram dan Rubi yang akan membantunya. Dua lelaki yang selama ini bersetia kapanpun ia butuhkan. Aslah lalu menyeka matanya dan tersenyum.
“Ini bawalah goreng pisang ini dan bagi-bagikanlah,”
“Siap ibu dewan,”
***
Aslah menebar senyum sepanjang berjalan di tengah gedung wakil rakyat yang megah. Pram dan Rubi mengawalnya. “Jangan melirik,” bisik Rubi sepanjang jalan.
Aslah berkebaya dengan motif unik: pisang goreng. Sanggul di kepalanya melengkapi ke-ayuan-nya. Gedung rakyat yang dominan para wakil rakyat berkelamin lelaki penuh takjub dan memberi tepukan. Spontan Aslah melirik dan disambut tepukan lebih riuh dan girang. Ada yang memukul-mukul meja dan ada yang berlarian mendekat menyalami Aslah.
Pelantikan berlangsung sukses. Aslah menempati posisi tengah di antara 50 wakil rakyat saat foto bersama. Aslah adalah kembang di antara kumbang. Pelantikan itu milik Aslah.
“Dek Aslah, kau layak didukung jadi Wali Kota,” tiba-tiba Pram berbisik saat Aslah beranjak kembali menuju kursi. Karena Pram berbisik begitu dekat di telinga, tak sadar Aslah mendesah. Namun, hanya Rubi yang mendengar desahan Aslah.
Penulis : Damai Mendrofa