“Nak, itu pohon yang di sana sudah mulai berbuah. Jangan dipetik ya.” kata Paman. Sejujurnya, aku tidak sabar untuk menikmati apel yang ada di pohon kebun kami ini. Sebagai seorang anak kecil berumur sembilan tahun, tentunya aku ingin sekali merasakan apel yang ada di pohon itu apalagi bila kupetik dengan tanganku sendiri. Tapi Paman melarangku, bahaya katanya.
“Paman, kenapa aku nggak boleh petik sendiri?” tanyaku sambil melipat lenganku di dada karena merasa tak terima dengan keputusannya. Dia kembali menjelaskan aku boleh memetiknya sendiri ketika aku sudah beranjak remaja. Untuk sekarang, masih terlalu sulit bagiku untuk menerima apa yang ia katakan. Aku tetap tidak terima.
“Kamu baru boleh petik buah sendiri kalau udah 12 tahun. Sebelum umur itu, nggak boleh.” jelasnya lagi dengan angka umur yang lebih spesifik. Setidaknya aku merasa lebih lega mendengarnya… “Tapi itu tiga tahun lagi, dong! Lama banget!” teriakku.
“Hahaha, untuk kali ini Paman ambilkan saja ya. Kamu nikmati sepuas kamu.” Dia mulai mengambil apel yang ada di atas pohon dengan mudahnya dan meletakkannya dalam keranjang. Tanpa tangga. Aku mulai mengerti sekarang, ternyata aku belum cukup tinggi dengan badanku yang sekarang. Dengan pikiranku yang mulai terganggu, aku mengatakannya padanya: “Paman mengejekku, ya?”
“Mengejek apanya?” tanya balik Paman padaku dengan wajahnya yang tampak kebingungan tapi dia senyum kecil. Aku mengatakan padanya bahwa ia sedang sepele padaku karena badanku kecil dan belum tinggi. Setelahnya, kujelaskan juga bahwa ia tidak percaya padaku untuk mengambil tangga dan memanjat sendiri. Atau setidaknya, menggunakan galahku sendiri.
Paman tertawa lagi dan menjelaskan lagi padaku bahwa ia benar-benar tidak percaya denganku yang berkata seperti itu padanya. “Ternyata kamu sudah besar ya. Bisa suudzon sama Paman. Nggak loh, nak. Bukan seperti itu.” Ia menjelaskan bahwa sebenarnya tidak keberatan untukku memetik buahku sendiri, namun ia mau aku mengerti banyak hal sebelum mulai mengambil keputusanku sendiri.
“Paman mau kamu tahu.”
“Tahu apa, Paman?” tanyaku sambil memainkan alis mataku, kebingungan.
“Coba kamu amati pohon ini. Tiga langkah ke belakang.”
Aku mulai mundur dan melihatnya sedikit lebih jauh dari tempat tadi diriku berada.
“Aku nggak lihat apa-apa.” kataku.
Dengan melangkahkan kakinya dan berdiri di sebelahku, Paman tersenyum dan berkata,
“Pohon itu tumbuh dari biji, yang sangat kecil.” Aku mendengarkannya.
“Mereka menguat dari akar, kemudian tumbuh batangnya menjulang ke atas.” jelas Paman sambil sesekali mengarahkan jarinya untuk menunjuk bentuk pohon apel tadi.
Aku tersenyum seakan sok tahu. “Aku sudah tahu itu, Paman. Kami diajari ibu guru tentang itu di sekolah.” Paman tertawa dan menggaruk kepalanya. Hahaha.
“Jadi, maksud Paman bagaimana?”
“Nah, pohon itu kokoh setelah bertahan bertahun-tahun. Diterpa angin dan hujan badai, musim demi musim ia bertahan walau perlahan kehilangan dedaunnya.” kata Paman sambil merangkul bahuku.
“Paman mau kamu seperti pohon.”
“Jadi pohon? Caranya?” tanyaku kebingungan.
“Maksud Paman adalah kamu harus bisa tumbuh perlahan, butuh waktu. Dengan itu, kamu bisa bertahan di tengah rintangan hidup yang tidak akan ada habisnya.” lanjut Paman dengan penjelasannya. Aku mulai mengerti maksud Paman.
“Rintangan hidup seberat apa sebenarnya, Paman?” aku tampaknya terlalu banyak bertanya padanya, namun kutahu ia tidak akan keberatan.
“Kamu sekarang sudah melewati berbagai cobaan, namun beranjak remaja nanti hingga dewasa akhirnya kamu bisa mengerti maksud dan arti mengapa kamu dilahirkan dan tumbuh sebagai manusia.” kata Paman sambil memandang kedua bola mataku.
“Hmm… jadi, ibaratkan pohon kita bertumbuh terus ke atas untuk apa gunanya, Paman?” tanyaku dengan polos. Paman tertawa dan kembali menjawab,
“Hahaha, kamu ini. Ya, kamu pasti tumbuh ke atas dan menjadi tinggi. Namun yang Paman mau, kamu nggak boleh tergoyahkan seperti batang yang renta. Kamu harus jadi pohon tua yang makin kokoh batang dan pendiriannya. Tidak bisa tergoyahkan sebesar apapun badai yang menerpamu,” Kini, aku mengerti maksudnya. Aku mengerti pesan yang ingin disampaikannya.
“Hingga akhirnya kamu bertemu berbagai pengalaman hebat dengan petualangan yang ada dan akhirnya berbuah, seperti apel ini. Bisa saja manis, bisa saja tidak. Namun setidaknya kamu sudah memberikan dan berbagi kebahagiaan bagi siapa saja yang akan memakannya.” lanjutnya.
Aku tersenyum pada Paman dan memandang wajahnya. “Jadi, hubungannya dengan aku dilarang petik apelnya apa, Paman?”
“Hahaha, supaya kamu bisa bersabar dan sadar diri bahwa kamu belum waktunya. Nanti Paman dimarahi Ibu kamu!”
Aku tertawa kecil dan Paman mencuci apel yang telah dipetiknya. Aku diberinya apel itu dan memakannya sambil duduk santai di tengah sore itu. Memandangi pohon-pohon rindang dan mengamati kebun kami yang indah saat senja begini. Memang benar keindahan butuh waktu, menikmati segalanya juga ada waktunya.
Penulis : oleh Muhammad Rafie Akbar