Sila Cerita Di Perjalanan Pulang

MEDANHEADLINES.COM – Hentakan sepatunya menunjukkan ia berjalan dengan cepat.Denganterburu-buru, dengan tasnya yang berwarna merah itu ia bergegas menuju kelasnya. Sudah menjadi kebiasaannya, setiap hari terlambat.

Namun, ia tetap ditolerir oleh guru piket karena hanya terlewat dua sampai tiga menit saja. Dia tidak peduli dengan siapa saja yang lewat di dekatnya dan ia hanya fokus pada tujuannya saja, yakni kelas tempat ia belajar. Itu dalam pikirannya.

Namanya Harsyi, biasa kupanggil Syi secara akrab. Seorang lelaki berperawakan tinggi dan besar, tak bisa kukatakan dengan jujur bahwa ia terlahir sebagai seorang anak yang diberikan kelebihan oleh Tuhan.

Aku selalu melihatnya seperti itu setiap hari,berlari menuju kelasnya karena ia pikir dia terlambat. Padahal, masih ada waktu sepuluh menit lagi menuju jam masuk sekolah. Aku tidak sekelas dengannya, namun aku kenal betul dengannya. Dengan melepas segala kekurangannya, dia suka menyendiri. Bahkan dia keramaian sekalipun.

Sebagai seorang anak SMA yang penuh penasaran, aku selalu melihat gerak- geriknya. Tak khayal aku sebenarnya sudah mengenal dia sejak SMP, namun tetap saja dia membuatku penasaran.

“Hai, syi.” sapaku waktu itu dengan berdiri.

“Jangan ganggu aku dulu,zra.”jawabnya tiba-tiba ketika dia sedang fokus belajar di jam istirahat sekolah. Waktu itu aku ingat dia sedang dikantin.

Aku yang mengerti sifatnya dan mengenal dia luar dalam, aku langsung menyingkirkan diriku sendiri sambil membawa secangkir teh susu hangat ke meja lain. Aku menikmati minumanku bersama seorang temanku.

“Ezra, kamu sebenarnya dekatkan sama si Harsyi. Kenapa dia ngusir kamu begitu?” tanya temanku.

“Udah, biarin saja. Dia butuh waktu sendiri.”

“Gini deh, kamu juga pernah aku lihat sering bercakap pakai Bahasa Inggris.
Emang kenapa?”

Aku tertawa pelan,sambil melihat Harsyi dari jauh aku pun menjawab pertanyaan temanku ini, “Ngelatih bahasa aja.Hehehe.”

Benar apa yang dia bilang, kadang ketika aku sedang bersama dengan Harsyi, kami selalu menggunakan dua bahasa. Bahasa Indonesia tentunya, dan sesekali Bahasa Inggris. Dalam situasi masih di kantin, aku melihatnya dengan benar-benar bahwa ia sangat tampak kebingungan.Sangat frustasi,setidaknya dalam pikiranku.Harsyi memang biasa seperti ini, menyendiri dan tidak pernah ingin diganggu siapapun.

Hingga sampai belajar pun ia bisa menyesuaikan diri di tempat umum seramai ini menjadi sepi dengan dirinya sendiri. Ia belajar sangat fokus. Ketika ku melihatnya seperti itu, aku merasa antara kasihan dan tidak masalah.

Kasihannya, ia tampak tidak suka bergaul dan cenderung anti-sosial.Tidak menginginkan banyak orang berada di dekatnya dan selalu ingin fokus pada apa yang menjadi tujuan pribadinya. Tidak masalahnya, justru karena kutahu dia menikmatinya dan tidak mempunyai beban apa-apa dengan orang lain. Justru dengan caranya itu sendiri, ia bisa melakukan apa yang ia mau.

Namun, ceritanya berbeda ketika kami sedang berdua. Karena sudah kenal cukup lama,aku mengerti bagaimana menyesuaikan diri dengannya.Mengenal dia sebagai anak yang diberikan sifat spesial dari Tuhan, justru aku banyak belajar darinya. Aku sering bercerita dengannya ketika ia sedang butuh. Aku pun berusaha untuk selalu ada sebagai teman ceritanya. Walaupun ia tercipta sebagai manusia yang mungkin bagi beberapa orang sangat membingungkan, ia masih diberi banyak kelebihan. Kami berdua sering berganti-gantian mendapat juara umum sekolah di jurusan kami, kami juga sering bercengkrama tertawa. Karena aku ingin belajar banyak darinya.

Ia diizinkan oleh orangtuanya untuk mengendarai mobil dan membawanya ke sekolah karena sekolah kami memang mengizinkan. Karena syukurnya, ia masih bisa mendapatkan SIM. Jujur, terkadang aku juga merasa takut ketika dia menyupiriku. Karena kadang fokusnya tidak bisa terbagi.

“Zra, aku punya cita-cita.” katanya tiba-tiba saat di mobil dalam perjalanan pulang, ia mengantarku.

“Semua orang punya, dan pasti bisa. Kamu emang mau jadi apa, syi?” tanyaku. “Aku mau jadi pembalap.”
Melihat segala apa yang ada, aku tetap semangat untuk mendukungnya. “Kamu pasti bisa! Yakin deh. Ini saja kamu sudah mahir bawa mobilnya.” “Hehehe.” dia tersenyum lebar.

Dari banyak sahabat yang kupunya dari kecil, dia adalah salah satu dari yang terbaik.Kami membahas banyak cerita,dari kehidupan sekolah sampai bahasan serius ke politik sekalipun.

“Aku bingung, zra. Lihat kondisi kelasku.”

“Tahu. Aku selalu dengar dari guru-guru, kelasmu itu bagai neraka.” aku bilang sambil memasang wajah serius.

“Bingung.” katanya sambil menutup mulutnya dengan telapak tangannya bagai orang yang bertanya-tanya. Dengan tangan kirinya fokus pada stir mobil, tentu saja.

“Apa yang buatmu bingung?”

“Frustasiaku! bagaimana generasi penerus bangsa bisa seperti itu!”diateriak,tak terlalu pelan tak terlalu keras.
Aku melihatnya dengan sabar dan ia melanjutkan,

“How can people like them could take thelead of this country in thefuture.Pretty confusing, in fact I don’t understand how our education system could work for them!” (“Bagaimana orang-orang seperti mereka bisa mengambil alih kepemimpinan negara ini di masa depan. Cukup membingungkan, faktanya aku tidak mengerti bagaimana sistem pendidikan kita bisa cocok untukmereka!”).

Melihatnya berbicara dengan Bahasa Inggris, terpaksa akupun harus merespons dia dengan cara yang sama. Aku menghela nafas perlahan dan tersenyum, kemudian berbicara :
“World will change,syi.They will change too.It’sjust amatter of time.They just aren’t mature enough to think about what you were thinking. God owns the way.” jawabku dengan tenang.

(“Dunia akan berubah, syi. Mereka akan berubah juga. Ini hanya perihal menunggu waktu. Mereka hanya belum cukup dewasa untuk berpikir tentang apa yang kamu pikirkan. Tuhan yang memiliki jalannya.”)

Ia pun diam dan melihat kedepan jalan.Dengan menunggu lalul intas yang cukup padat sore ini dia terlihat bingung.

“Mau aku yang gantian nyetir, syi?” “Oh, tidak apa-apa. Aku bisa kok, zra.”

Suasana macet di kota ini membuat orang-orang berdesakan. Ketika sudah jam menunjukkan pukul setengah enam,karyawan-karyawan dan segenap masyarakat lainnya sudah berhamburan untuk pulang kerumah masing-masing.

Termasuk kami, pelajar yang mengambil les tambahan tadi di sekolah. Tidak jauh dari letak kami berhenti, karena tertahan kendaraan yang lain, ada orang yang saling memaki. Walaupun karena jendela mobil tertutup kami tidak bisa mendengar, tapi kami bisa menerka apa yang dikatakan dari mulut orang tersebut.

Harsyi menggelengkan kepala, dan merasa tak enak hati melihat apa yang ada di depan matanya. Dia pun tiba-tiba mengatakan :
“Aku lama kelamaan tidak mengerti arti kemanusiaan itu apa.Tidak mengerti juga berbuat adi lbagaimana.”
Mendengar itu, aku juga lumayan kewalahan dan mencari jawaban lain untuknya.

“Kadang,syi.Untuk mencapai pemaknaan itu,kita harus sadar untuk apa kita ada di dunia ini. Mencari restu Tuhan dengan beribadah kepadanya sudah pasti, satu tugas kita yang lain itu…” Belum lagi kulanjutkan kalimatku, ia membilang…

“Membuat manusia mengerti tentang bagaimana caranya beradab kepada manusia lain?”

Aku terperanjat dengan kata-katanya itu. Walaupun sudah kubilang dia ada kekurangan, analisisnya terhadap orang-orang sungguh tidak bisa dipungkiri. Dia mengerti tentang pentingnya sopan santun. Hingga yang kusadari itulah kenapa ia tidak pernah ingin mengganggu orang lain, termasuk berbicara tak penting dengan manusia lain.

Setelah kami terhimpit cukup lama di perdebatan orang-orang, kami pun melanjutkan perjalanan. Sebenarnya rumahku tak terlalu jauh, kalau di pagi hari cukup

menghabiskan 15 menit saja.Tapi karena situas ipetang yang sibuk,bisa hampi rsetengah jam dalam perjalanan.
Cuaca dari tadi sudah sedikit mendung,namun masih ada pepatah mendung belum tentu hujan. Namun dari gerimis kecil yang ada, sudah kuduga bakal ada badai hari ini. Jika ditanya, keunikan Harsyi ketika mengendarai mobil adalah ia selalu mengenakan sarung tangan seperti pembalap rally.

Dia sangat mengidolakan kompetisi itu. Sampai- sampai,dia pernah bercerita padaku kalau ada sebuah mobil yang ia suka parkir dipinggir jalan, ia pun juga berhenti untuk mengambil foto bersama mobil yang ia katakan langka itu. Kutahu dari cerita dia itu, dia punya mimpi yang sangat besar.

Ada sebuah pohon kecil yang tumbang di dekat jalan kota. Mobil-mobil berdesakan dengan klaksonnya yang kencang, dan para pengendara sepeda motor yang tampak sudah berteduh dideka truk   ataupun warung terdekat.

Hujan hari ini sangat deras dan pohon itu masih saja berada di posisi yang sama. Namun tak selang berapa lama, sekumpulan warga lelaki yang berada di dekat pohon itu mulai mengangkat pohon yang tumbang itu. Mereka bergotong-royong walaupun derasnya rinai hujan inimenerpa.

“Ini yang aku suka.” kata Harsyi tiba-tiba.

Aku tersenyum dan terenyuh, ketika melihat apa yang ada di depan mata kami. Dedaunan yang berhamburan di jalanan, hingga badai yang belum berhenti sekalipun masih mendorong hati para warga setempat untuk mengangkat pohon yang tumbang itu.

“Aku juga, syi. Ternyata masih ada manusia yang sadar.”

Kami menunggu sekitar sepuluh menit di lokasi itu, sebenarnya aku sudah tidak enak hati telah merepotkan Harsyi untuk mengantarku pulang.Tapi ketika disekolah tadi, dia yang menawarkan tumpangan padaku.Katanya dia ingin bercerita.

Dijalan yang kami lewati pun, kami membincangkan kelas Harsyi yang seperti neraka itu.

“You know, zra. My classmates never ever know me well. I don’t know, perhaps there is one thing that actually made me really disappointed.They were cheating with the farewell partyfee.”

(“Kamu tahu, zra. Teman-teman kelasku tidak pernah sekalipun mengertiku dengan baik. Aku tidak tahu, mungkin ada satu hal yang buatku sangat kecewa. Mereka curangi uang pesta perpisahan.”)

Lagi, aku harus menyesuaikan dengan apa yang ia katakan.

“Are you guys already had a meeting? For somehow just to agreeing about the party your class want to have?”
(“Apakah kalian sudah laksanakan rapat? Setidaknya untuk menyetujui tentang apa pesta yang kelas kalian inginkan?”)

“They cancelled it. Without refund.” kata Harsyi sambil menggelengkan kepalanya.
(“Mereka membatalkannya. Tanpa pengembalian biaya.”)

Aku merasa tercengang. Benar-benar repot sekali situasi yang ia hadapi bersama teman-temannya. Karena tertekan oleh sifatnya yang anti-sosial, tidak ingin ikutcampur, dan tanpa sadar sebenarnya ia terpedaya. Aku sungguh kasihan padanya.

Langsung kupikirkan akan membantunya,tapi aku takut malah mengintervensi urusan pribadi kelas mereka. Yang kusadari adalah, mengapa teman-temannya sangat jahat padanya.

Diperempatan jalan kota,kami melihat sebuah becak.Didekatnya ada orang yang sedang memakai kostum badutnya, yang kami tahu itu adalah tokoh kartun terkenal.

“Syi, aku rasa becak itu ada di tempat yang sama setiap hari ya.”

Harsyi pun melihat ke becak tersebut dengan tetap mengendalikan mobilnya.  Sambil menyetir perlahan dengan bekas rintik hujan yang ada dikaca depan.Hujan sudah lumayan reda.

“Benar. Aku selalu lihat becak itu setiap sore. Tapi yang buat aku penasaran itu adalah seorang wanita yang  berganti kostum.Kemudian,dia datang ke mobil-mobil untuk meminta uang sewaktu lampu lalu lintas menjadi merah.”katanya.

Aku tersenyum mendengarnya, ia berbicara dengan bahasa yang bagiku cukup baku. Ketika aku mengangguk pelan karena memikirkan sang wanita badut tadi, Harsyi tiba-tiba mengatakan sesuatu yang membuatku (sekali lagi) terkejut,

“Tidak ada keadilan di negeri ini, Ezra.” dia menghela nafas perlahan. Aku tidak berkata apa-apa dan dia pun melanjutkan,

“Kau tahu, yang sebenarnya adalah badut adalah pejabat negara yang salah itu.” katanya.

“Mengapa gitu?” aku bertanya padanya.

“Yang akhirnya menunjukkan lawakan atas kebijakan, atas keputusan, dan atas apa saja yang mereka inginkan itu ya mereka.Aku merasa aneh,mereka sudah tahu dunia ini panggung sandiwara namun tetap saja membuat drama yang tidak enak ceritanya.”

Aku tertawa pelan. Tanpa menambahkan cerita apapun.

“Keadilan yang kita ingin katanya demi rakyat, tapi apa? Akhirnya demokrasi yang diisi oleh sakit hati. Kesengsaraan.”

Itulah kalimat yang paling kusimpan dalam kepala hingga saat ini, ketika kumengerti kalau masalah yang ada selama ini adalah karena masalah bersama. Bukan satu dua orang, namun semua orang. Dan kita turut merasakannya.

Sudah hampir sejam kami di perjalanan, akhirnya pun kami sampai di rumahku. Harsyi langsung pamit untuk langsung pulang, dengan kebiasaannya ia hormat padaku dengan meletakkan telapak tangan di atas alisnya dan aku pun tertawa sambil membalas hormatnya itu. Yang aku mengerti dari perjalanan pulang hari ini dengannya adalah, masalah saling mengerti.

Dia yang terlahir autis sekalipun mengerti tentang apa saja yang ada di dunia, karena dia melihatnya dari sudut pandang yang lain.

Dari pesan ketuhanan yang disampaikan temanku itu dari keinginannyapadacita- cita hingga harapan perubahan pada teman-temannya. Orang-orang yang saling memaki tadi pun membuat kami sadar tentang kemanusiaan yang seharusnya adil dan beradab. Hingga badai sekalipun dan kayu pohon yang tumbang, ternyata persatuan di Indonesia itu masih ada dengan semangat gotong-royong.

Cerita-ceritanya tentang beban menghadapi teman-temannya membuatku sadar pentingnya musyawarah bersama dan keputusan yang tidak membuat rugi belahan pihak manapun. Hingga akhirnya kutahu masih banyak masalah ketidakadilan di depan mata kita. Tanpa kita sadari kesenjangan yang ada membuat rusak harga diri bangsa kitasendiri.

Perjalanan satu hari itu benar-benar akan teringat di benakku. Itu akan selalu, bersama sahabat yang mempunyai kekurangan ini sekalipun. Aku sadar hidup sepertinya mungkin tidak bisa kubayangkan bagaimana tapi yang akhirnya kumengerti adalah terkadang manusia butuh waktu sendiri. Belajar bagaimana caranya untuk mandiri.

Berbincang dengannya dengan Bahasa Inggris pun membuatku sadar, kalau anak bangsa kita tidak boleh kalah hanya karena tidak bisa berkomunikasi secara global. Sekali lagi kukatakan, belajarlah dari siapa saja. Dari seorang anak berkekurangan sekalipun.

 

Penulis : M. Rafie Akbar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.