Foto-foto IST
MEDANHEADLINES.COM – Alarm berbunyi kencang, pertanda hari masih muda. Seprai tempat tidur tampak kusut, bantal dan guling sudah tak di tempat semula. “Bangkit, lakukanlah apa saja, karena kau bisa,” seketika bisikan itu menghampiri cuping telinga. Sontak membuat mata terbelalak, toleh kanan kiri. Sebab, di ruangan 4 x 3 ini tak ada orang selain diri sendiri.
Kubuka jendela kamar, angin sepoi-sepoi menyapa lembut. Mentari telah hadir di cakrawala, keindahan pantai memanjakan mata. Gemuruh ombak begitu nyaring, menelan teriakan nelayan yang sedang sahut menyahut.
Bersyukur, udara bersih merasuki paru-paru, dan memberi energi positif di awal hari. Nikmat Tuhanmu yang mana, yang kau dustakan?
Syukur semakin terucap, ketika menoleh ke arah selatan bibir pantai. Langkah demi langkah ia berjalan, semakin dekat dan mendekat, lalu melintas begitu saja. Wanita yang memiliki rambut sebahu, dengan tinggi sekitar 170 cm. Wanita cantik, yang sejak kecil kerap menjadi korban keusilanku. Lista, namanya. Nasionalista Reformasiana Binti Harun Prasetyo.
Ya, namanya cukup unik. Nama itu tersematkan, karena ketika Lista lahir, di saat itu pula jatuhnya rezim orde baru. Pak Harun Prasetyo, Ayah dari Lista yang langsung memberikan nama itu. Pak Harun Prasetyo merupakan salah satu aktivis di zaman orde baru. Yang kerap keluar masuk penjara karena mengkritisi kebijakan-kebijakan Presiden Soeharto.
Kala itu, Pak Harun sudah tidak lagi menjadi mahasiswa, namun di rumahnya mahasiswa dari berbagai elemen kerap kumpul dan menyusun strategi untuk menumbangkan rezim orde baru.
Ah, sudahlah, tak usah membahas Ayahnya dulu. Pagi ini, anaknya begitu membuatku terpesona. Seakan memutar memori masa lalu, karena suka, keusilan menjadi sebuah strategi untuk penaklukan.
Kalau kembali ke masa lalu, Aku tertawa sendiri. Karena Aku dan Lista merupakan juara kelas yang selalu bersaing. Ya, sejak SD hingga SMP, kami selalu menjadi rival di kelas. Kami bergantian menjadi juara kelas. Sering, beradu argumen dengannya, bahkan mengusili dirinya. Hal itu pasti akan terngiang kembali, ketika kami bertemu.
Jujur, sejak kecil Aku sudah suka padanya. Keusilanku pun kerap kutujukan padanya, tak ada maksud lain, hanya ingin mendapatkan perhatian lebih olehnya.
Lanjut sekolah ke tingkat SMA, aku sudah dipindahkan ke luar kota, dan itu berlanjut hingga kuliah. Hampir 10 tahun tak bertemu dengan Lista.
Tentu, saat bertemu nanti, akan ada kecanggungan, itu dalam batinku. Namun, karena hasrat ingin bertemu cukup tinggi, kekhawatiran kuterobos. Bangkit bergegas diri, dan berusaha untuk bertemu dengannya.
Waktu yang diinginkan pun terwujud. Tak ada rasa canggung, namun pola komunikasi semakin dewasa. Alangkah terkejutnya diri ini, saat mengetahui ternyata Lista satu universitas denganku. Namun tak pernah bertemu, karena aku kuliah di Fakultas Sosial Politik dan Lista di Fakultas Sastra. Dan kini, kami sama-sama menunggu waktu wisuda, yang akan tiba di hari yang sama. Oh Tuhan, apakah ini rencana indahmu?
Komunikasi semakin intensif, kami kerap bertemu, ngobrol apa saja, mulai dari sosial, politik, ekonomi, sastra, budaya, pariwisata, serta semua hal yang dapat memajukan kampung halaman. Wah, wanita ini memang sungguh cerdas, semua bisa dilahap seakan sedang merasakan makanan lezat.
Entah, apa yang kurasakan ini, semakin hari, semakin tumbuh rasa. Seolah hati layaknya gelas kosong, yang setiap pertemuan akan terisi air beberapa mililiter, dan akhirnya penuh, tak tertampung. Sehingga tak lagi tertahan, dan rasa ini harus kuutarakan.
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba, hari kami diwisuda bersama. Seusai menyandang predikat sarjana, Aku pun menyampaikan rasa yang sudah mekar di dalam relung hati.
Kau tahu, apa yang kudapatkan? Kejujuran itu memang telanjang, tak tertutupi sehelai benang pun!!!
Lista jujur, sejak kecil dulu, Lista pun sudah suka denganku. Namun ia pun jujur, bahwa semasa kecil dulu dia benci padaku. Oh Tuhan, ini yang dikatakan dengan “Antara benci dan cinta itu, terkadang setipis kulit bawang,”.
Sungguh, ternyata keusilanku.. Apakah benar strategi melahirkan cinta kadang harus dilalui dengan keusilan yang menumbuhkan benci?
Ah, entahlah, silahkan jawab sendiri. Yang penting hari ini aku sangat bahagia, sebab cintaku diterima! Ya aku bersyukur, sungguh sangat-sangat bersyukur.
Penulis : Ryan Achdiral Juskal