MEDANHEADLINES.COM, Medan – Malam telah larut Limeh, tidurlah. sambil menyeka rambut Halimah yang indah nan mempesona itu, pak Abdul berbisik lirih pada anaknya. “ Besok sepagi mungkin bapak yang langsung akan mengantarkanmu ke kadipatenan.”
” Tidurlah nak, perjalanan kita cukup jauh besok,”. Begitulah ucap ayah pada buah hatinya yang paling kecil itu sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan kamar tempat tidur anak tercintanya.
Sekeluar dari pintu kamar Pak Abdul menyeka matanya yang berkaca-kaca, mata airnya pun menetes , seorang ayah bagaimanapun juga tetap menginginkan anaknya bahagia, kalau terus bersamaku, tentu aku tidak lagi bisa menyanggupi kebutuhannya, aku sudah tua dan sakit-sakitan pula.
‘’Aku tidak menjualnya” .tegas pak Abdul dalam hatinya. Semua ini untuk kebaikan dia, untuk masa depannya yang lebih baik.
Tetapi walaupun begitu didalam hatinya yang paling terdalam ia tidak rela anak gadisnya dipersunting sebagai selir. Tapi apa daya, keluargaku hanya keluarga seperti orang kebanyakan. Tak ada kuasa dan tahta. Ketika sang Adipati itu datang dan terus terang menginginkan anakku, maka aku tidak bisa berbuat apapun.
Limeh sendiri tidak bisa tidur malam itu, memikirkan tentang hari esok yang mungkin akan mengubah segala hal tentang impian dan masa depannya.
Aku masih 15 tahun tegas Halimeh dalam hatinya, ntah mengapa hati ini seperti merasa tersayat-sayat, sesak rasanya, tapi tidak bisa berbuat apapun. di usianya yang masih sangat belia, seharusnya Limeh masih bisa berpikir panjang tentang pendidikan dan karirnya. Aku masih ingin hidup bebas dan bahagia tegas Limeh dalam hati, tapi mengapa kanjeng adipati menginginkanku untuk menjadi selirnya.
Limeh kembali terbangun dalam sadarnya. Oh, malang benar nasibku, jalan hidupku yang baru saja akan kurintis sudah harus bersua dengan nestapa. Ibu ku sudah tidak ada, kakak sudah dibawa jauh oleh suaminya, ayahku sudah cukup tua, bahkan untuk mengurusi dirinya sendiri kadang kesusahan. Kini aku hanya bisa berharap pada diriku sendiri. Kadang hidup memang teka-teki yang aneh, terkadang harapan akan jauh berbeda dengan kenyatakan.
Aku masih ingin belajar menembang dan menari. Aku ingin menjadi perempuan yang mampu menemukan jalan hidupku sendiri, tanpa harus bergantung pada kaum laki-laki. Aku ingin hidup mandiri. Harapku, tentu saja! Aku tidak ingin menjadi makhluk pelengkap kehidupan laki-laki semata. Melainkan harus mampu mandiri, sebagaimana telah ajarkan almarhum Ibu Padaku.
Tapi ibu, kini harapan ibu tidak mungkin lagi kujalankan. Kanjeng Adipati telah menginginkanku untuk menjadi selirnya yang entah keseberapa aku tidak tahu, ayah tidak bisa menolak, apalah daya sahaya ini ibu, tidak ada daya upaya sahaya untuk mengatakan tidak pada apa yang dikendaki oleh tuan Adipati.
Halimeh masih tetap termenung dalam malam yang teramat sangat panjang, waktu telah melewati tengah malam, bahkan sudah setengah lagi menuju pagi, sebentar lagi mungkin ayam jago akan berkokok, tapi limeh tetap gelisah dalam perbaringan yang terakhir dirumahnya.
Mungkin esok malam atau lusa aku akan tidur ditempat yang lebih nyaman dari kamarku ini, dengan kamar penuh bingkai kemegahan, bunga-bunga segar di setiap sudutnya, ranjang yang empuk, pengawal-pengwal dan pelayan kadipaten yang selalu siap menjaga dan memenuhi kebutuhanku.
Tapi bagiku itu seperti neraka. Aku lebih senang ditempat tidurku yang sekarang. Walau tidur beralaskan dipan, berbantal kapuk yang kurajut sendiri, aku nyaman dengan ini, walaupun malam ini rasa-rasanya tempat tidur ini sangat-sangat menyiksaku, seperti penuh duri yang menyaya-nyayat punggungku.
Tanpa disadari Limeh tertidur, kantuk yg datang sedari tadi tak kuasa lagi di tolaknya.
Memang Limeh tergolong gadis yang masih belia, namun tidak dengan perawakannya, badannya tumbuh tinggi seperti almarhum ibunya dulu, mempunyai wajah teramat cantik dan juga sexy tentunya, kulitnya kuning langsat natural nan mempesona.
Pemuda-pemuda kampungnya kerap melirik Limeh jika melewati rumahnya, bahkan kemolekan Halimeh kerap menjadi perbincangan pemuda-pemuda setempat jika mereka sedang berkumpul di warung kopi.
Panjul pemuda sekampung Limeh kadang-kadang selalu mengkhayal dan membicarakan Limeh ketika berkumpul dengan teman-teman. “Ouhh kasihku Limeh”, tiada wanita lain selain dirimu yang ku kagumi di kampung ini, kaulah manifestasi keindahan dari Tuhan itu”.
“hey Panjul Jelas saja tak ada yg lebih cantik dari Laras, lah wong dikampung ini hanya ada 20 kepala keluarga yang punya anak gadis hanya ada beberapa, tentu saja Limeh menjadi juaranya.” Celetuk Budi.
Kau benar Panjul. Balas Dirman menengahi. “Limeh memang pujaan bagi kita, dia bunga desa yang tiada Tara, semenjak kakaknya kawin dan dibawa oleh suaminya kekampung lain, sekarang pak Abdul hanya tinggal sendiri untuk membesarkannya. Ku dengar dia kerepotan dalam hal itu, makannya ketika kanjeng Adipati melamar Halimeh anak pak Abdul itu, pak Abdul seperti tiada usaha untuk menolak.”
“Itulah mengapa aku bersedih mendengar kabar itu.” Balas Panjul dengan nada penuh duka.
Sambil meminum kopi dan menghembuskan asap rokok yang di pegangnya. Panjul melanjutkan. “aku harus berusaha menggagalkan perkawinan mereka.”
Hus sudah gila kau!! Sanggah Budi. “Bisa mati kau nanti”.
Iyah benar balas Darman. Kau pikir kau mampu melawan perajurit kadipaten itu hah. Kau ini hanya pegawai tani buruh kasar, mainannya cuman cangkul. Jangan sok jago lah.
“Iya sih yaudahlah gak jadi, ku ikhlaskan saja kalau gitu.”
Sepagi mungkin pak Abdul membangunkan larasati. Diketoknya pintu kamar Halimeh, meh.. limeh tok.tok..tok “halimah bangunlah nak ku sayang. Fajar sudah hampir menyingsing, Sebentar lagi kereta kadipaten akan datang menjemput kita.”
Halimwh terbangun dengan mata yang masih kemerahan, lalu ia berjalan menuju kamar mandi dengan sempoyongan.
Di buka pakaiannya dengan perlahan. Rambut yang hitam menjuarai melewati bahu, kulit mulus, Buah dadanya yang masih ranum, serta pinggulnya yang aduhai.
Airnya yang terasa dingin itu ia siramkan pada bagian kepala hingga membasahi seluruh badannya, diambilnya daun sirih dan lidah buaya. Maklum tidak ada shampo sunsilk dan sabun lekboy waktu itu.
Dengan daun sirih itu Disekanya bagian leher dan buah dadanya secara perlahan, pinggul dan bokongnya diseka secara teratur.
Tepat dua hari yang lalu pengawal kadipaten m ngantarkan gaun untuk dikenakan Halimeh pada hari penjemputanya.
“Gaun indah, bicara Halimeh dalam hati” lalu ia kenakanlah gaun itu. Gaun berwarna putih dengan manik-manik pada bagian dada, gaun yang terasa sempit, hingga buah dada Halimeh menyembul keluar.
Gaun itu menjulang panjang hingga menutupi matakakinya, namun terbelah pada bagian pahanya. Hingga terlihatlah mulus kaki hingga bagian paha Halimah.
Dengan pakaian itu limeh Cantik memang, tapi tidak dengan raut masam wajah Halimeh, wajahnya tidak bisa m nutupi kesedihan yang ia sembunyikan dalam hatinya.
“Halimah, nak lekaslah keluar Kereta kencana telah datang menjemput kita”. teriak bapak pada sang gadis dari luar kamar.
“Iyaa sebentar pak.” ini udah siap kok.
Halimeh keluar dari kamarnya, dengan sedikit mengangkat bagian bawah gaunnya. “Haduhh Sepatu hak tinggi yang merepotkan.” Celetuk Halimeh dalam hatinya.
Keluarlah Halimeh dari pintu rumahnya, berpuluh pasang mata telah menunggunya diluar, mereka menatap kecantikan Halimah dengan penuh kekaguman, tak terkecuali si Panjul, Budi dan Darmin.
Dengan kemegahan gaun dan kecantikannya, Halimah langsung menjadi bintang, yang seakan akan menjadi fajar kedua setelah matahari yang terbit di ufuk timur.
Halimeh tahu dari berpuluh pasang mata yang menatapnya dengan kekaguman itu ada beberapa orang yang mengharapkannya agar tidak jadi berangkat ke kadipaten. sesekali terdengar siulan ntah dari mana arahnya, sebuah isyarat agar Halimeh mlihat kearahnya, ia tahu pasti itulah si Panjul. Namun Larasati tetap menghiraukan suara itu.
Sebelum naik kereta kencana Halimeh melihat sekeliling sambil melempar senyum tanda perpisahan darinya.
Kereta berjalan melewati kerumunan warga “beruntungnya si Limeh anak pak Abdul itu, bisik para tetangga, sebentar lagi hidupnya akan enak, dia tak perlu menari dan menembang lagi dari kampung kekampung”
“Iyaa betul itu Bu, balas ibu-ibu disebelah nya, esok mungkin akan menjadi hari yang paling bahagia bagi Halimeh, lihatlah ketika dia memakai gaun itu, kelihatan anggun benar gadis itu.”
Kereta terus berjalan meninggalkan perkampungan, suasana menjadi hening, hanya suara hentakan kaki kuda, suara berisik dari roda kreta dan empat pengawal berkuda yang mengiringi dari belakang.
Penulis : Rahmat