MEDANHEADLINES – Pamor stand up comedy Indonesia sedang dalam tren yang positif. Dewasa ini stand up comedy sudah menjadi industri hiburan yang menjanjikan. Dikatakan menjanjikan karena panggung untuk stand up comedy begitu besar. Munculnya beberapa kompetisi stand up comedy baik di taraf nasional maupun daerah serta munculnya acara stand up comedy di beberapa stasiun televisi adalah panggung bagi mereka. Peluang bagi para komika untuk terjun ke segmen hiburan lain seperti film dan presenter juga cukup besar seperti yang dicontohkan Babe Cabita, Ernest, Uus dan lainnya. Fenomena diatas senada dengan berkembangnya komunitas sebagai wadah bagi mereka melatih dan menunjukkan kemampuan. Saat ini komunitas stand up comedy banyak bermunculan di kota-kota besar termasuk Medan.
Stand up comedy punya prestise yang tinggi karena dianggap sebagai hiburan “cerdas” yang berbeda. Diferensiasi tersebut dikarenakan standup comedy bukan “sekedar lawakan” namun juga berisi pandangan maupun kritik terhadap fenomena sosial, politik, hukum, budaya yang secara elegan disampaikan melalui komedi. Para komika biasanya memiliki tema yang kaya sekaligus mendalam serta tajam. Karena alasan tersebut muncul istilah Political Comedians seperti Lenny Bruce dan George Carlin atau di Indonesia saya bisa sebutkan Pandji Pragiwaksono. Jika dianalogikan, stand up comedy seperti musik indie dalam konteks komedi.
Dalam beberapa kesempatan saya menonton secara langsung standup comedy yang diselenggarakan oleh salah satu komunitas di kota medan. Setelah mendengar stand up comedy yang dilakukan para komika disana faktanya ironis. Mereka terlihat kontradiktif dari kata cerdas, lebih tepat dikatakan menyedihkan. Maksud dari meyedihkan tersebut tidak berasal dari kemampuan teknik mereka untuk membuat sebuah jokes namun lebih kepada materi yang disampaikan.
Dalam stand up comedy, blue material seperti kata jorok atau makian adalah hal yang biasa. Namun, tetap tidak bisa dijadikan materi utama dalam stand up comedy. Jika hanya mengatakan kata-kata jorok dan makian kebanyakan orang juga bisa apalagi orang Medan!.
Kebanyakan para komika seperti kehabisan materi untuk disampaikan sehingga terkesan memaksakan sesuatu. Isu seperti masyarakat yang latah, politik transaksional, kampanye yang memuakkan, mafia hukum yang menjijikkan terasa tidak menarik bagi mereka. Cerita paling tragisnya, tema yang sering diceritakan adalah pacarnya sendiri, neneknya sendiri bahkan mamak (ibu) nya sendiri. Dan untuk tema menceritakan ibunya sendiri cukup sering saya dengarkan. Sebagai penonton saya merasa miris. Selain tema tersebut sisanya adalah tema berbau porno dan rasis. Tentu, bukan bermaksud sok suci, namun yang seperti itu jelas tak layak dibanggakan. Jika yang terjadi di Medan juga menjadi gejala universal di seluruh Indonesia, mengutip tagline yang biasa di pakai Babe Cabita,” Ahhsudahhhlahh”
Jika alasan tersebut dikarenakan faktor segmen penonton dirasa kurang tepat. Bahwa isu soial, hukum dan politik terlalu berat sehingga khawatir penontonnya tidak mampu memahami, jelas pendapat tersebut sangat keliru!. Segmen utama pasar stand up comedy adalah pemuda terutama mahasiwa. Isu sosial, politik dan hukum adalah teman dalam kesehariannya, bahkan jokes untuk tema tersebut adalah yang dinantikan. Ditengah kondisi bangsa yang krisis kepemimpinan, krisis kesadaran, krisis kepercayaan yang terus-menerus didengarkan setiap harinya hingga lelah. Harapannya kelelahan masyarakat dengan kondisi tersebut dapat di hibur oleh stand up comedian apalagi jika turut disadarkan. Sungguh tema tersebut sangat-sangat dinantikan.
Jika dianalisis lebih dalam, stand up comedy adalah alat yang efektif untuk menyadarkan masyarakat. Sebuah dialektika dapat disampaikan dengan cara yang santai dan mudah dimengerti oleh banyak orang melalui punchline, act-out atau satire karena sifanya komedi. Lebih efektif dari pada menggunakan retorika dalam pidato atau diskusi.
Sekedar saran, tidak ada salahnya mempersiapkan diri terlebih dahulu sebelum pertunjukkan. Sehingga keterpaksaan yang berujung pada pembahasan “sampah” dalam petunjukan dapat diminimalisir. Jangan sampai progresifitas pamor stand up comedy tidak diikuti oleh kualitas komediannya. Menurut Strategi Diferensiasi milik Michael E. Porter, perbedaan dan keunikan adalah sumber prestise sebagai kekuatan untuk bersaing karena orientasinya identik pada kualitas bukan kuantitas. Kalau stand up comedy hanya sekedar lucu tanpa isi tak ada bedanya dengan komedi “sampah” lain yang sudah ada. Yang dapat menjaga citra stand up comedy adalah para komediannya sendiri.
Penulis: M. Yusuf Manurung
(Alumni FISIP USU)