MEDANHEADLINES.COM – Kakek pagi ini tersenyum mendengar berita kemenangan tim nasional Indonesia di pertandingan sepakbola dari radio tua yang terputar di sebelah kursinya. Ia merasa gembira ketika mendengarnya sampai-sampai kedua telapak tangannya dikepal naik turun mengisyaratkan kebahagiaannya. Dia menghabiskan waktu seharian mendengar berbagai kabar yang ada.
Aku pagi ini harus pergi ke sekolah untuk melanjutkan pembelajaran. Sembari salam pamit aku pada kakek, aku mencium keningnya. Ia hanya tersenyum bangga. Sejak tahun lalu, kakek tidak bisa bicara lagi. Ia mengidap penyakit yang membuatnya tidak bisa membuka mulut dan lidahnya dengan leluasa kecuali saat makan. Suaranya tidak pernah lagi kudengar sejak saat itu. Dahulunya aku sangat merasa sedih sampai mengisakkan tangis, tapi ia menunjukkan wajah yang “menyuruh” aku untuk tetap tabah.
Ketika aku masih berada di taman kanak-kanak, aku selalu dibonceng kakek berkeliling kompleks dengan sepeda ontelnya. Dahulu udara masih sangat segar dan aku sangat suka ketika berjalan-jalan dengan kakek. Ketika kedua orangtuaku pergi bekerja, aku dijaga oleh kakek dan nenek di rumah. Mereka sangat tulus denganku, apa saja yang aku mau pasti mereka turuti walau kadang dilarang orangtuaku alias anaknya.
Kakek! Aku mau beli es krim. Boleh ya?” tanyaku waktu itu.
“Boleh, tapi tunggu penjualnya lewat depan rumah nanti sore ya.” jawabnya sambil tersenyum dahulu.
Aku merasakan kegembiraan yang tiada batasnya kalau bersama kakek. Kami bersenang-senang tiap hari. Mendengarkan radio setiap hari, bermain bola di halaman rumah, menyapu rumah karena disuruh nenek, sampai membaca buku koleksinya walau aku dulu belum pandai membaca. Suatu hari, aku melihat foto lama kakek di gudang penyimpanannya.
“Dulu kakek yang pegang bola ini?” pertanyaanku yang polos sebagai anak kecil.
“Oh. Itu waktu kakek masih muda, jadi atlet.”
Melihat potret lamanya itu membuatku terkesima dan mengandai-andai menjadi seorang sepertinya.
Suatu ketika peristiwa ini membuat hidup aku dengan kakek berubah. Nenek meninggal dunia. Kedua orangtuaku dan juga aku merasa sangat sedih. Nenek sudah berbuat banyak hal untuk kami. Itu membuat kakekku berubah. Setiap malam kudengar ia menangis di kamarnya. Bahkan sampai terseduh-seduh dan baru berhenti ketika ia terlelap dalam tidurnya. Setiap pagi ia tidak seceria dahulu. Setiap pagi Ibu membuatkannya roti selai cokelat dan kopi untuknya dan ia duduk samping radio tua miliknya. Seperti aku yang dahulu suka mendengarkan radio bersamanya.
Waktu berganti. Dari hari, bulan, dan tahun. Akupun sekarang berada di SMA dengan kondisi rumah sama seperti yang ada. Kakek tak bisa bicara, hanya duduk di samping radio tanpa berkomentar apapun. Ia mendengarkan berita bahagia, ia akan tersenyum. Ketika dia mendengar berita serius, dahinya akan mengerut. Ayah selalu menyuruhku untuk menghibur kakek dan selalu buat dirinya bahagia. Aku duduk di sisi lain dari meja radio.
“Kakek, mau beli es krim sore ini?” pertanyaanku sejak kecil itu masih kulontarkan.
Ia tersenyum dan meminta tanganku diletakkan di meja. Aku menuruti dan ia memegang punggung telapakku. Dia menghela nafas dan jari telunjuk tangan kanannya menunjuk pada lemari bukunya. Aku menatap matanya dan mengangguk. Kemudian, aku berjalan dan mengambil sebuah album yang ada di lemari itu. Aku buka buku itu dan mulai terharu, banyak sekali fotoku dengannya ketika aku masih bayi. Ia sangat bahagia. Namun, sebuah tulisan yang ada di dalamnya membuatku terkejut. Kertas itu bertuliskan :
“Suaraku mungkin tak bisa kau dengar lagi, namun hatiku selalu bisa bicara denganmu. Tinggalkan kakek sendirian di samping barang kesayangan dari nenekmu ini. Tak perlu sibuk, aku tahu kau sudah sibuk. Kakek ingin sekali.”
Linangan air mata perlahan turun dari mataku. Aku takut aku selama ini kurang menjaga kakek. Aku menghampirinya lagi dan memeluknya. Ia membalas pelukanku dan mulai mengisyaratkan untuk segera saja tinggalkan dia terlebih dahulu. Demi beliau, aku takkan menolak. Aku berjalan perlahan balik ke kamarku dan meninggalkan kakek.
Namun tiba-tiba terdengar suara pecahan cangkir. Aku terkejut dan menangis berat ketika melihat kakek jatuh. Aku langsung panik dan menelpon kedua orangtuaku yang terkejut sedih. Aku perlahan dengarkan lagu yang terputar dan mulai memeluk kakek dengan erat. Setidaknya belakangan aku tahu, dia meninggalkan dunia ketika mendengar lagu kenangan kakek dan nenek terputar di radio tua penuh kenangan itu dan aku berharap mereka berdua bertemu lagi di sana.
Penulis
Muhammad Rafie Akbar