MEDANHEADLINES.COM – Umurnya sudah paruh baya, namun anak bungsunya masih berumur tiga tahun. Ayahnya bekerja sebagai tukang butut yang mengumpulkan berbagai jenis sampah mulai dari botol plastik, kaca, hingga kertas koran. Laksana pejuang 45, Ayah tak pernah lelah mengumpulkan barang-barang bekas dari pagi hingga senja datang.
Anak sulungnya sekarang sudah pergi. Entah kemana tujuannya tanpa pamit, ia menghilang tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya. Sang Ibu sempat pernah menangisi mengapa anaknya itu hilang. Si sulung juga belum dewasa. Masih remaja yang berumur 15 tahun. Kata tetangga-tetangga mereka di kawasan kumuh ini, anak sulung mereka adalah anak yang nakal. Sempat terdengar kabar bahwa ia berkenalan dengan seorang bandar narkoba di perkampungan dekat wilayah sungai yang mengalir dekatnya. Tapi mereka tak percaya, karena anaknya adalah seseorang yang bijak dan sholeh.
Ayah pernah mencoba mencarinya seperti susahnya mencari barang-barang bekas yang masih bagus. Lelah hati dan air matanya pernah mengguyur seperti hujan. Bukan tanpa alasan, ia takut dengan kesedihan istrinya yang menjadi-jadi padahal sedang hamil. Namun pada keesokan harinya semuanya berubah, ia sebahagia matahari yang tersenyum menyinari bumi. Anak keduanya lahir tanpa seorang abang yang dicintai kedua orang tuanya. Ini membuat kebahagiaan itu kembali dan senyuman ada lagi di bibirnya.
Sudah tiga tahun berlalu dari kehilangan sang anak sulungnya. Ayah masih bekerja sebagai seorang tukang butut yang berbagai jenis sampah dan barang-barang bekas. “Yang penting rezekiku halal dan anak istriku bisa makan setiap hari.” Itu adalah prinsip yang dianutnya setiap kali bekerja dan banyak sekali dorongan untuk membuat dosa seperti mencuri barang-barang yang sebenarnya tak dijual oleh pemiliknya.
“Ayah, aku suka pelangi.” kata Eka, anak bungsunya pada suatu malam.
“Emangnya kamu sudah pernah melihatnya?” kata Ayah yang terduduk di kursi depan rumahnya sambil memangku anaknya itu.
“Udah yah, tadi siang dikasih tahu sama Ibu.” kata Eka yang seketika sang Ayah mengingat bahwa benar tadi siang ada hujan dan ia sempat berteduh di pinggiran toko roti.
“Kenapa kamu suka pelangi?” tanya Ayah.
“Karena warnanya indah, aku suka.” jawab anaknya.
Ayah berpikir bahwa memang benar pelangi itu indah. Langsung dalam benaknya ia berpikir dan merasa sedih, ia takut tak bisa membuat hidup anaknya indah dengan serba kekurangan ini. Dia juga takut tak bisa memenuhi kebutuhan anaknya.
“Ayah, Eka! Ayo makan malam..” teriak Ibu dari dalam rumah.
Dengan gegas Ayah menggendong Eka menuju meja yang biasa mereka gunakan untuk makan dan beberapa pekerjaan lainnya. Mejanya tidak tinggi, mereka hanya duduk lesehan. Malam ini, Alhamdulillah rezeki Ayah cukup untuk membeli ikan yang ada di pasar. Ditambah telur dadar, kerupuk, dan kecap manis. Sesederhana itu namun nikmat.
Sembari sedang makan, Ibu menyuap Eka yang dengan asyiknya membaca buku yang dibelikan Ayahnya dari pasar buku bekas. Ia belum bisa membaca, namun dia melihat beberapa objek dan benda yang terpampang dengan gambar kartun yang bagus. Ayah dengan lahap memakan hidangan yang dimasak lezat oleh istrinya.
“Ibu, ini namanya apa?” tanya Eka tiba-tiba.
“Itu namanya Balon nak,” jawab Ibunya sambil tersenyum sambil memasukkan suapannya ke mulut Eka.
“Aku mau balon ini Ayah.” kata Eka dengan penuh harap.
Sang Ayah tersenyum dan menyuruh Eka untuk makan terlebih dahulu. Habiskan dulu makanannya, katanya.
“Ayah janji ya, aku mau balon.” kata Eka lagi dengan tiba-tiba memegang tangan kiri Ayahnya.
“Iya nak, besok Ayah carikan ya..” jawab Ayah dengan sabar dan tersenyum. Senyumannya pun membuat Eka juga tersenyum lebar yang tak sabar menunggu hari esok.
– – –
Hari sudah pagi, matahari pun sudah menampakkan wujudnya. Seperti biasanya, Ayah bangun dan mandi di kamar mandi sederhananya dan langsung pergi mencari barang-barang bekas. Eka masih tertidur lelap dan Ibunya mulai memasak untuk sarapan.
“Ini bekal Ayah nanti,” kata Ibu.
“Makasih ya bu.” jawab Ayah sambil menyiapkan kantong-kantong bekas dekat gerobak sepedanya.
“Ayah, jangan lupa balonnya Eka ya.” kata Ibu mengingatkan.
“Insya Allah ya bu. Doakan Ayah hari ini.” jawab Ayah sambil tersenyum teringat akan permintaan anaknya itu tadi malam.
Bergegas Ayah mengayuh sepeda dengan gerobaknya yang berat itu menuju ke kota. Ia kian sadar bahwa wilayah yang ia tinggali ini sudah banyak tercemar oleh sampah. Tanah-tanah penuh dengan tumpukan plastik yang merusak. Serta sungai-sungai yang pinggirannya penuh dengan sampah.
Pemulung dan tukang butut memang benar mencari makan dengan sampah. Namun ini juga berhubungan dengan kesadaran manusia-manusia kaya dalam menjaga lingkungannya. Apakah masih ada kesadaran dalam hati untuk selalu menjaga dan saling merawat. Perhatian mereka hilang atau bagaimana sih?
Ayah sudah mengumpulkan beberapa sampah plastik dan barang-barang bekas yang ia dapatkan dari rumah-rumah penduduk. Kebanyakan warga menjual buku-buku dan koran yang sudah tidak dibaca lagi. Daripada tak berguna, lebih baik jadi uang walaupun sedikit. Itu kata mereka.
Biasanya setiap hari Ayah mengantarkan barang-barang ini ke tempat penampung butut kaya. Ia adalah pembisnis di bidang sampah yang kemudian melakukan daur ulang terhadap barang-barang bekas yang ia punya. Sedangkan untuk buku bekas, Ayah menjualnya kembali ke pasar buku bekas.
Siang hari ini hujan lagi, Ayah berteduh di bawah pohon dekat trotoar pinggir taman kota. Ia duduk dan bersandar pada pohon yang rindang itu. Dengan memakai topi dan handuk kecil di lehernya, ia menutup kepalanya. Gerobak sepedanya ia letakkan juga di bawah pohon itu, dekat dengannya. Tak sadarkan diri, Ayah pun terlelap dalam tidurnya.
Ia bermimpi tentang anak sulungnya. Anak kesayangan dan yang ia cintai. Di dalam mimpi itu, Ayah sedang duduk berdua dengannya di taman yang sangat indah. Penuh dengan bunga-bunga yang bermekaran cantik dan pohon-pohon teduh yang besar. Mereka tak memulai percakapan apa-apa, yang ada hanya senyuman dari anak sulungnya itu dan berlalu pergi meninggalkan ayahnya sendiri.
Ayah tersadar dan bangun dari tidurnya. Hujan masih saja deras mengguyur basah bajunya. Ha! betapa terkejutnya ia gerobak sepedanya hilang. Dia berdiri khawatir dan melihat dari kejauhan. Perlahan-lahan bukan hanya rintik hujan yang turun, matanya pun mulai berair tercampur dengan hujan yang jatuh ke tanah. Ayah menangis, ia menyesal kenapa tadi bisa ketiduran. Dia juga takut, ia akan memberikan makan apa hari ini untuk keluarga yang ada di rumah.
Dia berjalan sekeliling taman dan mencari-cari gerobak sepedanya. Ia berharap gerobaknya kembali. Itu hanyalah satu-satunya harapan yang ia punya. Hujan mulai jatuh lebih deras dan petir pun menggelegar. Dia mencoba untuk menahan tangis, tapi ia tak bisa. Ia menunduk sambil duduk di kursi taman. Bermenit-menit sudah ia duduk, hujan pun perlahan-lahan berhenti. Namun tetap saja, kesedihannya tidak berhenti.
Tiba-tiba, ada seorang remaja muda yang menghampiri dan duduk di sebelahnya. Betapa terkejutnya Ayah melihat wajah sang remaja itu.
“Ayah..” kata remaja itu.
Ayah yang tidak percaya dengan kenyataan ini mulai mengucek matanya yang basah karena tangisnya tadi. Ia terharu.
“Ayah apa kabar?” lanjut remaja itu.
Dengan gegas ia memeluk remaja itu dan tangisannya mulai lagi. Sang remaja pun membalas pelukannya.
“Kamu dari mana saja anakku?” tanya Ayah, yang masih memeluknya.
“Aku tidak dari mana-mana Ayah.” jawab anak itu sambil tersenyum.
Pelukan mereka pun sudah lepas dan Ayah memegang pipi anak kesayangannya itu. Melepas kerinduannya terhadap anak sulungnya dan juga mengatakan bahwa Ibu nya sudah sangat menunggu-nunggu dirinya.
“Ayah, coba lihat ke langit.” kata anaknya sambil menunjuk ke atas dengan jari telunjuknya.
“Aku suka pelangi,” lanjut anaknya itu.
Ayah melihat ke langit terharu dengan keindahannya. Namun tetap saja ia hanya terdiam.
“Pelangi itu warnanya banyak, dan sangat indah. Namun bukan itu saja yang aku suka darinya.” kata anak sulungnya itu lagi.
“Jadi apa nak?” tanya Ayah sambil melihat mata anaknya.
“Dari pelangi ini, aku tahu. Bahwa keindahan itu tidak selamanya akan datang, segala hal itu punya akhir dan bisa hilang,” jawab anak sulungnya.
“Semuanya tergantung kita yang bisa memanfaatkannya dan menikmatinya serta mensyukuri apa adanya.” lanjutnya.
Ayah tersenyum dan terharu terhadap apa yang dikatakan anaknya itu. Dia sangat tersentuh dan merenungkan sambil menundukkan kepalanya lagi.
– – –
Ayah terbangun dari tidurnya, ternyata tadi semua hanyalah mimpi. Hujan sudah reda dan ia memandang langit yang dihiasi pelangi. Gerobak sepedanya juga tidak hilang, ia sangat bersyukur terhadap apa yang terjadi.
Ia teringat kepada balon yang diminta oleh Eka. Siang pun mulai panas kembali, ia mencari toko yang menjual balon. Ayah membelikannya dengan uang sisa yang ia miliki demi kebahagiaan anak bungsunya itu. Ia membeli satu plastik yang berisi dua buah balon. Setelah itu, ia juga pergi ke pasar buku bekas untuk mengantarkan pendapatannya hari ini. Dan membeli beberapa lauk pauk di pasar makanan terdekat.
Ternyata saat ia sudah kembali ke rumah, sudah menunggu seorang anak kecil yang siapa lagi kalau bukan Eka.
“Ayah!” teriak Eka dengan keras saking bahagianya.
“Ayah sudah belikan balon aku kan?” tanyanya lagi.
“Iya nak, sebentar Ayah tiup dulu ya.” jawab Ayah sambil membuka plastik balon tersebut.
Ayah meniup kedua balon tersebut. Ada yang warna merah dan yang satunya lagi berwarna hijau. Namun, balon warna hijau meletus saat dimainkan oleh Eka.
“Nak, tahu kenapa balonnya meletus?” tanya Ayah.
“Maaf ya Ayah, aku nggak sengaja.” jawabnya ketakutan.
“Tidak apa-apa,” jawab Ayah sambil tersenyum dan mencubit pipi anaknya.
“Dari warna-warni balon ini kita harus tahu, bahwa keindahan itu tidak selamanya akan datang,
segala hal itu punya akhir dan bisa hilang.” lanjutnya sambil tersenyum memeluk Eka.
Eka pun mengerti apa yang dimaksud oleh ayahnya. Ia harus menjaga dan merawat serta mensyukuri apa adanya. Jangan selalu merusak dan membuat kekacauan atau yang akan terjadi adalah penyesalan.
- – –
Pada malam harinya, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Eka membuka pintu dan mendongakkan kepalanya melihat seorang remaja muda tinggi memakai kemeja rapi yang menunggu depan pintu melihat matanya.
“Ayah!” teriak Eka.
“Siapa nak?” tanya Ayah dan Ibunya serentak yang kemudian terkejut.
“Ayah, Ibu..” kata remaja muda itu sambil tersenyum.
Penulis : Muhammad Rafie Akbar