MEDANHEADLINES – “Kalau umat Islam pada tahun 1945 terpaksa menerima Undang-Undang Dasar 1945, itu oleh karena Bung Karno pada tanggal 18 Agustus 1945 telah menjanjikan kapada wakil-wakil umat Islam dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan bahwa dikemudian hari selekas mungkin mereka akan dapat menyempurnakan Undang-Undang Dasar sesuai cita-cita umat Islam. Janji beliau (Soekarno-pen) itu dipegang teguh dan ditagih kini oleh umat Islam.” (Abdul Kahar Muzakkir)
Masih ingatkah kita dalam sejarah awal kemerdekaan negara kita, Indonesia tercinta ini? Perdebatan yang sangat panjang dan serius oleh pendiri-pendiri negara kita dari sidang BPUPKI, PPKI, hingga sidang Majelis Konstituante. Kiranya sejarah ini jangan dilupakan atau jangan ditutup-tutupi. Sejarah ini harus kita kupas kembali agar kebenaran terpampang dengan jelas. Perdebatan yang alot baik dalam hukum, politik dan sosial lainnya dapat kita selesaikan dengan kembali mengupas kebenaran yang disembunyikan oleh pemerintah Orde Lama dan penekanan di Orde Baru, hingga penekanan halus kembali di masa pemerintahan sekarang. Penekanan terhadap siapakah? Yaitu penekanan (penindasan) bagi umat Muslim yang telah dijanjikan sesuatu, akan tetapi janji itu tidak ditepati.
Pada awal-awal kemerdekaan negara Indonesia, tepatnya sehari setelah proklamasi kemedekaan, Kasman Singodemedjo dipanggil oleh Soekarno ke Jakarta untuk dijadikan anggota tambahan Penitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dengan tujuan supaya dapat melobi Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Muhammadiyah yang ketika itu salah satu tokoh yang mempertahankan supaya syariat Islam tidak dihaspuskan dalam Piagam Jakarta, dan Islam harus menjadi Dasar Negara Indonesia.
“Kia, kemarin proklamasi kemerdekaan Indonesia telah terjadi. Hari ini harus cepat-cepat ditetapkan Undang-Undang Dasar sebagai dasar kita bernegara, dan masih harus ditetapkan siapa presiden dan lain sebagainya untuk melancarkan perputaran roda pemerintahan. Kalau bangsa Indonesia, terutama pemimpin-pemimpinannya cekcok, lantaran bagaimana?” ujar Kasman membujuk.
Kasman terus berusaha membujuk dengan memohon, “Kia, tidaklah bijakasana jikalau kita sekarang sebagai umat Islam yang mayoritas ini sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud demi kemenangan cita-cita kita bersama, yakni tercapainya Indonesia merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil, makmur, tenang, tentram, diridhai Allah Swt.”
Kasman membujuk Ki Bagus karena ada janji dari Soekarno bahwa enam bulan kemudian akan diadakan sidang, dan umat Islam bisa memperjuangkan aspirasinya dalam sidang itu. “Nanti kalau kita bernegara dalam suasana yang lebih tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang yang lengkap dan sempurna.” Demikian ujar Kasman dengan mengutip janji Soekarno. (Artawijaya, 2014:83-84)
Nah, pada sidang PPKI pada 18 Agustus 1945, tujuh kata yang dapat menjadi dasar pemberlakukan hukum Islam atau Islam sebagai dasar negara Indonesia dicoret. Sedangkan, Mohammad Hatta mengakui pencoretan tujuh kata tersebut (Kewajiban menjalankan syariat-syariat Islam bagi pemeluknya) telah disetujui oleh Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wahid Hasyim, Tengku M. Hasan, dan Kasman Singodemedjo. Latar belakang pencoretan itu menurut Hatta, karena pada sore hari tanggal 17 Agustus 1945, dirinya didatangi oleh seorang dari bagian timur Indonesia yang diantar oleh Maeda (penguasa militer di Jakarta) dan meminta agar tujuh kata di Piagam Jakarta itu dicoret karena bersifat diskriminatif bagi golongan non-muslim.(Moh. Mahfud MD, 2011:240-241)
Terkait pengakuan Mohammat Hatta tersebut, karena didatangi oleh orang Timur Indonesia, maka kemudian muncul permasalahan dan pertanyaan. Siapa dan atas mandat dari mana orang bagian Timur Indonesia itu mendorong Hatta melakukan hal itu? Selanjutnya, Maeda (sesuai dengan interview Seichi Okawa dari majalah Tempo pada Agustus 1995) yang oleh Hatta dikatakan sebagai pengantar orang bertemu Hatta tidak tahu-menahu dan tidak pernah mengantar orang bertemu Hatta untuk urusan seperti itu, walau ia mengakui pada tanggal 17 Agustus 1945 ada bertemu dengan Hatta.
Nah, kembali kita lihat ada dua perbedaan pendapat atas pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut. Pendapat yang paling kuat adalah, pendapat yang pernah diutarakan oleh Kasman, karena dia disuruh oleh Soekarno melobot tokoh-tokoh umat Islam di Indonesia dengan janji nantinya akan dibuat rapat dan dapat menyusun suatu dasar negara dan aturan hukum berdasarkan Islam. Tujuh kata itu pun berganti dengan redaksi “Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Sidang Majelis Konstituante
Setelah yang sebutkan di atas, tokoh-tokoh umat Islam di Indonesi pun kembali memperjuangkan dan menagih janji agar Islam menjadi dasar negara. Mejelis Konstuante, adalah lembaga yang bertugas merumuskan dasar negara menjadi tempat atau front perjuangan tokoh Islam dimana mereka bergabung dalam Partai Masyumi.
Setelah pemilihan umum pertama di Indonesia, tahun 1955. Partai Masyumi mendapatkan posisi kedua dengan suara terbanyak sehingga tokoh-tokoh Islam dari Masyumi banyak menempati kursi di Majelis Konstituante ditambah tokoh-tokoh Islam dari partai Islam lainnya.
Di Majelis Konstituante, ditawarkan tiga ideologi sebagai dasar negara, yaitu; Pancasila, Islam dan Sosial Ekonomi. Tiga ideologi ini menjadi bahan perdebatan yang sengit. Masing-masing anggota partai tampil memaparkan gagasan-gagasannya soal dasar negara. Suasana pada masa itu disebut oleh Mohammad Natsir sebagai “konfrontasi dalam suasana toleransi.”. Sidang Majelis Konstituante itu menjadi persidangan terpanjang dalam sejarah parlemen di Indonesia, yang berlangsung dari tahun 1956-1959.
Kasman kembali menagih janji, setelah merasa menyesal memenuhi panggilan Soekarno agar melobi Ki Bagus dan tokoh Islam lainnya, di kemudian hari setelah ia duduk di Partai Masyumi, Kasman menagih yang pernah dijanjikan oleh Soekarno. Dalam sidang Konstituante, Kasman berpidato mengingatkan janji Seokarno, janji tentang kesempatan bagi umat Islam untuk bisa membuat Undang-Undang yang sesuai dengan aspirasi Islam.
Selain Kasman, Abdul Kahar Muzakkir, tokoh Partai Masyumi itu juga menagih janji serupa. Ia mengatakan, “Kalau umat Islam pada tahun 1945 terpaksa menerima Undang-Undang Dasar 1945, itu oleh karena Bung Karno pada tanggal 18 Agustus 1945, telah menjanjikan kepada wakil-wakil umat Islam dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan bahwa dikemudian hari selekas mungkin mereka akan dapat menyempurnakan Undang-Undang Dasar sesuai cita-cita umat Islam. Janji beliau itu dipegang teguh dan ditagih kini oleh umat Islam.” Tegasnya.
Setelah perdebatan itu begitu panjang dan belum mendapatkan titik temu dengan suara terbanyak dalam sidang, padahal Majelis Konstituante masih dalam kefokusannya menyusun dasar negara, Soekarno pun lupa pada janjinya, dan tidak sabarnya Soerkarno untuk mendapatkan hasil dari sidang, dengan otoriternya ia mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mengakibatkan bubarnya Majelis Konstituante.
Dekrit Presiden itu menyatakan berlakunya kembali UUD 1945 untuk menggantikan UUDS 1950 semetara DPR dibiarkan hidup sampai dibubarkan pada Maret 1960, dan digantikan oleh DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong). Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) pun tidak diikutkan dalam DPR gaya Seokarno, karena keduanya menentang kebijakan Soekarno yang otoriter.(Ahmad Syafii Maarif, 1996:44)
Sebenarnya Mejelis Konstituante bukanlah gagal dalam persidangan, tapi digagalkan. Dengan dibubarkannya Majelis Konstituante lewat Dekrit Presiden tersebut, maka Soekarno pun membentuk suatu Demokrasi Terpimpin. Demokrasi gaya baru ini adalah hasil produk politik Soekarno yang bersifat otoriter. Dan konsep Demokrasi Terpimpin ini pun menjadi tameng baja untuk hasratnya menjadi penguasa yang sudah lama Soekarno idamkan.
Maka hari ini, kita umat Islam, masih terus menagih janji Soekarno supaya Islam menjadai dasar negara yang disahkan lewat sidang wakil-wakil rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat. Janji itu jangan dihilangkan atau pun dilupakan. Umat Islam harus terus menagihnya, karena itu janji sejarah yang harus ditepati. Untuk itu, wakil-wakil rakyat harus mengkaji ini kembali dan melakukan sidang pembentukan Islam sebagai dasar negara Indonesia.
Penulis : Ibnu Arsib
Mahasiswa Fakultas Hukum UISU dan Kader HMI Cabang Medan.