MEDANHEADLINES – Megahnya gedung – gedung pencakar langit, gambaran kemapanan serta kemodernan kota – kota maju di berbagai belahan dunia memang sangat menjanjikan bagi banyak orang. Kita mungkin adalah beberapa orang yang menganggap bahwa tinggal di kota besar adalah suatu keberuntungan. Memiliki pekerjaan yang layak di gedung bertingkat, berkantor dengan pakaian rapi dan tentu saja ditunjang dengan gaji yang memuaskan. Anggapan itulah yang akhirnya menarik sebagian masyarakat di berbagai daerah memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman dan bertarung untuk mengadu nasib di kota – kota maju, yang mana fenomena ini disebut urbanisasi.
Secara defenitif, urbanisasi adalah proses perpindahan masyarakat dari desa ke kota, sehingga menyebabkan naiknya jumlah penduduk di suatu kota besar. Sayangnya, sebagian besar diantara mereka hadir tanpa didukung dengan bekal keterampilan dan pengetahuan yang mumpuni. Sehingga tidak jarang, menumpuknya masyarakat pendatang di kota tersebut menimbulkan berbagai masalah sosial yang sebagian besar melanda banyak kota besar di dunia. Beberapa contoh yang paling mengejutkan adalah New York. Kota yang selama ini dikenal sebagai pusat perekonomian dunia ini ternyata menyimpan predikat sebagai kota dengan jumlah gelandangan terbanyak di dunia. Berdasarkan data pada tahun 2013, setiap malamnya, kota New York dipenuhi lebih dari 60.000 gelandangan yang tidur di jalanan, dan lebih mirisnya lagi, 22 ribu diantaranya adalah anak – anak. Los Angeles juga tak jauh berbeda, di kota pusat hiburan dan bisnis ini juga dipenuhi dengan gelandangan yang tak kalah banyaknya, yaitu sekitar 57.737 orang, sehingga menempati urutan kedua sebagai kota dengan jumlah gelandangan terbanyak di dunia. Lebih parahnya lagi, kota – kota tersebut juga menyisakan berbagai masalah sosial lainnya, seperti penyebaran penyakit, meningkatnya angka bunuh diri akibat tekanan hidup dan pekerjaan, serta kriminalitas.
Mungkin tak banyak yang mengetahui, bahwa pembangunan fisik bukanlah ukuran utama majunya sebuah kota. Kasus New York dan Los Angeles adalah bukti nyata bahwa pembangunan fisik ternyata tidak berbanding lurus dengan majunya kesejahteraan masyarakat. Dalam teori trackle down effect, majunya ekonomi dan pembangunan suatu wilayah secara otomatis akan menyebarkan pengaruh positif bagi masyarakat sekitarnya. Secara kasat mata memang benar, dengan hadirnya banyak lapangan pekerjaan serta terpenuhinya sarana dan prasarana pendukung perekonomian. Sehingga kesejahteraan masyarakat dengan sendirinya akan mengalami peningkatan.
Tapi di sisi lain, apakah efek positif tersebut akan mampu dirasakan oleh semua masyarakat? Kita harus ingat bahwa jumlah lowongan kerja yang meningkat dan terpenuhinya sarana dan prasarana tidak akan bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat jika tidak ditopang dengan skill yang dibutuhkan. Untuk memperebutkan peluang tersebut, masyarakat akhirnya harus bersaing satu sama lain. Tentu saja, akan ada yang menang dan kalah. Akibatnya, yang kalah harus tersingkir dan berakhir dengan hidup yang tragis. Hal inilah yang membuat teori trackle down effect perlahan – lahan menjadi terbantahkan melalui fakta – fakta tersebut. Bahwa meningkatnya pembangunan fisik dan ekonomi ternyata bukanlah indikator utama majunya kesejahteraan masyarakat.
Bagaimana dengan Jakarta?
Jika Amerika Serikat memiliki New York dan Los Angeles, secara khusus di Indonesia memiliki DKI Jakarta sebagai kota terbesar di Indonesia. Kurang lebih sama dengan kasus New York dan Los Angeles, DKI Jakarta juga menawarkan peluang kesejahteraan yang menjanjikan. Maka tidaklah heran jika banyak masyarakat di daerah yang berbondong – bondong memenuhi Jakarta dengan harapan besar untuk hidup yang lebih baik. Namun, tetap saja, Jakarta adalah arena pertarungan, bagi mereka yang kalah, mau tidak mau harus tersingkir. Tinggal di pemukiman kumuh (slum area), pinggiran kali, kolong jembatan merupakan suatu hal yang lumrah di ibukota. Terlebih lagi, dengan adanya rencana pemerintah untuk membersihkan kawasan tersebut, sebagian diantara mereka terpaksa harus digusur oleh pemerintah karena alasan pembangunan.
Kondisi kesenjangan sosial masyarakat Jakarta yang sangat memprihatinkan tersebut bahkan dijadikan objek perjalanan wisata dengan nama Jakarta Hidden Tour. Penggagas program ini, Ronny Poluan, mengungkapkan bahwa tujuan dia menciptakan agenda tour ini bukanlah semata – mata karena uang, namun lebih dari itu, ini adalah agenda untuk membuka kepekaan sosial masyarakat dunia tentang Jakarta. Bahkan biaya perjalanan wisata tersebut, nantinya diserahkan ke masyarakat di wilayah kumuh tersebut.
Mungkin perjalanan wisata tersebut merupakan salah satu bentuk tindakan kritis seorang Ronny Poluan yang menginginkan setiap orang (sebagian besar adalah turis asing) agar turut merasakan seperti apa pengalaman hidup ditengah – tengah masyarakat kumuh di ibukota. Dan akhirnya secara otomatis akan menumbuhkan empati serta kepekaan sosial mereka terhadap kondisi masyarakat di wilayah tersebut.
Tak lama lagi, Ibukota DKI Jakarta akan memilih pemimpin mereka yang baru, yang pastinya juga akan turut menentukan nasib mereka. Apakah pemimpin mereka di masa mendatang akan memperhatikan kesejahteraan masyarakatnya atau tidak, semuanya bergantung pada hasil Pilkada DKI Jakarta nantinya. Setidaknya, marilah kita menilai calon pemimpin melalui apa yang akan dilakukannya, melalui program – programnya yang memihak pada masyarakat kecil. Perubahan bukanlah dinilai dari hal – hal yang besar, bahkan melalui hal – hal kecil melalui suara masyarakat di bilik suara lah, perubahan besar bisa terjadi.
Penulis : Fauzan Ismail
Alumni Dept. Ilmu Kesejahteraan Sosial – FISIP USU