MEDANHEADLINES – Awal tahun 2017 ini, satu media atau beberapa status menulis “Jokowi pemimpin terbaik di Asia”. Namun tak berapa lama setelahnya, muncul pula status sebaliknya “inilah berita hoax terbesar mengawali tahun 2017”. Kedua berita itu segera menjadi perbincangan publik dunia maya.
Sumbernya adalah Bloomberg yang telah memeriksa catatan akhir tahun dari kinerja delapan pemimpin Asia yakni Presiden Cina Xi Jinping, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, Perdana Menteri India Narendra Modi, Presiden Korea Selatan Park Geun-hye, Perdana Menteri Australia Malcilm Turnbull, Presiden Joko Widodo, Perdana Menteri Malaysia Najib Razak dan Presiden Filipina Rodrigo Duterte.
Bloomberg menulis bahwa Jokowi merupakan satu-satunya pemimpin negara yang memiliki performa positif dalam seluruh aspek yang dinilai, yaitu menaikkan kekuatan nilai tukar (2,41 persen), menjaga pertumbuhan ekonomi tetap positif (5,02 persen skala tahun ke tahun), dan memiliki tingkat penerimaan publik yang tinggi (69 persen).
Bagi pihak yang senang Jokowi, berita Jokowi sebagai pemimpin terbaik di Asia menjadi asupan yang membahagiakan, sementara bagi kritikus Jokowi berita itu menyakitkan dan bukan dengan cara demikian memaknainya. Sementara bagi pihak ketiga, hanya tersenyum simpul membaca perilaku keduanya. Sudah menjadi karakter medsos, mana opini yang benar, sesat dan mana yang kabur serta ngeblur…dibiarkan pecah berantakan.
Medsos
Semua berita tentang seseorang apakah itu tentang kebaikan atau keburukannya dapat dengan mudah terbit di dinding media sosial. Media sosial dengan karakternya yang super terbuka dibandingkan media konvensional lainnya, jelas dengan mudah dijejali berbagai berita dari beragam sumber yang bisa jelas dan bisa juga tidak.
Penggunanya sekaligus pembacanya kian bertumbuh dan dengan cepat mengalahkan media konvensional lainnya. Angka terakhir untuk pengguna FB di Indonesia sudah mencapai 150 juta pengguna. Cara mengaksesnya pun super gampang, di mana saja, dan kapan saja para pembaca dapat mengaksesnya tanpa ada batasan.
Bagi pembuat berita, setiap opini tentu saja punya motif dan tujuan yang pasti. Mereka butuh mempertegas sikap pembaca terkait dengan harapan yang mereka inginkan. Medsos dengan demikian menjadi tempat pertemuan semua motif yang ada dibenak sipembuat. Penyeru kejahatan dan penyeru kebaikan memiliki kesempatan dan dinding yang sama dalam menempelkan seruannya.
Pembatasnya bukan etika ataupun logika sipembuat atau sipembaca melainkan undang-undang ITE. Selama bisa lolos dari jerat hukum ITE maka semua berita atau opini menjadi sah untuk dilepas kepada publik. Menurut Arthur Posonby, perang antar pembuat berita di media pasti akan membawa korban. Adapun yang menjadi korban utamanya adalah kebenaran itu sendiri.
Pembaca: Realis & Non-realis
Penelitian akademik membuktikan bahwa dua karakter berbeda pembaca media (dalam hal ini medsos). Pertama, pembaca yang memiliki keyakinan bahwa hanya ada satu kebenaran yang objektif. Kedua, pembaca yang mengatakan ada banyak kebenaran atau bahkan tak ada kebenaran sama sekali, selain yang ada hanyalah opini belaka.
Cara pandang pertama disebut realis, sebab ia percaya ada satu kebenaran, terlepas kita tahu atau tidak, kebenaran itu nyata dan berdiri sendiri diluar kita. Cara pandang kedua disebut dengan istilah non-realis. Gagasannya bahwa kebenaran itu tak bergantung kepada kita, sekedar menunggu untuk ditemukan, kebenaran tak berada “diluar sana” dan dengan cara tertentu kebenaran selalu diciptakan oleh bahasa, masyarakat, individu maupun budaya tertentu.
Saat ini para pembaca non-realis cenderung tumbuh membesar bahkan pada kalangan terdidik sekalipun. Banyak orang mulai tak memperdulikan perihal berita di dinding media apakah itu benar atau tidak. Toh pada waktunya yang benar akan muncul begitu yang palsu akan ketahuan. Dampaknya kebenaran kian ‘mengambang’ dan membingungkan.
Pembaca nonrealis selalu dengan enteng bertanya pada diri mereka sendiri, memangnya siapa kami? Tak layak kami mengatakan siapa yang benar diantara haters dan lovers itu? Kami tak perduli siapa yang salah dalam kasus itu? Tak penting bagi kami untuk mengatakan apa ‘kebenaran’ tentang konflik ini?
Sementara para pembaca realis, mereka yakin ada satu kebenaran meski itu ada ‘diluar sana’. Masalahnya bagaimana cara mengetahuinya? Bukankah di dinding kita ada banyak klaim kebenaran? Sekarang bagaimana kita menemukan kebenaran sejati yang terkubur di bawahnya?
Para pembaca realis percaya, kalau mereka skeptis/cuek menemukan kebenaran, maka pasti mereka akan diliputi keraguan terhadap opini yang sudah duluan mereka cerap (konflik, informasi, peristiwa, dll). Jika mereka tak bekerja keras menemukan kebenaran maka artinya ya.. manusia menolak ide kebenaran itu sendiri.
Seberapa Penting Kebenaran?
Membaca opini apa saja setiap hari dengan masing-masing klaim kebenaran sudah menjadi sarapan pembaca medsos. Namun, agar tak terjerembab masalah maka menemukan kebenaran itu justru menjadi penting. Sebab hasrat agar kebenaran itu mendapat pengakuan mestinya menjadi bahagian terpenting dalam hidup kita.
Di Afrika Selatan, kebenaran bahkan jauh lebih penting dari keadilan. Mereka yang bersaksi untuk kebenaran diberikan immunitas-parsial. Orang yang dituduh berbuat kejahatan tapi mereka tidak melakukan, setelah bebas mereka pasti akan menuntut nama mereka dibersihkan. Semuanya karena alasan kebenaran.
Artinya kebutuhan memperoleh kebenaran adalah hakikat manusia yang asali. Demi kebenaran mestinya kita berusaha keras menemukannya. Menelan mentah-mentah kepalsuan/hoax sama saja dengan menelan clurit yang membunuh jiwa kita. Dinding medsos tentu saja tak bisa kita hilangkan dalam menempelkan opininya, dan lambat laun dia telah menjadi ‘sesuatu yang hidup’ saat ini. Namun kita mesti sadar, kita mesti menemukan kebenaran. Karena itu berfikir bijaksana (mendalam) adalah kunci utama untung menyaring dan memilih mana yang benar.
Sudut Pandang
Mengapa para pembaca nonrealis yang berfikir tak ada satu kebenaran tunggal, justru begitu populer? Ternyata banyak orang percaya bahwa manusia memiliki budaya yang membentuk cara pandang yang beda yang tak bisa dipaksakan. Bahkan banyak filosof mempercayai banyak hal berbeda tentang kebenaran.
Setelah Protagoras mengatakan “bahwa manusia adalah alat ukur segala hal” setelah itu justru semakin bergantianlah filosof menggambarkan keakuratan yang relatif. Bahkan para pemikiran relativisme pun telah membuat kesimpulan yang mengaburkan keyakinan/keimanan seseorang. Mereka mengatakan, tak ada “kebenaran” yang superior atau inferior atas yang lain, sehingga kebenaran itu hanyalah sekedar apa yang kebetulan dipercayai orang lain.
Artinya kebenaran itu tak ada yang tunggal, melainkan selalu relatif pada suatu masyarakat, individu atau budaya. Segala sesuatu artinya tak pernah benar, titik, sehingga pembicaraan tentang kebenaran tak pernah berujung atau bahkan berbicara tentang itupun sudah tak memenuhi syarat.
Profesor bahasa di Inggris menggunakan contoh Columbus. Apakah Colombus menemukan Amerika? Bagi orang Eropa benar Colombus penemu benua Amerika, namun bagi penduduk asli Amerika tentu saja tidak! Pandangan ini jelas menjadi dasar kebenaran relatif: tak ada kebenaran, titik! Yang ada, kebenaran bagi seorang, suatu budaya atau suatu masyarakat.
Masalah Utamanya Apa?
Masalah utama opini sebetulnya ada pada deskripsi bukan fakta. Bagi suku asli Amerika merekalah yang pertama ada di benua Amerika bukan Colombus. Sementara bagi Colombus, dialah orang Eropa pertama menemukan Amerika. Jadi perbedaan antara penduduk asli dengan pendatang bukan ada dua kebenaran “diluar sana”. Sehingga dengan berfikir non-realis dimana adanya gagasan bahwa ada satu kebenaran bagi pendatang dan satu kebenaran bagi penduduk Amerika menjadi sangat dangkal.
Karena itu yang diperbaiki dalam dinding opini mestinya adalah deskripsi yang memuat fakta-fakta yang ada. Mungkin kita bisa menulis, “ada satu benua yang telah dihuni untuk jangka waktu yang lama dan Columbus orang Eropa pertama yang pergi kesana”.
Dengan contoh itu, kita bisa masuk pada sikap kita tentang berita “Jokowi sebagai pemimpin terbaik Asia” dan “berita hoax pada awal tahun ini”. Ternyata setelah kita selidiki kita bisa memperbaiki deskripsinya. Menurut Bloomberg dari delapan pemimpin Asia yang mereka nilai, Jokowi satu-satunya yang mendapat nilai positif dari tiga kategori yang dinilai. Dengan berfikir sedikit lebih keras, deskripsi suatu opini bisa menutupi sejumlah kekaburan baik yang sengaja maupun yang memang disengaja!
Berfikir Pilosofis
Berfikir sedikit lebih keras (pilosofis) tentu saja akan membantu kita menarik kesimpulan yang tepat dari bukti-bukti yang ada. Kita dapat mencegah sikap terburu-buru dalam mengambil kesimpulan. Berfikir mendalam juga membantu kita menentukan seberapa banyak bukti yang cukup untuk membenarkan penerimaan terhadap suatu kesimpulan. Ketrampilan berfikir filsafat penting sebab kita setiap hari dibanjiri informasi dari medsos dimana kita memang dipaksa untuk menarik kesimpulan secara cepat.
Berfikir filsafat juga berarti bagaimana kita menggunakan rasio kita seoptimal mungkin untuk menarik kesimpulan atas suatu opini dibanding kita mesti menggunakan perasaan kita secara buta. Dengan berfikir mendalam kita menunda perasaan untuk bekerja terlebih dahulu. Kebutuhan praktis yang dipenuhi dalam berfikir filsafat adalah kebutuhan berfikir jernih dan lebih baik. Kebutuhan akan stimulasi intelektual adalah kebutuhan yang berada pada tempat teratas dari hirarki Maslow.
Namun sekalipun mata uang filsafat adalah akal sehat bukan perasaan namun ia masih dapat memberikan kontribusinya terpenuhinya kebutuhan perasaan/emosional kita. Bayangkan kata Bagnini, berapa banyak manusia yang memendam perasaan bersalah (dihantui rasa bersalah) karena tak bisa berbuat sesuatu, padahal dia memang tak memiliki kemampuan untuk menyelesaikannya. Jadi rasa bersalah selalu diikatkan pada perasaan. Padahal jika seseorang menggunakan rasio, maka masalahnya pasti menjadi jelas, dan kita akan terbebas dari rasa bersalah.
Pustaka: Baggini, Julian, 2003, Making Sense: Filsafat di Balik Headline Berita, Penerbut Teraju: Jakarta
Penulis : Dadang Daramwan, M.Si
Dosen FISIP USU