MEDANHEADLINES – Tidak ada yang lebih nikmat dan memabukkan, selain kekuasaan. Bahkan Mao Zedong sendiri mengatakan bahwa Kekuasaan itu lebih nikmat dibandingkan sex. Begitulah yang namanya kekuasaan, saking nikmatnya, cara apapun akan dilakukan oleh sang penguasa demi meraih kekuasaan dan mempertahankannya. Sejarah perebutan kekuasaan yang terjadi di dunia ini tidak terlepas dari berbagai macam taktis, strategi dan tipu muslihat, mulai dari cara yang paling halus hingga yang paling kejam dan jahat. Hal itulah yang kemudian diceritakan secara vulgar oleh seorang Niccolo Machiavelli dalam bukunya yang berjudul I’ll Principle (Sang Pangeran). Buku ini tadinya ditulis sebagai bentuk pengabdian seorang pegawai pemerintahan kepada pemimpin kota Florence yang berkuasa pada saat itu untuk memberikan panduan kepada sang penguasa tersebut bagaimana cara merebut dan mempertahankan kekuasaan berdasarkan pengalaman – pengalaman sejarah. Namun, lama kelamaan, buku tersebut kemudian berkembang menjadi pegangan utama para penguasa dunia. Dalam kata pengantarnya, disebutkan bahwa hampir seluruh penguasa – penguasa tersohor didunia pernah membaca buku yang diterbitkan di tahun 1532 tersebut. Diantaranya adalah Napoleon Bonaparte, penguasa NAZI Jerman Adolf Hitler, Lenin dan Stalin, hingga seorang pemimpin Fasis Italia, Bennito Mussolini juga pernah membahas buku tersebut kedalam disertasi Doktoralnya.
Didalam buku tersebut, Machiavelli mengungkapkan bahwa orientasi terpenting dalam melakukan strategi politik adalah kekuasaan, sekalipun itu dilakukan dengan cara yang paling jahat sekalipun. Machiavelli bahkan menulis bahwa membunuh sahabat seperjuangan, mengkhianati teman – teman sendiri, tidak memiliki iman, tidak memiliki rasa kasihan dan tidak memiliki agama adalah sebuah kekuatan dalam merebut kekuasaan, sekalipun perbuatan – perbuatan itu termasuk perbuatan yang tidak bermoral. Namun, ulasannya tersebut bukanlah tanpa dasar, semua taktik amoral yang dipaparkannya secara eksplisit mengenai politik kotor tersebut nyata – nyatanya memang dilakukan oleh banyak penguasa dunia yang berhasil direkamnya dalam bentuk uraian sejarah.
Sejarah – sejarah yang berhasil ditulisnya didalam buku Ill Principle secara terang benderang juga turut membuka mata para pembacanya bahwa politik itu sejatinya dibangun melalui konspirasi – konspirasi yang sangat licik. Bahkan, dalam berpolitik, setiap penguasa harus rela menanggalkan moralitasnya dan siap menjadi aktor yang mampu memerankan tokoh apapun. Maka dari itulah, jangan heran jika ada pepatah yang mengatakan bahwa aktor terbaik itu adalah seorang politisi. Agar bisa dicintai rakyatnya, seorang pemimpin harus mampu tampil seolah peduli dan cinta dengan rakyatnya, berperilaku mulia, adil, jujur dan bijaksana. Sayangnya, semua itu sejatinya adalah kemasan luar yang sengaja ditampilkan guna mengambil hati rakyat, sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Machiavelli didalam buku kontroversialnya itu.
Beberapa Nasehat
Lalu, apa saja nasehat yang diberikan Machiavelli untuk para penguasa agar mampu merebut kekuasaan dan mempertahankannya? Secara sederhana, Machiavelli menekankan bahwa seorang pemimpin harus siap melakukan cara apapun demi melanggengkan kekuasaan dan siap melepas segala macam moralitas yang melekat padanya. Secara kepribadian, penguasa harus mampu menempatkan posisi sebagai seorang yang ditakuti sekaligus juga dicintai oleh rakyatnya. Ditakuti karena kebijakannya yang sangat tegas baik bagi rakyat maupun lawan politiknya, sekaligus dicintai karena setiap kebijakan dan janji penguasa kepada rakyatnya memiliki argumentasi yang logis, meyakinkan dan terkesan berpihak kepada rakyat. Machiavelli menekankan perlunya seorang pemimpin untuk menyiapkan alasan yang logis setiap ingin mengeluarkan kebijakan politik. Karena baginya, alasan itu penting guna mendapatkan dukungan rakyat, sekalipun itu merupakan alasan yang sifatnya menipu, tetap saja, hati rakyat harus direbut sebagai dukungan.
Setelah itu, penguasa juga harus bisa membangun ketakutan untuk rakyatnya dan lawan – lawan politiknya. Dengan alasan yang logis pula, pemimpin harus bisa merancang berbagai macam kebijakan yang dapat membatasi ruang gerak rakyatnya untuk melawan rezim pemerintahan. Dalih yang bisa digunakan adalah demi mempertahankan stabilitas Negara, menguatkan persatuan dan keutuhan Negara dan alasan – alasan logis lainnya. Bagi Machiavelli, kecintaan dan ketakutan rakyat terhadap seorang pemimpin sejatinya bisa dikombinasikan secara harmonis. Namun, dari segi prioritas, Machiavelli menempatkan ketakutan sebagai dasar utama membangun kekuasaan, setelah itu baru dukungan dari rakyat.
Selain itu, penguasa juga dibolehkan untuk menggunakan tameng demi mempertahankan kekuasaannya, yaitu militer dan rakyat itu sendiri. Jika menggunakan militer untuk berhadapan langsung dengan rakyat terlalu beresiko, maka pemimpin bisa menjadikan rakyatnya yang lain (yang pro dengan penguasa) sebagai tameng utama untuk melindungi kekuasaan, atau yang saat ini lebih dikenal dengan istilah “politik adu domba”. Politik adu domba dinilai lebih efektif dilakukan supaya bisa dijadikan alasan bagi penguasa untuk menurunkan aparat militernya guna menenangkan situasi. Jadi kata kunci dari setiap kebijakan itu adalah “Alasan”, disinilah Machiavelli menekankan kepada para pembacanya tentang pentingnya merancang alasan sebelum mengambil kebijakan. Karena sangatlah berbahaya jika seorang pemimpin membuat tindakan sewenang – wenang tanpa adanya dalih dan alasan yang logis.
Sebagai penutup, inti dari nasehat Machiavelli adalah bagaimana memposisikan pemimpin supaya terlihat tegas, terpuji dan bijaksana dihadapan rakyatnya. Sekalipun, tampilan tersebut sejatinya hanyalah sebuah sandiwara yang dimainkan oleh penguasa tersebut guna merebut hati rakyatnya. Selanjutnya, bagaimana menciptakan berbagai macam alasan yang logis untuk mengeluarkan kebijakan. Seolah – olah, kebijakan tersebut (sekalipun itu bersikap sangat otoriter dan kejam) memang benar – benar sangat diperlukan guna menjaga stabilitas Negara. Nah, jika sikap – sikap itu berhasil dimiliki oleh seorang penguasa, maka akan menjadi absolutlah kekuasaannya, dan karena itulah mengapa para pemimpin diktator dunia selalu menjadikan nasehat – nasehat tersebut sebagai pedoman politiknya.
Penulis: Fauzan Ismail
Alumni FISIP USU / Praktisi Sosial Media