Membaca Relasi KUASA & MORAL

MEDANHEADLINES, Tulisan ini sepenuhnya diambil dari buku kecil Franz Magnis Suseno “Kuasa dan Moral” yang terbit 1988. Inti tulisannya adalah pentingnya etika-moral dalam kekuasaan. Assumsinya, setiap usaha memisahkan moral dari kuasa pasti akan melahirkan kerusakan dan kekacauan. Meski buku kecil ini sudah lama (1988) namun pesannya masih relevan hingga saat ini, terlebih menyongsong pilkada serentak 2017 yang kini sedang berproses.
Franz menjelaskan adanya gradasi sekaligus degradasi dalam arkeologi teori dan praktek dalam kekuasaan manusia. Secara falsafati tedapat tiga pandangan terhadap negara/kekuasaan yang pernah hadir dalam kehidupan manusia, yaitu, 1. Pandangan tentang negara tidak berhak menuntut ketaatan mutlak; sebab manusia harus lebih taat pada Allah daripada kepada manusia, 2. Pandangan bahwa negara dalam menjalankan tugasnya terikat pada norma-norma etik dimana idea keadilan adalah yang paling mendasar, 3. Pandangan bahwa kekuasaan negara mengalir melalui jalur-jalur suatu sistem hukum.
Menurut Franz pemikiran manusia tentang kekuasaan hari ini dipengaruhi oleh para pemikir/ideolog/pilosof abad pencerahan yang telah membawa perubahan terhadap cara berfikir dan tatanan sosial ummat manusia dimuka bumi ini. Kekuasaan tidak lagi berdasar hubungan informal (keyakinan/dogma) melainkan atas dasar hubungan formal (perjanjian/kontrak). Kekuasaan juga cenderung diperebutkan dan dipertahankan dengan segala cara dan negara cenderung bertindak represif menghukum warganya untuk memperoleh ketertiban. Berturut-turut Franz menyajikan pemikiran dari Thomas Aquinas, Machiaveli, dan Hobbes yang mempengaruhi corak perilaku manusia dalam relasinya dengan kekuasaan.
Namun manusia tetap manusia yang memiliki keterbatasan absolut namun selalu percaya diri menuhankan pikirannya. Untuk berkuasa manusia tidak malu mengutip ‘sampah-sampah pemikiran’ yang begitu menjijikkan.
Thomas Aquinas (1225-1274) :
Etika-Moral Sebagai Dasar Perjanjian
 Sumber kekuasaan menurut paham ketuhanan berasal dari Tuhan (ilahi) yang ghaib yang menyampaikan kepada wakilnya (Nabi/Rasul) melalui wahyu/ilham. Atas penerimaan ilham tersebut Nabi/Rasul kemudian mengatur dan mengurus ummat manusia sesuai dengan kehendak Tuhan. Inti kehendak Tuhan adalah menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya pusat pengabdian dan menjadikan manusia sebagai hamba Tuhan. Dalam hal ini penguasa tidak hanya dipandang karena kekuasaannya melainkan ia juga merupakan wakil Tuhan di bumi yang mesti ditaati tanpa tanya sebab semua yang keluar dari mulutnya adalah Firman.
Semua itu pada awalnya memang terbukti membawa kehidupan yang berbahagia bagi ummat manusia. Namun, era orang bijak para Nabi dan Rasul berakhir. Setelahnya banyak penguasa dengan bantuan pemuka agama memanfaatkan kekuasaan untuk dirinya dan menindas rakyatnya sendiri. Rakyat kemudian marah dan berontak terhadap penguasa ‘titisan tuhan’ yang terbukti palsu. Masyarakat kini menginginkan penguasa itu adalah orang biasa, tidak punya kuasa absolut, dan memerintah berdasar etika-moral untuk mensejahterakan rakyatnya.
Thomas Aquinas berpandangan bahwa meski era Nabi/Rasul sudah lewat namun etika-moral adalah mutlak melekat dalam kekuasaan. Ia berpandangan bahwa ada tiga hukum yang mengatur manusia yaitu hukum abadi (lex aetrena/kebijaksanaan ilahi/kehendak ilahi), hukum kodrati (lex naturalis) dan hukum manusia (lex humana). Kodrat mahluk adalah cerminan sesuai kehendak yang menciptakannya. Eksistensi dan bentuk mahluk sebagaimana kodratnya adalah karena itu merupakan kehendak Tuhan. Setiap mahluk dengan begitu tumbuh kembang bergerak menurut hukum alam (contoh, peredaran seluruh benda-benda di jagad semesta yang terartur). Namun tidak demikian dengan manusia, sebab manusia memiliki kehendak bebas (free will) dimana manusia dapat menentukan sendiri bagaimana ia mau bertindak.
Namun meski manusia punya kebebasan sendiri, ia tetap mesti hidup sesuai dengan kodratnya. Hukum kodrat (lex naturalis) itulah dasar semua tuntutan moral. Jadi moral manusia itu mesti berdasarkan kehendak Tuhan dan sifatnya rasional. Sebab ketika manusia melakukan kehendak Tuhan (perintah dan larangan-Nya) maka manusia pasti akan mencapai puncak martabatnya dan mencapai puncak kebahagiaannya. Perintah dan larangan Tuhan pasti akan menjauhkan manusia bertindak merusak.
Thomas menegaskan suatu ketentuan penguasa yang tidak sesuai dengan hukum kodrat adalah tidak mengikat. Kekuasaan bisa dikritisi sebab penguasa bila melanggar hukum kodrat. Kekuasaan perlu sejauh manusia selaku mahluk mahluk berkodrat sosial membutuhkannya agar dapat menjalankan kemanusiaannya secara utuh. Kekuasaan adalah fungsional dengan kesejahteraan masing-masing orang. Keperluan manusia dalam martabatnya adalah batas prinsipil segala kekuasaan. Pemerintahan yang sah, adil dan beradab adalah pemerintahan yang sesuai dengan kodrat masyarakat yang bebas yang mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Yang disebut Raja hanyalah mereka yang dipilih dan memerintah demi kesejahteraan umum dan bukan untuk kepentingannya sendiri. Hanya masyarakat yang berhak menentukan kepada siapa pemerintahan itu dipercayakan. Setiap pemerintah sah menduduki jabatannya berdasarkan suatu perjanjian dengan rakyatnya. Rakyat berjanji taat sementara Raja berjanji mensejahterakan rakyat. Rakyat sah menggulingkan Raja yang tidak taat pada janjinya. Demikianlah pemikiran Thomas yang mendasarkan kekuasaan politik pada etika politik. Pemikirannya telah menginspirasi setelahnya dimana setiap penguasa ketika terpilih bersumpah atas nama Tuhan sebagai pesan bahwa etika-moral adalah kodrat manusia. Namun kini sumpah jabatan hanyalah tinggal sumpah-sumpahan yang tak punya nilai.
Niccolo Machiavelli (1469-1527):
Teknik Merebut & Mempertahankan Kekuasaan
Machiavelli hidup 250 tahun setelah Thomas di Firenze Italia. Dia hidup saat situasi politik Italia pada saat itu sangat kacau dan pandangan humanisme Italia telah menempatkan manusia ke pusat dunia. Pada saat itu orang yakin alam adalah benda mati dan manusia akan dapat menentukan masa depan sendirinya dengan menaklukkan alam. Machiavelli sangat tertekan sebab Italia saat itu dikuasai oleh Jerman, Perancis, dan Spanyol dan sebagian lagi terpecah-pecah dalam negara-kota. Ia merindukan suatu negara yang sehat, kuat dan tidak korup. Ia mengahrapkan semangat yang tak mau kalah dan menuntut kesigapan militer. Agar tujuan itu berhasil maka sang pemimpin harus mampu mengamankan kekuasaannya. Karena itu Machiavelli membatasi diri pada pembahasan tentang teknik merebut dan mempertahankan kekuasaan.
Untuk mempertahankan dan merebut kekuasaan itulah Machiavelli dipandang memiliki pandangan yang sinis dan ekstrim. Baginya politik dan moral adalah dua bidang yang terkait. Untuk urusan politik baginya tak perlu memperhatikan norma moral. Yang penting Raja berkuasa dan sukses mensejahterakan rakyatnya. Kekejaman asal dipakai secara tepat justru diperlukan untuk stabilisasi kekuasaan. Lebih baik Raja ditakuti daripada dicintai. Raja yang bijaksana tidak boleh menepati janjinya apabila itu merugikan kepentingannya.
Tak bermanfaat kita mempersoalkan legitimasi moral kekuasaan. Yang menentukan adalah teknik merebut dan mempertahankannya. Tegas dan brutal tidak masalah sepanjang itu melakukan apa yang diharapkan rakyat. Persaingan antar mafia yang saling berebut kuasa membuat Machiavelli mereduksi masalah legitimasi kekuasaan hanya pada teknik manipulasinya dan merendahkan dimensi kehidupan politik pada saat itu. Namun, satu yang dilupakan Machiavelli teori dan tekniknya ternyata ‘disenangi’ dan ‘diikuti’ sebagian orang yang merasa terwakili dengan pemikirannya. Ia akhirnya menginspirasi sekaligus menjadi ‘Nabi’ bagi sebagian orang setelahnya.
Thomas Hobbes (1588-1650)
Setelah Machiavelli  wafat 61 tahun kemudian lahir Thomas Hobbes di Inggris. Hobbes sering disebut filsuf absolutisme negara dan disebut sebagai bapak positivisme hukum. Hobbes menempatkan tentang legitimasi kekuasaan pada pikirannya. Namun ia bertentangan dengan Aquinas yang meletakkan legitimasi moral pada hukum kodrat, sementara Hobbes meletakkannya di bawah kekuasaan. Latar pemikirannya juga dipengaruhi oleh situasi politik yang kacau oleh pemberontakan dan perang saudara/perang agama. Hobbes yakin bahwa kelakuan manusia ditentukan oleh nafsu dan emosinya. Adapun akal budi dan freewill tidak tidak memiliki peranan yang signifikan. Hobbes yakin filsafat kekuasaan (teori dan objektifitasnya) dapat diukur seperti ilmu ukur. Hobbes mengkaji psikologis manusia terkait motivasi yang melandasi tindakan manusia. Kesimpulannya, motivasi/naluri paling kuat dalam diri manusia adalah dorongan untuk mempertahankan nyawanya. Ia yakin ia sudah menemukan bagaimana secara objektif mengendalikan manusia, menertibkannya, dan membatasi nafsunya. Manusia tak perlu diimbau kesadaran moralnya melainkan harus ditakuti.
Ia membangun simulasi negaranya yang ia sebut Leviathan. Ia mengatakan bahwa negara mesti kuat untuk memaksa ketaatan anggotanya pada aturan. Negara wajib buat tatanan hukum dimana mereka yang tidak taat akan dihukum mati. Karena takut akan hukuman maka Hobbes yakin manusia akan tertib, dan mengendalikan nafsunya. Agar negara semakin tegas, maka hukum banding wajib disingkirkan, sehingga negara absolut. Warga negara tidak memiliki hak apapun terhadap negara, melainkan semua hak yang dimiliki WN berasal dari negara melalui undang-undang. Hukum adalah Raja dan mutlak. Hukum yang menentukan tentang apakah sesuatu itu bermoral atau tidak. Pada akhirnya Hobbes lupa bahwa ketakutan yang dimiliki manusia sama sekali tidak membuat manusia jera untuk berbuat jahat. Namun gagasan Hobbes untuk menghukum mati mereka yang bersalah masih selalu menggoda para pemegang kekuasaan hingga saat ini.
Penulis: Dadang Darmawan, M.Si
Dosen FISIP USU

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.