MEDANHEADLINES, – Amstrong mungkin juga banyak yang lain mengatakan masalah ummat manusia hari ini dan ke depan kian tak terpecahkan dan masa depan ummat manusia menjadi kian tak pasti. Agama yang banyak menjadi tumpuan untuk mengatasi masalah kini masih berkutat konflik yang tajam dengan kekuatan kapitalisme global dan masih belum menunjukkan tanda akan berakhir. Bahkan lebih banyak ‘kekalahan’ yang diderita agama dibandingkan raihan simpati dari ummat manusia. Stigma kekerasan, teror, intoleran dan cupet cenderung stigma yang mulus dilekatkan bagi kalangan agama. Sementara kapitalisme global yang rasional, toleran, demokratis dan humanis terus mendapatkan tempatnya yang stabil baik di media maupun di tengah ummat manusia. Tidak sedikit manusia yang putus asa akhirnya beralih kepada seni, musik, literatur, tari, olahraga, atau obat-obatan untuk mendapatkan pengalaman transendensi yang sepertinya merupakan kebutuhan manusia.
Disebalik situasi yang semakin rumit, dan ditengah manusia yang suka tergelincir pada perilaku buruk tidak sedikit orang-orang yang kembali merenungkan upaya-upaya yang lebih serius untuk mengatasi masalah ini. Amstrong mengatakan tidak ada yang salah juga jika kita kembali merenungkan pendekatan-pendekatan yang pernah dilakukan para guru bijak bestari yang hidup pada jaman aksial masa lampau ribuan tahun tahun yang silam. Jaman aksial adalah jaman pada kurun waktu 900-200 SM yang silam, dimana pada jaman itu hidup para guru-guru bijak yang melahirkan ajaran seperti Konfusianisme/Taoisme, Hindhu/Budha, Monoteisme di Kanaan, dan Rasionalisme/ Filoshopis di Yunani. Pada masa merekalah tradisi-tradisi luhur dan kemuliaan manusia diberbagai belahan bumi terpelihara secara apik.
Ketika kehidupan manusia dilanda krisis sosial dan spritual yang parah, tidak sedikit ummat manusia yang cenderung berpaling kembali ke periode aksial untuk mencari bimbingan. Amstrong percaya bahwa tradisi Yudaisme Rabbinik, Kekristenan dan Islam adalah merupakan pemekaran belakangan dari akar-akarnya di jaman aksial. Bahkan ketiga tradisi monoteisme tersebut semuanya menemukan kembali visi aksialnya dan menerjemahkannya secara menakjubkan ke dalam idiom-idiom yang berlaku sesuai dengan situasi lingkungan di masa mereka.
Amstrong mengatakan sekaligus bertanya mungkinkah dari kesulitan yang melanda ummat manusia saat ini kita juga dapat belajar dan mendapat inspirasi (ilham) dari periode jaman aksial masa lalu? Bisa ya bisa juga tidak. Namun anggaplah bahwa kalau itu kita lakukan kita telah melakukan upaya dan latihan yang serius dalam arkeologi spritual kita saat ini. Tidak ada yang salah jika kita tidak berputus-asa dan terus-menerus berupaya mencari jalan keluar dari sejarah masa lalu orang-orang bijak untuk mendapatkan inspirasi (ilham) sebagai dasar pijakan untuk lompatan yang besar (The Great Transformation) ke masa depan. Sebab hari ini kita butuh lebih banyak energi untuk melahirkan kearifan dan kebijaksanaan dimana apa yang telah kita upayakan hari ini ternyata semuanya tidak pernah melampaui apa yang terjadi pada masa jaman aksial yang lalu. Berikut pemaparan Karen Amstrong yang dikemukakan dalam bukunya “The Great Transformation: Awal Sejarah Tuhan”.
Pesan Utama
Adalah umum, mereka para guru-guru bijak adalah orang-orang yang sama sekali tidak memperdulikan keyakinan teologis seseorang. Bahkan mendiskusikan masalah teologis apalagi berdebat dan saling membantah justru dapat berarti merusak dan mengalihkan perhatian kita yang luhur. Itu sebabnya para guru bijak bestari selalu bersikap hening dan khidmat menikmati dimensi luhur yang mereka alami. Bahkan mencari sejenis kepastian mutlak yang diharap banyak orang dapat disediakan oleh satu kelompok/kepercayaan adalah sesuatu yang tidak dewasa, tidak realistik, dan menyesatkan (hal.xxx). Para guru bijak selalu berpesan bahwa yang penting bukanlah apa yang anda percayai, melainkan bagaimana anda berperilaku. Mereka yang memiliki kepercayaan yang bajik pasti akan melahirkan perilaku yang bajik pula.
Untuk melekatkan kebajikan dalam perilaku seseroang, para guru bijak tidak akan mengajarkan suatu kebajikan kepada muridnya hanya sekedar lalu saja. Hari ini disampaikan, besok si murid kembali kepada kebiasaannya semula. Melainkan para guru bijak mengajarkan sesuatu dengan tujuan untuk menciptakan manusia yang secara keseluruhan benar-benar berbeda. Itu sebabnya yang dikatakan murid bagi mereka adalah hanya mereka yang memiliki empati, bela rasa, meninggalkan egotisme dan ketamakan, serta menghilangkan kekerasan dan kekejaman dalam diri mereka. Jangankan membunuh orang lain, sekedar mengucapkan kata-kata kasar atau memberi isyarat atau bahasa tubuh yang menyebalkan pun adalah kesalahan. Selain tidak jahat orang bijak sudah pasti bukan mereka yang individual, diskriminatif yang membatasi kebajikan hanya diberikan kepada pihak tertentu. Melainkan orang bijak adalah mereka yang memiliki kepedulian meluas ke seluruh ummat manusia dimuka bumi (mondial).
Para guru bijak tentu saja tidak berusaha memaksakan pandangan mereka sendiri tentang realitas puncak itu kepada orang lain. Mereka yakin, tidak seorangpun mesti mengambil ajaran religius tentang iman dari tangan kedua. Setiap orang tentu perlu mempertanyakan segala sesuatu dan menguji setiap ajaran secara empiris diperhadapkan dengan pengalaman pribadi mereka. Karena itu, ketika cakrawala, kebajikan dan simpati dalam kehidupan manusia sudah dipenuhi oleh pembatasan-pembatasan maka pada saat itu merupakan pertanda bahwa jaman aksial mulai berakhir.
Pada situasi dunia hari ini yang bertahan dengan visi parokhial dan eksklusifnya, Amstrong menawarkan agar manusia hari ini kembali menggali etos jaman aksial (bijak bestari) yang terpendam. Kita mesti belajar untuk hidup dan berperilaku seakan-akan mereka yang beda negara dan jauh dari tempat tinggal kita, adalah orang yang sama pentingnya dengan diri kita. Tak perlu putus asa dengan situasi dunia hari ini yang tercabik-cabik oleh kekerasan, peperangan dan agresi yang ekskalasinya bahkan tak pernah terjadi sebelumnya. Sebab para manusia bijak bestari justru menemukan jawaban dari suatu hamparan kekerasan jiwa manusia yang penuh dengan noda dengan mengerahkan segala harapan sehingga mereka mampu menembus dunia batin mereka dan mulai menelusuri apa yang hingga saat itu tak terungkap dalam pengalaman manusia (hal.xxxii). Setiap jaman, termasuk kita yang hidup pada jaman ini tentulah berharap agar wawasan yang orisinil (hakiki) sebagaimana yang terjadi pada jaman-jaman sebelumnya akan terjadi kembali pada jaman kita hari ini. Menemukan orisinalitas itulah yang menjadi tugas kita saat ini (hal. xxxvi).
Penulis: Dadang Darmawan, M. Si
Dosen FISIP USU