Pembuktian Motif Sambo Demi Keyakinan Hakim

Pembuktian Motif Sambo Demi Keyakinan Hakim

MEDANHEADLINES.COM, Medan – Drama kasus persidangan pembunuhan Joshua oleh Freddy Sambo, bakal memasuki episode akhir yang sangat dinanti publik; vonis hakim Pengadilan Jakarta Selatan.

Bukan saja karena kasus ini dilakoni oleh pejabat tinggi kepolisian, sehingga cukup menguji nyali aparat penegak hukum yang menangani, masyarakat pun sangat menanti akhir cerita yang mungkin menguak misteri motif dalam kasus ini.

Maklum, beragam motif Sambo membunuh Joshua telah mencuat di permukaan, bahkan sebelum persidangan digelar. Mulai dari isu pelecehan, perselingkuhan, LGBT hingga motif yang bahkan lebih liar lagi bila menerjemahkan kata ‘menjijikkan’ yang sempat terlontar Mahfud MD.

Bagi aparatur persidangan, motif Sambo tentu tidak mudah menemukan sesuatu yang ‘abstrak’ layaknya motif, cerminan sikap batin (mens rea) pelaku. Apalagi sifatnya subyektif suatu delik atau keadaan psikis khusus si pembuat. (Uthrect : 1967).

Adapun selama persidangan, fakta motif yang mencuat hanya pelecehan yang sebelumnya dilakukan oleh Joshua terhadap istri Sambo yakni Putri Chandrawati, kemudian menjadi alasan Sambo dalam menghilangkan nyawa Joshua. Motif ini pula yang diandalkan pihak Sambo untuk memohon keringanan hukuman nantinya.

Perdebatan kemudian mucul dari para ahli yang hadir di persidangan, mengenai keharusan pembuktian motif. Wajar menjadi multitafsir, lantaran pasal 340 KUHP tidak mensyaratkan pembuktian motif dalam pemenuhan unsur kesengajaan (opzet) dan rencana (moord) dalam tindak pidana pembunuhan berencana.

Dalam beberapa sesi persidangan, sebenarnya telah tersaji beberapa fakta yang disajikan guna membuktikan kebenaran motif tersebut. Sebut saja keterangan saksi dan para tersangka yang kemudian diuji dengan alat deteksi kebohongan atau tes poligraf, perilaku para tersangka maupun korban yang terekam cctv.

Namun bagi jaksa, pembuktian motif tersebut bukan lah suatu keharusan. Jaksa hanya memiliki kewajiban membuktikan unsur (bestandeel delict). Selama alat bukti cukup untuk memenuhi unsur pasal yang didakwakan, penuntut umum tidak dibebankan pembuktian motif sebagai dasar penuntutan yang ternyata tidak menuntut pidana tertinggi terhadap seluruh tersangka.

Namun tidak demikian untuk hakim sebagai sang pengadil. Motif menjadi pondasi penting dalam pembentukan keyakinan hakim, sebagai alasan, misalnya, untuk menghilangkan sifat tindak pidana (straf-uitsluitings-gronden), maupun memaafkan si pelaku (feit d’xcuse), apabila ingin mengamini tuntutan jaksa.

Dalam hukum pidana, dikenal adanya teori pembuktian (bewijstheorie) sebagai dasar keyakinan hakim. Di antara beberapa bewijstheorie tersebut, ada teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (laconviction raisonne).

Teori ini menekankan bahwa hakim harus memiliki alasan yang jelas dalam membentuk keyakinan ketika memutus suatu perkara. (Eddy O.S Hiariej:2012).

J.M. Van Bemmelem menambahkan, pengungkapan motif dalam hukum pidana sangat membantu menyakinkan hakim dalam mengambil suatu keputusan dalam menentukan ringan atau beratnya suatu putusan pemidanaan terhadap terdakwa.

Dengan demikian, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan harus menyebutkan dalam amar putusannya nanti, alasan-alasan yang menjadi bukti motif para tersangka kasus Sambo, yang diperoleh dari fakta persidangan, apabila ingin senada dengan jaksa yang tidak menuntut ancaman pidana paling tinggi yakni hukuman mati mengingat motif Sambo yang marah demi menjaga harkat dan martabat keluarganya lantaran istrinya telah dilecehkan oleh Joshua.

Namun sebaliknya, apabila majelis hakim tidak menemukan fakta persidangan yang menjadi bukti motif pelecehan seksual sebagai sekedar alasan para tersangka untuk lari dari tanggung jawab setelah menghilangkan nyawa Joshua, bisa menjadi dasar keyakinan hakim menjatuhkan vonis pidana tertinggi.

Apalagi dugaan tersebut sudah terindikasi dari tindakan Sambo sebelumnya yang menghambat proses penyidikan (obstruction of justice) dengan merusak cctv yang ada di sekitar tempat kejadian perkara.

Mari kita tunggu saja hasil keyakinan para hakim dalam mengadili kasus ini. Karena sang pengadil kasus ini juga tak ingin seperti yang diungkapkan Plato; “Orang yang tidak berbuat adil, akan lebih menderita dari orang yang menerima ketidakadilan itu”.

Penulis : Dharma Hutapea. SH
Advokat & Kurator / Ketua DPC AAI Jakarta Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.