MEDANHEADLINES.COM – Salah seorang tokoh paling berpengaruh dunia, Mahatma Gandhi pernah berkata Jika mata dibayar dengan mata, maka seluruh dunia akan buta. Ungkapan ini dapat bermakna, jika sebuah kejahatan dibalas dengan kejahatan maka tidak akan ada kedamaian di dunia ini.
Normalisasi aksi balas dendam yang berujung pada tindak kekerasan masih umum terjadi di masyarakat, khususnya di Indonesia. Terutama saat ini, dimana teknologi memudahkan masyarakat memberi dukungan maupun cercaan melalui kolom komentar media sosial maupun pemberitaan.
Ayo sejenak kita menyelam lebih dalam pada kasus yang baru baru ini viral di media sosial. Berawal dari pemukulan terhadap seorang siswi SMP di Kota medan terhadap teman sekelasnya. Selidik punya selidik, ternyata korban sebelumnya telah lebih dulu melakukan perundungan terhadap pelaku.
Berita ini cukup viral dan diposting di beberapa laman pemberitaan digital, dan direshare berulang kali melalui akun sosial media baik milik komunitas maupun personal.
Hal ini lumrah terjadi disaat masyarakat ingin ikut serta menunjukkan opini mereka terhadap sebuah kasus yang tengah terjadi, terutama jika kasus yang dimaksud marak diperbincangkan di dunia maya maupun di dunia nyata. Namun yang agak meresahkan adalah kolom komentar pemberitaan tersebut yang penuh dengan dukungan terhadap pelaku pemukulan.
Netizen beranggapan bahwa korban pemukulan layak mendapatkan kekerasan tersebut karena sebelumnya telah lebih dulu melakukan aksi perundungan.
Salah satu pengguna sosial media menuliskan “Bah…. Berani bully tapi gak tahan ditumbok… dasar kentang”. Sedangkan pemilik akun Liput91 menuliskan “Ga tau malu masih brani buat laporan!
Makanya anaknya di edukasi buk, jangan coba2 bully anak org. Sekarang kenak kan ketar ketir serasa paling korban, gini lah susahnya, lawan jadi tersangka.. anak sekolah serasa PREMAN!”
Kedua komentar di atas hanyalah salah satu dari puluhan komentar lainnya yang semua mengandung dukungan terhadap pelaku pemukulan. Lantas pertanyaannya, apakah kekerasan diperbolehkan diganjar dengan kekerasan? Jika seperti ini, maka kita akan kembali diingatkan oleh statement Mahatma Gandhi yang boleh jadi maksudnya adalah kekerasan yang dibalas dengan kekerasan akan memunculkan lingkaran setan yang tak akan ada akhirnya.
Jika masyarakat terus menerus mendukung tindakan balas dendam yang cenderung main hakim sendiri seperti ini, maka akan sangat mungkin memunculkan kejahatan baru yang bentuknya jauh lebih buruk dan lebih kejam. Hal ini bukan isapan jempol belaka, karena pada kenyataannya memang sudah terjadi.
Sebut saja pembunuhan yang dilakukan seorang pria di china terhadap 9 orang mantan teman yang pernah merundungnya di sekolah, atau penabrakan dan penikaman membabi buta yang dilakukan oleh pria di tokyo juga disebabkan oleh perundungan semasa sekolah.
Sekarang, ayo kita coba menyelami proses sebab akibat, mengapa para korban akhirnya mengambil inisiatif untuk melakukan perlawanan dan akhirnya menjadi pelaku kekerasan terhadap mantan
perundungnya? Dan mengapa masyarakat lantas mendukung aksi main hakim sendiri ini? Lantas dimana dan bagaimana hukum di mata masyarakat? Mengapa masyarakat cenderung mengabaikan hukum yang berlaku dan lebih memilih keadilan jalanan yang pada akhirnya memunculkan jenis – jenis kekerasan yang lebih brutal.
Bukankah ini berarti pemerintah telah gagal? Karena pada kenyataannya telah ada banyak peraturan yang dilahirkan, namun seolah – olah tidak dapat ditegakkan sehingga masyarakat kecewa dan membenarkan tindakan balas dendam. Pada prinsipnya, keadilan akan menemukan jalannya sendiri,
namun sangat disayangkan jika keadilan itu bukan diperoleh di pengadilan. Padahal pengadilanlah satu- satunya tempat dimana keadilan itu seharusnya dilahirkan.
Kembali pada kasus awal di atas, dimana pelaku pemukulan dan korban yang sebelumnya adalah pelaku perundungan, keduanya masih berusia anak. Hal ini menambah keresahan terutama bagi PKPA.
Direktur eksekutif PKPA, Keumala Dewi menyayangkan kejadian ini, terlebih lagi respon masyarakat yang seolah- olah tidak memiliki empati terhadap korban pemukulan tersebut. Padahal masyarakat yang menulis dan mengirimkan komentar tidak mengetahui latar belakang korban maupun pelaku.
Tidak ada yang benar benar memahami alasan spesifik yang melatarbelakangi kedua tindak kekerasan yang dilakukan anak, baik itu pemukulan maupun perundungan.
Keumala Dewi menyatakan bahwa edukasi dan pendekatan disiplin positif lah yang seharusnya dilakukan. Bahwa ketika anak melakukan kesalahan, disiplin yang diberikan adalah untuk perbaikan dan penyadaran, bukan mempermalukan anak tersebut, sehingga belas kasih dan empati dapat tertanam dalam karakter mereka dan tidak mengembangkan prilaku serupa kepada orang lain. Selain itu, pendampingan dan pemulihan trauma juga dilakukan oleh Yayasan PKPA, untuk memastikan anak pulih dari trauma akibat kekerasan yang dialaminya.
Hal ini pula yang selalu diusung PKPA dalam berbagai aktivitas yang dilakukan dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap anak, baik anak sebagai korban, saksi maupun pelaku.
Semoga tulisan ini menjadi renungan kembali bagi kita sebelum terlanjur memberi dukungan ataupun opini yang salah yang lantas tidak membantu penyelesaian masalah, namun memperburuk keadaan,
terutama jika kasus – kasus kekerasan yang kita komentari melibatkan anak – anak di dalamnya. Seperti sebuah statement yang juga masyhur diungkapkan juga oleh Mahatma Gandhi “I will not let anyone walk through my mind with their dirty feet”.
Mungkin ada baiknya kita menjernihkan fikiran terlebih dahulu sebelum memberikan dukungan atau cercaan pada satu peristiwa yang kita temukan di laman media. Karena jika salah melangkah, bukan penyelesaian yang ada namun malah memunculkan prahara baru yang lahir dari jari – jari kita.
Penulis : Ayu Lestari
Koordinator Digital Media Komunikasi Yayasan PKPA.