May Day, Refleksi Buruh Sektor Rumahan Yang Kian Terlupakan

MEDANHEADLINES.COM, Medan – Hari buruh sudah menjadi libur nasional sejak 2013 di Indonesia. Perayaannya biasa digelar dengan unjuk rasa besar-besaran. Namun tak sedikit juga buruh yang ikut-ikutan dalam agenda bikinan pemerintah : pesta rakyat, panggung rakyat atau acara sejenis itu.

Nasib buruh sebagai kelas proletar masih saja memprihatinkan. Buruh kerap kali mendapatkan perlakuan tidak manusiawi dari perusahaan. Misalnya PHK sepihak, pemotongan gaji karena terlambat datang, membayar uang permisi untuk melakukan shalat, dan upah yang tidak setimpal dengan jam kerja. Perbudakan ini seolah mendapat pembiaran dari pemerintah sebagai penyelenggara negara yang melindungi hak setiap warga negaranya.

Buruh kadang diidentikkan dengan orang yang bekerja di industri. Dan lebih berkonotasi pada pekerja kasar di pabrik. Namun, dari berbagai sumber menyebut, jika setiap orang yang bekerja dan menerima gaji adalah buruh.

Begitu pun dengan pekerja rumahan yang kadang luput dari perhatian kita. Mereka juga buruh.

Nasib Buruh Rumahan yang Terlupakan

International Labour Organization mendefinisikan pekerja rumahan sebagai mereka yang melakukan pekerjaan di rumah atau di tempat lain di luar tempat kerja pemberi kerja untuk menghasilkan produk atau jasa yang secara khusus diminta pemberi kerja untuk mendapatkan upah. Fenomena buruh rumahan di indonesia seharusnya mendapat perhatian khusus. Tidak sedikit perusahaan memberikan pekerjaan. Buruh rumahan tidak memiliki ikatan dengan perusahaan, karena mereka hanya mengerjakan pekerjaan tambahan dari perusahaan. Misalnya : Memasang kancing pada baju, melipat amplop voucher seluler, memasang sol sepatu, dan masih banyak lainnya macam dari pekerjaan buruh sektor rumahan. Dan biasanya pengerjaan tersebut dilakukan dengan sistem borongan. Upah mereka dihitung dari satuan produk yang telah dikerjakan.

Nyaris tak ada istilah jam kerja untuk buruh sektor rumahan. Karena mereka cenderung dengan sistem borongan dan waktu yang ditentukan untuk menyelesaikan borongan. Jadi terkadang buruh rumahan bekerja melebihi waktu kerja buruh sektor formal karena dikejar deadline. Dan mirisnya lagi upah yang diterima buruh rumahan tidak sesuai dengan jam kerja.

Tak ada jaminan terhadap buruh rumahan. Mereka juga tak mendapatkan jaminan asuransi dari perusahaan yang memberikan mereka pekerjaan. Tapi, apa mau dikata. Buruh rumahan harus menerima ini. Karena para buruh rumahan menganggap  ini adalah pekerjaan untuk menambah penghasilan.

Perlindungan Hukum Hanya Mimpi Belaka

Lahirnya UU NO. 13 Tahun 2003 tentang Ketenanagakerjaan dan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial, sebenarnya menunjukkan wajah kebijakan penyelenggara negara kita untuk semakin memperkecil tingkat intervensi negara di bidang perburuhan. Hal ini minimal dapat dilihat dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang ketentuan-ketentuan tentang perjanjian waktu tertentu (buruh kontrak) dan lembaga penyalur tenaga kerja (out sourching). Sebelum diterbitkannya UU ini, ketentuan tentang buruh kontrak hanya diatur dalam peraturan setingkat menteri, bahkan out sourching sama sekali tidak diatur, tetapi UU No. 13 tahun 2003 justru memasukkan permasalahan ini secara eksplisit.  Walaupun ketentuan tentang buruh kontrak dan out sourching masih dibingkai dengan beberapa persyaratan yang harus dilakukan apabila pengusaha akan memberlakukan kontrak maupun memberlakukan out sourching.

Sampai sekarang buruh rumahan belum mendapat perlindungan hukum dari penyelenggara negara. Buruh informal yang menyerap tenaga kerja begitu banyak seharusnya mendapat perhatian yang serius dari penyeelenggara negara. Apabila hal ini tidak disikapi, para pngusaha atau perusahaan juga tidak memiliki tanggung jawab apapun apabila terjadi sesuatu kepada buruh rumahan. Misalnya, apabila terjadi kecelakaan kerja dialami buruh rumahan. Ini adalah tanggung jawab dari buruh tersebut. Padahal dia bekerja membantu perusahaan untuk menyelesaikan produk yang akan dipasarkan. Dan apabila hal ini tetap dibiarkan saja, akan semakin marak praktek eksploitasi terhadap buruh rumahan.

Pengusaha pastinya ingin mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya agar perusahaan tetap bertahan, dan masyarakat pasti akan mencari nafkah dengan cara apapun walau terkadang tidak sesuai apa yang diberi dan apa yang diterima. Definisi hubungan kerja dalam UU No 13 tahun 2003 dianggap sah apabila ada tiga unsur: ada pekerjaan, perintah kerja, dan upah.

Dalam kasus buruh rumahan, hanya ada unsur pekerjaan, sementara perintah kerja yang seharusnya dituangkan secara tertulis tak ada. Ketentuan upah pun tak sesuai aturan perundangan. Akhirnya, pengusaha/perusahaan bebas meraih keuntungan sebesar-besarnya tanpa dibebani membayar hak-hak normatif pekerja, pajak, dan lain-lain. Sementara itu, gerakan buruh belum mampu menyentuh sektor buruh rumahan.

 Pemerintah harus tanggung jawab

Tingginya biaya hidup memaksa masyarakat untuk mencari pendapatan lebih. Banyak yang memilih menjadi buruh rumahan karena merasa tidak memiliki ikatan kerja formal dan tidak terikat waktu. Tapi di sisi lain harus kita lihat bahwasannya buruh rumahan di negara kita ini seolah nyaman dengan penindasan yang ada. Tingkat pendidikan yang rendah juga yang memaksa mereka berada dalam kondisi tertindas. Disinilah seharusnya pemerintah memainkan perannya. Pemerintah harusnya bertanggung jawab atas pmenuhan lapangan kerja bagi rakyatnya. Namun sampai sekarang ini seperti utopia belaka. Masih maraknya praktek penindasan terhadap buruh tidak mendapat perhatian pemerintah.

Ketika pemerintah juga tetap diam dengan penindasan yang ada, harusnya rakyat yang harus mengingatkan. Masyarakat juga tidak bisa semata mata hanya diam dan menikmati penindasan. Masyarakat harusnya mendesak pemerintah untuk membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang buruh sub-kontrak atau buruh rumahan. Agar praktek eksploitasi juag bisa semakin berkurang. Semoga ini bisa jadi refleksi dan menjaga semangat kita dalam memperjuangkan kaum akar rumput seperti buruh rumahan. Terima kasih

 

Penulis : Prayugo Utomo

Alumni Sosiologi FISIP USU

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.