MEDANHEADLINES.COM, – Modal sosial menurut Fukuyama (2002) meminjam pendapat James Coleman, dalam “Social Capital in the Creation of Human Capital”, American Journal Sociology (1988) adalah serangkaian nilai atau norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok (bangsa) yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Artinya hanya mereka (keluarga atau kelompok) yang memiliki nilai (norma) bersama yang diyakini dan ditaati anggotanya yang memungkinkan terjalinnya kerjasama suatu bangsa sehingga bangsa tersebut menjadi bangsa yang kuat. Sebaliknya masyarakat yang tidak lagi taat pada nilai-nilai bersama (common value) dan hanya mengandalkan ikatan-ikatan formalistik belaka akan membuat masyarakat hidup dalam kondisi atomik yang rentan bergesekan dan perpecahan.
Fukuyama menegaskan bahwa hubungan modal sosial dengan kepercayaan (trust) sangatlah erat. Kita akan percaya pada teman kita hanya karena kita telah membuktikan bahwa teman kita itu adalah orang yang jujur, adil, dan penuh dengan kekeluargaan. Apa yang kita sepakati sebagai nilai kebaikan (nilai luhur) bersama benar-benar kita saksikan dipraktekkan oleh teman kita tersebut. Kita mau ikut suatu organisasi (kelompok) karena kita percaya organisasi itu melakukan tindakan yang luhur. Kita tak percaya pada orang asing karena kita tidak tau tindak-tanduknya apakah baik atau buruk.
Kepercayaan (trust) sangat penting untuk membawa kemakmuran suatu bangsa dan dapat diandalkan untuk mengurangi biaya (costs). Mereka yang saling percaya dengan sendirinya akan saling membantu, tidak saling curiga, mengurangi pertikaian dan tidak bersengketa. Dengan kepercayaan hubungan seseorang dengan kelompoknya lebih kuat dan cenderung mengabaikan hal-hal yang bersifat untung rugi. Kepercayaan ibarat pelumas yang membuat jalannya kelompok menjadi lebih efisien.
Pada masyarakat kita, budaya gotong royong yang hidup sejak lama sangat signifikan dalam melahirkan produktifitas masyarakat. Masih ingatkah dengan kehidupan kita didesa tempo hari? Semua pembangunan di desa-desa kita tinggal berlangsung dengan ditopang gotong royong. Dengan gotong royong pembangunan suatu desa terjadi tanpa mengeluarkan biaya sedikitpun. Tak perlu uang untuk nanam padi, manen, rewangan mau pesta, minta jambu tetangga, minta minum, minta makan, dll. Bandingkan dengan masyarakat modern saat ini. Meski kerjasama antar masyarakat dalam suatu kelompok atau organisasi juga terjadi, namun kerjasama tersebut selalu dibangun diatas hubungan yang sifatnya formal’ Kita ada dalam satu organisai karena ikatan kontrak antar para pihak, aturan bersama, kesepakatan atau bahkan sangsi. Untuk kerjasama saja kita mesti bayar mahal. Karena itu ikatan informallah (nilai persaudaraan) yang sangat penting dalam memperkuat modal sosial.
Terdapat tiga indikator yang dapat kita ukur untuk menentukan posisi modal sosial kita selaku bangsa Indonesia yaitu tingkat kejahatan, kondisi keluarga dan kepercayaan. Ukuran ini tentu penting untuk membaca situasi sosial kita saat ini. Sebagai bangsa besar (besar dalam hal jumlah penduduk, jumlah pulau, jumlah suku, kekayaan alam) kita sangat bergantung pada tingkat saling kepercayaan diantara suku-suku, agama-agama, dan daerah-daerah yang berbeda-beda satu denga yang lain. Kita sadar kita punya potensi sebagai bangsa besar namun kita sadar kita juga sangat rentan jatuh sebagai bangsa gagal dan terhina-papa menjadi kuli bangsa-bangsa lain.
Pertanyaan penting bagi kita adalah, apakah posisi modal sosial semakin baik atau semakin tergerus (defisit)? Jika posisi modal sosial kita baik (positif) maka masalah menguatnya identitas politik dan ancaman perpecahan yang sedang melanda kita saat ini akan dapat kita lewati. Sebaliknya, jika posisi modal sosial kita negatif, maka kita akan jatuh ke lubang kuburan yang kita gali sendiri, artinya sebagai bangsa kita akan ‘tamat’.
Modal Sosial Bangsa Indonesia
Tidak ada satupun orang Indonesia yang tidak yakin bahwa potensi modal sosial bangsa Indonesia sangatlah besar bahkan besar sekali. Dasarnya jelas, yaitu tingginya budaya gotongroyong, kerjasama, saling percaya dan taat pada aturan yang telah disepakati sudah hidup sejak ribuan tahun yang lampau pada generasi-generasi sebelumnya. Sudah ribuan tahun tercatat dalam buku bangsa Nusantara dikenal sebagai bangsa yang luhur.
Betapapun ancaman perpecahan di depan mata namun anak-anak bangsa kerap mampu keluar dari masalah, dimana semua itu muncul karena adanya mental kebersamaan senasib dan sepenanggungan sebagai anak Nusantara. Lihat, ketika Belanda sudah memporak-porandakan bangunan suci kebersamaan dengan politik pecah belahnya, maka anak-anak Nusantara menjawabnya dengan Sumpah Pemuda. Adanya Sumpah Pemuda (1928) adalah bukti bahwa bangsa Indonesia memiliki ikatan nilai yang kuat dalam berbahasa, bertanah air dan terutama berbangsa. Dengan Sumpah Pemuda kita keluar dari ‘lubang jarum’ kematian. Melalui Sumpah Pemudalah yang berisi nilai-nilai kesepakatan luhur kemerdekaan bangsa Indonesiapun didapat dengan mengenyahkan penjajahan dari bumi pertiwi ini.
Namun, pertanyaan selanjutnya adalah apakah dengan adanya ikatan nilai dalam Sumpah Pemuda dan dilanjutkan ikatan nilai (konsensus) yang ada dalam Pancasila sudah menjamin bahwa diantara anak-anak bangsa (kelompok suku, daerah, agama, golongan) sudah terjalin saling kesadaran saling percaya-mempercayai satu dengan yang lain? Apakah antar anak-anak bangsa sudah bersikap jujur, terbuka, dan bersaudara satu dengan yang lain?
Baiknya isi sumpah, luhurnya sejarah, indahnya cerita masa lalu ternyata semua ada batasnya. Bangsa besar pun seperti Asyiria, Babilonia, Romawi, Persia akhirnya rubuh tinggal sekedar catatan sejarah. Semua catatan sejarah yang gemilang hanya tinggal catatan kaki ketika nilai-nilai luhur yang menjadi prasyaratnya tidak lagi hidup dalam peri-kehidupan masyarakat. Sudah adagium jika suatu bangsa tanpa memiliki ideologi/keyakinan, maka bangsa itu pasti akan rubuh, “a nation without faith, can not stand”.
Apakah selaku bangsa Indonesia yang ber-ideologikan Pancasila kita sudah menghidupkan nilai-nilainya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Jika pertanyaan ini kita ajukan saat ini, maka jawabannya kita sudah tebak pasti semua kita mengatakan bahwa kita belum menghidupkan, belum mengaktifasi ideologi yang merupakan konsensus kita bersama. Faktanya, kita justru asyik menghidupkan suasana bathin kebangsaan kita dengan nilai-nilai Liberal ataupun nilai lainnya yang kita impor dari luar. Jelas pada prakteknya kita lebih suka mempraktekkan ideologi liberal, politik liberal, ekonomi liberal, budaya liberal ataupun hukum kolonial ketimbang yang bersumber dari Pancasila.
Dampaknya jelas sangat terasa bagi kita semua hari ini. Perlahan namun pasti sikap individual, persaingan dan saling curiga tumbuh segar dalam lingkungan pergaulan kita. Akibatnya tingkat eksploitasi terhadap sumber-sumber alam semakin menjadi-jadi yang dibarengi dengan tingkat kerusakan alam yang tinggi dan meluas karena kita bersaing menjadi pribadi dan keluarga yang kaya-raya. Bahkan tingkat penjualan sumber-sumber alam kepada asing semakin meningkat dari waktu ke waktu. Akibat lainnya adalah pergaulan bebas diberbagai kalangan tampil justru untuk menunjukkan identitas baru kita. Anak-anak justru gembira menggunakan narkoba dan melakukan kriminal. Sementara Bapak-bapaknya gembira menjadi koruptor karena berhasil menjadikannya keluarga kaya-raya. Akibatnya perlombaan berbuat kejahatan tak mungkin lagi dicegah. Setidaknya fakta tersebut dapat kita saksikan dari sumber-sumber media elektronik maupun cetak yang setiap hari mengungkapkannya.
Terakhir, kalau kita lihat dari sisi keluarga selaku intitusi informal yang paling rendah, tempat dimana orang tua menyemai benih-benih luhur kepada generasi-generasi harapan bangsa, maka yang terlihat adanya degradasi peran orang tua dalam keluarga. Para akademisi pro-pembangunan (developmentalism) memang sudah mendisain pola kehidupan manusia modern dengan cara memisahkan peran orang tua sebagai pembina keluarga. Terbentuknya ragam institusi sosial di tengah masyarakat (pendidikan, ekonomi, olah-raga, hobby, keamanan, pernikahan, konsultan rohani) telah menghilangkan peran orang tua sebagai jantungnya keluarga. Peran orang tua telah disudutkan pada sudut sempit hanya sebatas mencari uang belaka. Selebihnya orang tua dipaksa untuk menggunakan ragam institusi sosial sesuai dengan kebutuhan rumah tangganya. Akibatnya, orang tua tak punya akses ideologis terhadap anaknya sendiri. Masing-masing hidup sesuai dengan program institusi besar Liberalism yang memang mendisain kehidupan manusia terasing dari dirinya sendiri.
Penutup
Pada kehidupan berbangsa dan bernegara yang kian menggerus nilai-nilai luhur kita sendiri, maka ancaman untuk menjadi suatu bangsa yang gagal dalam mengatasi masalah yang kita hadapi tentulah sangat besar. Kita menjadi bangsa yang pada akhirnya rentan terhadap terhadap isu-isu negatif yang sengaja atau tidak memang dihembuskan untuk melemahkan. Isu-isu intoleransi, penguatan identitas kelompok, penghambaan terhadap kekuasaan sejauh ini telah menyentuh ruang rasionalitas masyarakat yang sensitif. Tentu saja jika kondisi mentalitas masyarakat tidak cukup mampu untuk menerima serbuan isu-isu negatif tersebut maka yang akan terjadi adalah munculnya respon balik yang irrasional dan tak terkendalikan.
Gejala irrasionalitas masyarakat tersebut dapat kita saksikan dengan mudah sudah terjadi pada dinding-dinding media-media sosial yang kini menjadi sumber utama manusia modern dalam berkomunikasi. Medsos yang cenderung menyembunyikan pihak-pihak yang berkomunikasi tentu saja dapat dengan mudah memuntahkan isu-isu yang tak dapat diverifikasi dan dirujuk kebenarannya. Akibatnya, komunikasi medsos justru semakin membuat suasana cepat memanas dan berbenturan.
Artinya, kita sudah bisa simpulkan bahwa ditengah posisi modal sosial kita yang kian tergerus, kita tinggal selangkah lagi menorehkan catatan dalam buku sejarah yang tak ingin dibaca oleh anak cucu kita sendiri.
Penulis: Dadang Darmawan, M.Si
Akademisi Fisip USU