MEDANHEADLINES.COM – Apa yang ada dalam fikiran Bamsoet untuk DPR? Tampaknya tak perlu butuh waktu lama, kini telah benar-benar terkuak, dan menampakkan dirinya yang asli. Hanya dalam tempo singkat ia sudah sukses memimpin ratusan anggota DPR untuk mengesahkan undang-undang MD3 yang murni sebagai buah pikir anggota DPR yang nyata-nyata hasilnya berupa buah yang baunya “busuk” menyengat sehingga membuat semua yang “memakannya” menjadi mual dan muntah. Dalam tempo singkat, hasil karyanya bukan mengundang kebahagiaan bagi rakyat, malahan justru menghasilkan caci-maki, cemooh, dan semakin antipati terhadap DPR.
Tak perlu mengernyitkan kening untuk mencium bau busuk kebijakan DPR di dalam pengesahan UU MD3, justru aroma busuk itu sudah dicium pertamasekali oleh anggota DPR sendiri. Fraksi Nasdem dan PPP langsung keluar, karena tak tahan mencium “bau busuk” konspirasi tingkat tinggi di balik layar yang koyak. Keduanya langsung teriak, betapa “anehnya” kawan-kawan mereka sendiri, yang sanggup membuat kebijakan yang oportunis, kompromis, dan pragmatis, yang dengan pisau terhunus siap “mengkriminalisasi” mereka yang kritis.
Entah peradaban apa yang hendak direncanakan dan dibangun DPR melalui UU MD3. Entah keteladanan seperti apa yang hendak dipertontonkan. Disaat rakyat di seluruh Kabupaten/Kota butuh pemimpin yang yang bermental kesatria yang bersih, jujur, berani, bertanggung jawab, teladan justru yang dipertontonkan malah mental kekotoran, kepengecutan, ketakutan, lari dari tanggung jawab, dan sama sekali tak pantas untuk dicontoh.
Dimana lagi letak “kehormatan” kalau kita justru menolak diperiksa ketika bersalah? Bukankah dari sekolah dasar kita diajarkan bersikap bijaksana agar bersikap berani karena benar, dan takut karena salah? Tidakkah kita baca bahwa sejak ribuan tahun para kesatria Shogun menikmati hidup dengan penuh kehormatan, bertanggung jawab jika salah, melakukan harakiri demi kehormatan? Bukankah para pahlawan kita justru mengorbankan, menyerahkan semua harta dan jiwanya demi kemerdekaan bangsa? Mengapa kita kini sibuk menimbun-nimbun harta yang merupakan milik bangsa?
Dimana lagi kita tempatkan rakyat yang kita pimpin, jika kita justru membangun tembok pembatas agar rakyat tak bisa menjamah kantor kita? Kalau kita tahun 2019 nanti membutuhkan suara rakyat, mengapa sekarang kita buat “menara gading” yang tak mampu mereka jangkau? Dimana lagi keteladanan kalau kita justru menikmati tahta singgasana yang didalamnya kita gunakan hanya untuk bebas pesta pora tanpa bisa dikritik oleh siapa saja? Bukankah jargon-jargon puja-puji, ABS, sikap “angkat telor” justru akan menjongkrokkan ita jurang? Mengapa kritik sebagai cermin memperbaiki diri mesti kita pecahkan?
Tidakkah aneh, dunia selama ratusan hari sibuk memaki-maki Trump yang menggunakan anggaran trilyunan untuk membangun dinding pembatas dengan Meksiko, dan membuat kebijakan yang tidak manusiawi bagi dunia. Tapi di rumah kita sendiri, mereka yang dikatakan terhormat justru telah membangun tembok pembatas yang melebihi apa yang dibuat Trump. Anggota DPR dengan tanpa malu, bahkan “telanjang” meloloslan kesepakatan “liar” dan tanpa “adab”, murni dikuasai nafsu duniawi, dan berupaya sekuat tenaga membatasi dirinya dan kantornya dari rakyat yang telah memilihnya.
Trump memang belum berkunjung ke Indonesia, tapi ternyata “wataknya” sudah mampir dan digunakan dengan sempurna di kalangan mereka yang meminta dipanggil-panggil sebagai “yang terhormat”. Watak yang mementingkan dirinya sendiri, mengabaikan rakyat, dan persetan dengan seluruh teriakan yang menghinanya. Watak yang dengan enteng berbahasa “sarkastik” kepada rakyat melalui keputusan-keputusan yang menyayat sembilu nurani rakyat. Dan watak yang dengan enteng melenggang tenang meninggalkan suara “lolongan anjing” sambil berlalu begitu saja. Watak yang dengan dingin dan tanpa salah telah menikam nurani rakyat yang mengiba-iba dan tanpa daya.
Dimanakah nurani kita berada, ketika berada ditengah-tengah gudang narkoba yang sukses meluluh lantakkan masa depan anak-anak bangsa? Adakah selama bertahun-tahun disinggasana rakyat itu, beragam kejahatan di tanah air sudah berkurang? Dimanakah nurani kita, ditengah-tengah pesta korupsi di hampir semua pejabat pusat dan daerah? Adakah kebijakan dan sikap kita yang mampu mencegah korupsi massif di negeri ini?
Rakyat butuh DPR sebagai “ratu adil” sebagai benteng moral “terakhir”, sebagai “ubermensch”, sebagai manusia bijak dengan segudang kuasa politiknya. Tapi mengapa yang terpilih, justru mereka yang tak butuh rakyat, bermental picik, dan memperlakukan rakyat tak obah seperti barang dagangan yang akan mereka beli pada saat pemilu legislatif saja. Tragis nian nasib rakyat, yang perlahan tenggelam dalam derasnya arus kehidupan, sebab sudah tak ada lagi pegangan apapun yang dapat diraih untuk bertahan.
Tampaknya harapan rakyat yang luas akan datangnya “terang” setelah episode “kegelapan” DPR era Setnov tidak terwujud. padahal sudah hukum alam jika “habis gelap maka terbitlah terang”. Namun ternyata “mendung” dan “kegelapan” masih belum berlalu. Habis Setnov Terbit pula Bamsoet. Tragis!!!
Penulis : Dadang Darmawan, M.Si
Dosen FISIP USU