MEDANHEADLINES.COM – Mengapa sejak awal masyarakat Sumut sulit menebak siapa yang bakal dicalonkan oleh Partai Politik? Mengapa kita tak begitu yakin, jika semua paslon pada Pilgubsu 2018 ini, pasti tak akan mampu membasmi korupsi, membasmi narkoba, membasmi kriminalitas, menanam nilai-nilai luhur, menyelesaikan konflik pertanahan, dan memberikan kesejahteraan bagi rakyat Sumut?
Mengapa begitu melelahkannya rakyat Sumut selama berpuluh tahun menunggu-nunggu datangnya pemimpin yang adil dan berjalan diatas jalan kebenaran? Apakah kita sedang menunggu godot? Ataukah kita sedang menunggu-nunggu ratu adil yang sebetulnya tidak akan pernah datang? Mengapa keadilan begitu tersembunyinya dalam kehidupan kita hari ini? Mengapa pemimpin bijak sebagaimana yang dipersyaratkan Plato mesti memimpin suatu negeri, tak pernah sekalipun kita impikan bahkan bahkan tak ada sama sekali dalam mimpi kita?
Bisakah kita katakan Pilgubsu 2018 ini, atau apapun yang ada di depan kita saat ini sebagai suatu Enigma? Sebagai suatu teka-teki kehidupan yang sulit dibayangkan jawabannya? Atau bahkan suatu enigma (teka-teki) yang memang sudah sama sekali tak ada jawabannya? Apakah kelelahan menunggu jawab itu pula yang membuat masyarakat kita akhirnya berada dalam suatu “kelelahan yang mematikan” sebagaimana yang disebut Nietzsche? Apakah karena lelah, jenuh itu lantas masyarakat bersikap masa bodoh, tak ambil pusing, dan bahkan mengabaikan sistem demokrasi yang sedang dihelat saat ini?
Bukankah penduduk seantero kota sedang asyik-masyuk berserakan, bertebaran disegala sudut membicarakan Pilgubsu 2018 atau Pilpres 2019? Apakah sesungguhnya tema-tema yang sedang kita bicarakan itu? Adakah tema-tema itu menyangkut masa depan, atau masa buruk yang akan terjadi pada masyarakat Sumut ke depan? Apakah kita sedang membahas uang ratusan milyar yang akan dicurahkan oleh tiga paslon? Kemanakah uang itu saat ini? Siapakah yang mengelola uang itu? Adakah kita dapat jatah dari uang para paslon dalam Pilgubsu 2018 ini?
Kita bahkan bertanya-tanya, masih adakah orang yang benar-benar terbebas dari politik Pilgubsu 2018 ini? Dimanakah posisi para alim ulama, para akademisi perguruan tinggi, para pengusaha/pebisnis, para pejabat yang mestinya netral dalam Pilgubsu 2018 ini? Atau, apakah sudah tidak ada lagi posisi “netral” dalam kontestasi politik dewasa ini? Lagi-lagi, kita bertanya apakah posisi netral itu benar-benar suatu posisi yang “mematikan”, yang begitu dihindarinya untuk kita pilih dalam perhelatan politik akbar kali ini? Mengapa sumpah serapah dan kebodohan selalu dialamatkan kepada mereka yang benar-benar menginginkan berada diluar “kejahatan”?
Nietzsche mengatakan, hey…kamu semua, ingatlah, dunia kita dimana kita hidup saat ini adalah laksana “wanita”. Dunia yang tampil dengan warna-warna cerah, lekukan tubuh yang indah, tonjolan-tonjolan yang membangkitkan gairah, ditutupi selubung emas, sopan, ironi, membangkitkan welas-asih yang senantiasa menggoda. Dan semua bersumpah, hanya manusia bodoh dan jahanam yang tak tergoda oleh nikmat dunia. hanya orang bodoh yang tak “menikmati” hidangan di depan mata.
Namun, Nietzshe mengingatkan, semua itu adalah permukaan yang tanpa kedalaman, suatu fakta yang telah ditinggalkan makna, botol madu yang berisi racun, yang tidak saja akan memabukkan manusia melainkan juga akan mematikannya. Karena itu, tidak ada pilihan terbaik selain untuk tidak memilihnya. Pilihan kita bahkan sangat sempit saat ini, yaitu menjaga jarak yang pantas dari itu semua. Lebih dalam Nietzsche mengingatkan untuk melampaui itu semua. Sebab hanya dengan melampaui itu semua-lah enigma ini benar-benar akan terjawab.
Kita mungkin diinginkan Nietzsche laksana ikan dilaut, yang berenang dilautan asin namun tidak larut dalam keasinan itu. Laksana air di daun talas. Laksana menarik benang dalam tepung. Atau Laksana sibaik dikampung penjahat. Adakah politisi yang bersih-mulia ditengah politik uang, politik machiavellian, transaksionis, demi-kuasa, tipu-tipu, pencitraan, jual-beli suara, saling fitnah? Adakah mereka yang berkuasa terpilih tanpa mengajukan diri? Sampai kapan enigma ini?
Penulis : Dadang Darmawan, M.Si
Dosen FISIP USU