"NYALA" LA NYALLA

MEDANHEADLINES.COM – Pernyataan La Nyalla Mahmud Mattalitti kepada publik bahwa Prabowo telah meminta uang sebanyak 40 Milyar kepadanya yang dilakukan tanpa “patut”, jelas menjadi “nyanyian” sumbang bagi Prabowo. Namun bagi media, “nyanyian” La Nyalla justru menjadi “good news” untuk dijadikan trending topics.Bagi media pernyataan “mengejutkan” La Nyalla justru penting untuk diputar berulang-ulang dalam sepekan ini, dengan tujuan untuk mendapatkan pembahasan dan perhatian yang luas dari masyarakat.
Namun bagi kader Gerindra saat ini, La Nyalla jelas adalah “musuh dalam selimut”. Sebabnya, sebagai kader Gerindra, La Nyalla begitu teganya “mencoreng-moreng” Prabowo yang merupakan ketua umumnya sendiri, dan menurunkan derajat kontestasi Gerindra yang sedang bertarung. Bagi masyarakat, justru La Nyalla seperti lampu, yang kembali hidup dan mampu menerangkan tentang apa sesungguhnya yang terjadi di dalam “kamar pribadi” partai politik. Bagi sebagian orang pernyataan La Nyalla justru penting, untuk membuka tabir yang kadang sulit disingkap ke tengah masyarakat.
Pelajaran Nyata 1
Pelajaran nyata dari pernyataan La Nyalla adalah, bahwa politik uang itu yang umumnya dikemas dalam bentuk “biaya politik” (cost) adalah nyata adanya. Bahkan kader Gerindra  sendiri sudah menyatakan bahwa untuk membiayai honor saksi, pelatihan dan kebutuhan saksi pada Pilkada Jatim dibutuhkan dana sebesar 40 milyar.
“Kalaupun itu benar, sangat wajar karena kemenangan calon ketua daerah dalam Pilgub itu kuncinya adalah kekuatan para saksi di Tempat Pemungutan Suara (TPS),” ujar Arief Pyuono (politikus partai Gerindra) dalam siaran pers, Kamis 11 Januari 2018. Hitungannya sederhana, jumlah TPS 68.511 dikali 3 orang saksi setiap TPS dan dikali 200.000 sebagai honor masing-masing saksi, hasilnya 40 milyar.
Jadi tentang politik pilkada yang membutuhkan uang hingga ratusan milyar, bahkan La Nyalla sudah menyiapkan dana sebesar 300 milyar untuk Pilkada Jatim, adalah nyata. Yang belum nyata tinggal masalah politik uang, yaitu apakah partai juga melakukan “jual beli suara” kepada pemilih?
Bagi “pemain” politik, ada semacam kesepakatan dalam hukum pertarungan politik dimana biaya politik dianggap wajar (biaya politik, yes!), sementara membeli suara dianggap haram (politik uang, no!). Namun demikian, pandangan pemerhati Pemilu seperti Perludem mengatakan biaya politik yang mahal yang dikemas dalam bentuk mahar politik tetap akan berdampak buruk bagi calon ketika calon terpilih. Bagi calon terpilih, orientasi menjadi kepala daerah sepanjang hidupnya tidak lain adalah untuk mengembalikan uangnya yang sudah terpakai. Caranya tentu saja dengan berbagai praktek jual beli proyek, manipulasi, dan lain sebagainya, yang jelas-jelas pasti merugikan rakyatnya.
Mengapa biaya saksi mesti begitu mahalnya? Nah, disinilah letak masalah yang tidak pernah sanggup diselesaikan dalam Pemilu di Indonesia. Pertarungan politik sudah umum selalu diwarnai dengan pertarungan yang tidak adil. Sehingga masing-masing kontestan berupaya untuk menang dengan carapapun, termasuk meski dengan menggelembung suara, mengurangi suara, atau memanipulasinya. Sudah sulit untuk dihitung, ada berapa banyak anggota Dewan yang lolos dengan melakukan manipulasi suara.
Cara paling efektif untuk menukangi suara, adalah dengan “membayar” para saksi-saksi, baik saksi yang ada di TPS, saksi di Kelurahan ataupun saksi di Kecamatan. Sehinga bisa dipastikan partai tanpa saksi sama saja dengan partai tak ikut pemilu. Sebab sama saja dengan menyerahkan suaranya kepada partai lain. Saat ini, tidak ada rumus yang paling efektif untuk mengamankan suara kecuali dengan meletakkan saksi-saksi masing-masing partai. Sebab masing-masing partai sudah tidak pernah percaya lagi pada saksi partai yang lain. Bahkan tidak jarang saksi partai pun juga dicurigai oleh partainya sendiri. Sebab bisa saja saksi partai A justru menjual suara ke partai B.
Mengapa saksi yang merupakan kunci suara, bisa berlaku curang, meski sudah dilakukan pendidikan saksi bahkan sudah disumpah? Sebabnya, saksi-saksi yang ada tidak memiliki mentalitas yang mumpuni, alias masih bisa digoyang dengan tawaran-tawaran rupiah. Pendidikan saksi yang berlangsung satu sampai tiga hari, jelas tak akan mampu merubah mentalitas para saksi sebagaimana yang diharapkan. Logikanya, merubah mentalitas bangsa Indonesia selama 72 tahun saja sulit, konon lagi mau merubah mentalitas saksi dalam waktu tiga hari?
Bahkan menurut ICW, apabila setiap saksi kandidat didanai APBN, anggaran yang dibutuhkan akan mencapai Rp 14,2 triliun, dengan perhitungan 544.494 TPS, dikalikan dengan anggaran saksi per orang Rp 300 ribu. Celakanya, andaikanpun dana saksi sudah ditanggung APBN untuk Pemilu 2019 yang akan dating, tetap tidak akan bisa menjamin Pemilu berlangsung Jurdil dan bebas dari manipulasi.
Pelajaran Nyata 2
Bagi La Nyalla sendiri, tentang uang yang diminta Prabowo justru tidak menjadi masalah baginya. Justru yang menjadi masalah baginya adalah cara Prabowo yang begitu “menekan” dan tidak bijaksana. Sebagai kader Gerindra dan di dukung alim ulama di Jatim menurut La Nyalla sikap Prabowo sangat tidak patut dan mengejutkannya. Sebab menurut La Nyalla, sebagai kader ia merasa aneh, sebabnya ada banyak calon kepala daerah yang di usung Gerindra justru bukan kader Gerindra. Mestinya, dia sebagai kader tidak diperlakukan seperti “orang luar” begitu.
Bagi masyarakat pernyataan berupa kesaksian La Nyalla terhadap sikap Prabowo yang “kurang pada tempatnya” itu, tentu menjadi lampu lain yang kembali menerangi dan menyingkap tabir yang sesungguhnya terjadi. Betapa, gambaran sosok pemimpin yang bijaksana dan bermental negarawan memang masih jauh dari harapan. Pernyataan dan gambaran La Nyalla bisa saja menghentak banyak pihak atau bisa juga sudah dimaklumi oleh banyak pihak pula. Sebab sudah umum jika masyarakat juga paham bahwa Prabowo memang seorang yang “keras” sifatnya. Namun, setidaknya apa yang dilakukan Prabowo, justru menghentakkan kening La Nyalla, yang begitu tidak siap menerima apa yang terjadi di hadapannya. Sosok yang dia sangat hormati, ternyata berbeda dengan yang dia saksikan dari dekat.
Terkait dengan pentingnya kebijaksanaan seorang pemimpin sebagaimana yang dituntut La Nyalla, jelas sudah menjadi wacana sejak 2500 tahun yang silam. Adalah Plato yang sudah mewacanakannya sejak awal kepada manusia, bahwa untuk memimpin suatu pemerintahan dibutuhkan orang yang bijaksana, yaitu seseorang yang selalu kembali dan mengembalikan semua urusannya kepada sipembuat kebaikan yang absolut (Tuhan). Bagi Plato seorang Raja mestilah berasal dari para Pilosof sehingga ia memerintah dengan penuh kebijaksanaan. Atau, jika seorang Raja terpilih hendaklah ia juga mewarisi pandangan para Pilosof sehingga ia juga akan menjadi baijaksana.
Mungkin La Nyalla terlalu “melankolis”, sehingga sulit menerima dunia politik nasional yang penuh dengan beragam tipikal dan membawa “kesedihan” yang mendalam. Mungkin dia berharap semuanya berjalan linier, aman damai, sesuai dengan apa yang ada dalam pikirannya, padahal dia sendiri berjalan ditengah hiruk-pikuk, yang tak mungkin apa yang dia pikirkan terjadi. Weleh….
 
Penulis: Dadang Darmawan, M.Si
Dosen FISIP USU
 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.