MEDANHEADLINES.COM – Sebagai suatu istilah, menara gading bermaknakan gambaran tentang menterengnya suatu menara yang sangat indah pun mewah dipandangan mata. Hanya saja, keindahan dan kemewahan menara itu hanyalah milik dan lamunan sipenghuninya saja. Sementara disekeliling menara itu, terhampar berbagai masalah rakyat yang tak pernah tersentuh oleh para penghuni menara.
Ditengah lamunan dan impian para penghuni menara, sampai-sampai mereka lupa dan tak sanggup lagi bertindak untuk berbuat apapun untuk membantu masyarakat jelata di luar menara. Anehnya, meski teriakan rakyat yang tertindas sudah disampaikan dan deras terdengar, para penghuni menara justru tak mampu mendengarnya.
Universitas Sebagai Menara Gading
Sementereng (seindah dan semewah) apakah Universitas dalam kehidupan umat manusia di era modern saat ini? Hampir bisa dipastikan sejak Plato di Yunani membentuk Akademia 387 SM, kemudian Kekaisaran Bizantium (Kaisar Michael III) mendirikan Universitas Magnaura 849, disusul Universitas Preslav dan Ohrid di Bulgaria dan Macedonia abad ke-9, Universitas Bologna di Italia 1088, hingga abad pertengahan didirikan Universitas Paris, Oxford di Inggris abad 11 dan 12, maka Universitas adalah lembaga utama sebagai penopang dan penuntun kehidupan masyarakat modern hingga era-informatif saat ini.
Plato menegaskan bahwa mentransfer pengetahuan dan etika bagi para calon pemimpin di Yunani kala itu adalah hal mutlak yang mesti dilakukan untuk mencetak pemimpin yang bijaksana dan itu hanya bisa dilakukan melalui Akademia. Mengapa pendidikan dan pelatihan melalui academia menjadi penting? Menurut Aristoteles (metaphysics), alasan secara philosofis karena adanya kerinduan pada setiap orang untuk mengetahui sebagai sesuatu yang mendasar yang hidup dalam setiap kehidupan manusia (http://salehuddinalan.blogspot.co.id). Dengan rumusan berfikir yang demikian, maka terbitlah fajar rasionalisme dari Eropa yang bersinar mulai abad 15 sejak dimulainya era-renaisans yang kemudian sinarnya menerangi dunia hingga saat ini.
Dengan akal dan ilmu pengetahauan manusia meyakini bahwa manusia akan mampu mengatur manusia dan alam untuk mencapai kemaslahatan hidupnya. Dengan rasiolah manusia akan menemukan wujud kebahagiaan yang sebenarnya. Dengan doktrin itu, maka tumbuh suburlah Universitas di dunia sejak abad ke-15 hingga saat ini.
Universitas sebagai suatu standar kehidupan yang utama dalam kehidupan umat manusia, dimana negara-negara Eropa dan Amerika sudah sejak awal meniupkannya, tidak heran jika akhirnya Eropa dan Amerika menjadi Kiblat bagi Universitas di seluruh dunia. Semua Universitas di penjuru dunia berlomba-lomba berguru dan belajar serta menerapkan standar-standar yang sama dengan Universitas-Universitas di Eropa dan Amerika. Sangking mengidolakannya, bahkan residu yang keluar dari Eropa dan Amerika pun masih menjadi “makanan” yang baik bagi Negara-negara berkembang.
Namun, apa lacur? Adalah seorang Andrew Rossi yang berprofesi sebagai sutradara mengangkat cerita tentang fakta sebenarnya dari kelakuan buruk Universitas di Amerika yang menjadi rujukan Universitas di seluruh dunia, melalui film “Ivory Tower” (menara gading). Film yang menceritakan bagaimana kehidupan para mahasiswa yang sedang kuliah di berbagai Universitas Terkemuka di Amerika. Begitu juga cerita bagaimana kelakuan para Pemilik Universitas dalam mengelola Universitasnya.
Film ini menceritakan bagaimana kehidupan Universitas setelah tidak lagi di Subsidi oleh Pemerintah AS. Delapan Universitas-Universitas utama yang tergabung dalam Ivy League seperti Columbia University, Cornell, Yale, Princeton, Pennsylvania, Harvard, Dartmouth dan Brown University saling bersaing dengan Universitas lainnya menjadi Universitas No.1 di Dunia.
Sebagaimana yang sudah ditulis banyak kalangan, Universitas tersebut menawarkan berbagai fasilitas mewah kepada calon mahasiswa agar mau menjadi mahasiswa di Universitas mereka. Mereka menawarkan Kolam Renang, Asrama Mewah, Perpustakaan, Ruang Olah Raga kelas satu, dan segudang infrastruktur mewah lainnya. Tujuannya, untuk merayu calon mahasiswa menjadi mahasiswa mereka dan membayar uang kuliah penuh.
Anehnya Universitas tidak lagi berkutat pada peningkatan kualitas SDM, dan prinsip-prinsip akademik. Sehingga dikabarkan ada banyak mahasiswa tidak lulus dalam waktu empat tahun. Yang lebih parah, mahasiswa juga mesti menanggung beban pinjaman siswa yang nilainya hingga ratusan ribu dollar AS.
Sebagaimana ditulis oleh Rasyidharry (Desember 05/2014), pada awalnya mereka berpikir akan bisa melunasi hutang itu setelah bekerja, tapi pada kenyataannya banyak lulusan universitas besar yang hanya mendapat pekerjaan kecil seperti waitress, tukang bersih toilet, bahkan banyak juga yang berakhir sebagai pengangguran. Disatu sisi kampus-kampus seperti tidak peduli pada anggapan bahwa pendidikan kampus (higher education) merupakan hak setiap orang. Bahkan kampus yang telah ratusan tahun mengratiskan biayanya seperti Cooper University sudah mulai menarik uang kuliah. Berbagai jalan keluar seperti perkuliahan online mulai dicoba, tapi masih juga belum membuahkan hasil memuaskan.
Pendeknya, melalui film ini Andrew Rossi telah mengungkap secara lebih nyata apa sesungguhnya yang terjadi pada Universitas Terkemuka di AS, yang selama ini menjadi rujukan Universitas di Indonesia maupun di dunia. Pada kenyataannya, kita tak tahu, apa yang sesungguhnya benar-benar ditiru oleh para Universitas di Indonesia.
Namun, apa yang terjadi pada Universitas Ternama di Amerika Serikat tidak berhenti sampai disitu saja. Radhar Panca Dhana dalam tulisan di Kompas berjudul “momen kritikal kaum milenial” (18 November 2017), menyebut bahwa ada 104 Universitas Ternama di Amerika yang menanamkan uangnya yang berasal dari para mahasiswa mereka ke lembaga-lembaga keuangan off-shore, yang merupakan tempat persembunyian para pengemplang pajak (tax haven) dimana mereka senang sekali tidak membayar pajak secara “legal”. Bahkan adakalnya, mereka telah menjadi pemain utama dalam kriminalitas keuangan saat ini.
Sesuatu yang mencengangkan sekaligus mengundang Tanya bagi kita semua. Apakah Pimpinan Universitas di Indonesia tahu akan hal ini?
Meskipun sebagai suatu informasi, data itu sungguh membuat kita galau dalam mengikuti percaturan Universitas Kelas Dunia yang kita elu-elukan dan kita jadikan panutan serta yang menuntun roadmapUniversitas kita selama ini. Namun, mestinya bagi mereka yang benar-benar melek akan kehidupan saat ini dan turut membaca apa yang sudah dibaca para kaum kritis, maupun pots-modernisme sebelumnya, informasi itu lebih tepat di tempatkan sebagai informasi penguat akan kegagalan rasionalisme, modernism yang sedang di helat saat ini.
Lihat saja penuturan Nurhamzah, mengutip pendapat Budi Munawar Rahman, tentang anomaly modernitas yang hanya menghasilkan keterpinggiran manusia dari lingkar eksistensi (Komarudin Hidayat & Wahyu Nafis,1995). Baca jugalah pemikiran Horkheimer dan Adorno tentang dilema manusia modern saat ini.
Menurut mereka, manusia modern melihat segala sesuatu hanya berdasar pada sudut pandang pinggiran eksistensi. Sementara pandangan tentang spiritual atau pusat spritualitas dirinya, terpinggirkan. Meskipun secara material manusia mengalami kemajuan yang spektakuler secara kuantitatif, namun secara kualitatatif dan keseluruhan tujuan hidupnya, manusia mengalami krisis yang sangat menyedihkan.
Apa yang diukir oleh Universitas yang diposisikan hari ini sebagai Tower, sebagai Mercusuar dunia bagi manusia modern, yang akan membawa kebahagiaan bagi umat manusia sesungguhnya hanyalah hayalan dan bualan belaka. Sebab Univeristas sendiri yang menurut Marx jelas-jelas tidak bebas nilai, melainkan merupakan tangan yang tidak kelihatan dari Kapitalisme Global dalam upaya mencengkeram dan menaklukkan dunia demi Kejayaan Kaum Kapitalis itu sendiri. Itu sebabnya para ilmuwan Kritis melihat Pendidikan tak obahnya sebagai bentuk hegemoni penguasa Global terhadap manusia sedunia.
Alangkah naifnya, jika ada insan-insan Universitas yang masih absurd dalam melihat apa sesungguhnya yang benar-benar terjadi di tengah umat manusia pada era milenial saat ini. Yang menurut Radhar dunia saat ini hanyalah suatu gambaran pertarungan bebas yang lebih kejam dari free-fighting yang telah memakan korban milyaran manusia. Dimana para petarung itu telah dipersiapkan oleh Universitas sebelumnya.
Penutup
Radhar Panca Dhana mengatakan, berhentilah bercanda dengan senyum-senyum yang penuh dusta. Sudah saatnya Universitas bangun dari kelenaan dan keenakan akan fasilitas yang diterima selama ini. Saatnya Universitas keluar dari tekanan kebenaran yang hanya berbasis pada Logika Deduksi dan Induksi, sebagaimana yang dikata para punggawa post-modernisme. Saatnya Universitas melihat basis-basis kebenaran lain yang berasal dari permenungan yang mendalam yang lebih falsafati maupun, melihat kebenaran-kebenaran alamiah, dan tidak ketinggalan melihat kebenaran ilahiah sebagaimana yang diajurkan kaum perenialis.
Penulis : Dadang Darmawan, M.Si
Dosen FISIP USU