Semua Boleh, Asal Jangan Mandiri

Dilarang Berdikari

MEDANHEADLINES.COM– Hantu kecil yang mampu membuat takut rezim agung kapitalisme global yang telah  sekian lama mencengkeram kehidupan umat manusia di zaman ini, ternyata bernama “kemandirian”. Dan perang yang terjadi dan berlangsung di belahan bumi pada saat ini sesungguhnya bisa dibaca sebagai perang terhadap kemandirian suatu bangsa atau kelompok masyarakat.

Suatu bangsa atau kelompok masyarakat dipersilahkan dan boleh berbuat serta melakukan apa saja, namun jangan sekali-kali berbuat dan berjuang untuk bisa mandiri. Apabila hal itu dilakukan, maka bersiaplah untuk dihancurkan dan dihabisi.

Di awal perkembangannya, kapitalisme membangun dinasti kekuasaannya dengan melakukan kolonisasi terhadap negara-negara lain sebagai jajahan. Perlawanan dan perjuangan negara-negara jajahan berujung pada lahirnya negara bangsa. Perlawanan terhadap kapitalisme selanjutnya dipimpin oleh negara-negara yang tergabung dalam gerakan sosialime-komunisme secara internasional. Pasca runtuhnya sosialisme dan komunisme, seakan kapitalisme menjadi penguasa tunggal.

Dan kemudian, kapitalisme  berkembang sedemikian rupa, mereformasi dirinya sendiri dengan menyerap nilai-nilai baru. Pada akhirnya kita bisa menyaksikan wajah kapitalime baru, yang juga mulai mengadopsi dan mengembangkan nilai-nilai seperti: humanisme, keadilan sosial, HAM, dan lainnya dengan cara-cara yang baru juga. Issu-issu besar kemanusiaan dikemas dengan cara-cara tertentu, yang sekaligus berfungsi sebagai topeng untuk menutupi wajah aslinya yang buas dan kejam menindas tanpa belas kasihan. Maka, era kapitalisme lanjut, dengan tampilan dan wajahnya yang baru telah dimulai.

Jika sebelumnya kekuatan kapitalisme klasik bertumpu pada perusahaan-perusahaan multi nasional dan trans nasional, namun dalam perkembangannya kapitalisme lanjut bergerak ke arah dan bentuk yang tidak terbayangkan sebelumnya. Penetrasi terhadap negera-negara lain dilakukan melalui kekuatan politik, ekonomi, dan budaya melalui kebijakan pembangunan nasional pada suatu negara. Secara internasional, mereka mengokohkan dinastinya melalui lembaga-lembaga dunia, seperti: World Bank, IMF, G 20, PBB, AFTA dan pakta-pakta ekonomi politik lainnya.

Dalam dunia politik, sistem demokrasi diekspor dan dijadikan sebagai sistem politik baku, dan dijadikan sebagai alat untuk memerangi negeri-negeri lain. Pada sisi yang lain, ternyata nilai-nilai kapitalisme juga mulai menyusup ke jantung negeri komunis. Kejadian ini bisa disaksikan pada kasus Republik Rakyat Cina (RRC), sebagai negara besar komunis yang telah berubah menjadi kapitalisme dengan basis negara. Ternyata komunisme tidak mampu membendung hukum arus modal. Sifat dasar modal itu pada awalnya adalah menghisap dan mengumpul pada suatu titik. Setelah modal itu terkumpul menumpuk dan menguat, maka tahap selanjutnya adalah menyebar dan ekspansi untuk mendapatkan untung dan laba yang sebanyak-banyaknya. Situasi semacam inilah yang bisa menggambarkan keadaan negara RRC yang pada saat ini yang sedang sibuk melakukan ekspansi ke berbagai negara. Keadaannya ternyata jauh lebih parah, mereka bukan saja mengekspor produk dan modal, namun sekaligus juga mengekspor tenaga kerja.

Ilusi Demokrasi dan Penghianatan Terhadap Bangsa

Demokrasi telah memberikan karpet merah pada laju arus modal secara global ke berbagai pelosok penjuru bumi. Hampir-hampir tidak ada sejengkal wilayah yang luput dari belenggu dan cengkeraman kapitalis. Seluruh kebutuhan dan perlengkapan manusia hidup adalah basis utama bagi kapitalisme, untuk kemudian dikemas dan dikembangkan menjadi pasar bagi produk-produk mereka, tentunya agar supaya laba menjadi berlipat ganda. Segala pernak-pernik seseorang semenjak ia bangun tidur hingga tidur kembali, kesemuannya itu dilihatnya tanda, yang kemudian akan dikonversi menjadi pasar, dan itu adalah keuntungan. Intinya, kapitalisme bukan hanya menjadi panduan dalam mengelola pemerintahan, ekonomi, dan kehidupan sosial kemasyarakatan,  akan tetapi kapitalisme juga telah menjadi gaya hidup. Pada sisi yang lain, kapitalisme juga telah menerobos masuk ke sektor agama, keyakinan, berbagai persoalan privat dan sendi-sendi kehidupan lainnya.

Serangan yang dilakukan oleh kaum kapitalis terhadap pasar dengan bertubi-tubi secara masif dan terstruktur di berbagai lini, pada akhirnya berdampak pada munculnya “kesadaran semu” pada diri seseorang. Sebuah kesadaran baru yang menjadikan seseorang menjadi kesulitan, hanya sekedar untuk membedakan apa yang dibutuhkan dengan apa yang diinginkan. Keadaan yang demikian inilah pada akhirnya bisa menuntun kita untuk bisa memahami atas perilaku dan sikap seseorang yang mampu berbuat apa saja hanya untuk mengejar gengsi dan bergaya hidup dengan cara-cara diluar nalar. Penetrasi pasar yang sedemikian rupa, ternyata juga telah menggeser tata cara hidup seseorang  yang sebelumnya masih berpegang pada nilai-nilai kesederhanaan dan kebajikan menjadi cara-cara hidup dengan gaya baru, yaitu: menjadikan “konsumsi” sebagai spirit hidupnya.

Dalam sistem demokrasi, setiap orang memiliki hak yang sama, dan memberikan ruang yang lebar dan luas secara politik kepada semua orang untuk ikut serta dalam kontestasi memperebutkan kekuasaan pemerintahan. “Suara rakyat adalah suara tuhan”, demikianlah slogan yang seringkali dikumandangkan untuk menggambarkan betapa hebat dan mulianya sistem demokrasi itu. Tetapi apakah benar demikian adanya? Agar tidak membingungkan dan menjadi sesat pikir, lebih baik kita terjun dan lihat kenyataan langsung di lapangan.

Umumnya, orang-orang baik di tengah masyarakat itu bukanlah orang kaya, namun mereka cukup secara ekonomi, akan tetapi tidak berlebihan. Dalam sistem demokrasi yang berlaku pada saat ini, orang-orang baik tidak memiliki syarat yang cukup untuk bisa ikut dalam kontestasi. Selain modal secara ekonomi tidak memadahi untuk memenuhi kebutuhan logistik dalam proses perang memenangkan suara konstituen, mereka juga orang-orang yang tidak bisa dan terbiasa berbuat curang dan salah. Pada akhirnya, hanya mereka yang memiliki harta bertimbun dan kekuatan untuk melakukan intimisasi saja yang bisa ikut serta dalam bursa. Melalui kekuatan uang itulah mereka mampu membeli suara rakyat dengan sistem politik uang. Dengan kekuatan itu jugalah mereka mampu membuat pasukan untuk melakukan intimidasi, baik kepada rakyat pemilih maupun kepada penyelenggara pemilu.

Pada titik ini, kita mendapatkan gambaran bahwasanya suara rakyat itu adalah suara yang terbeli. Di sebagian besar masyarakat, telah cukup lama berkembang sebuah pandangan bahwasanya hak pilih dan suara mereka itu sudah saatnya untuk bisa dikonversi secara komersial. Siapa yang memberi uang paling banyak itulah pilihannya. Sedangkan bagi sang kandidat yang memperebutkan suara mereka, beranggapan bahwa: inilah perjuangan dan pengorbanan yang harus dilakukan untuk bisa jaya menjadi penguasa. Dengan demikian bertemulah antara hasrat haus berkuasa dari kandidat, dengan sikap hipokrit-oportunis dari rakyat kebanyakan. Begitulah rupanya kenyataan dilapangan atas suara rakyat yang sesungguhnya, yang selama ini diasosiasikan sebagai suara tuhan. Jika itu disebut sebagai suara tuhan, maka suara tuhan itu ternyata tak lebih dari beberapa lembar uang saja. Dan tentunya, kandidat yang memiliki harta bertumpuk akan mampu membeli suara tuhan itu. Tidak begitu mengherankan apabila dibeberapa daerah, pada saat justru preman kaya yang menang dalam pemilu dan menjadi pimpinan daerah.

Aspek lain yang perlu juga dilihat dalam sistem demokrasi ini adalah terbukanya ruang yang terbuka bagi pihak-pihak untuk melakukan “politik dinasti”. Di beberapa daerah hal ini sudah terjadi. Dikarenakan masa jabatan itu dibatasi, mereka mengusung dan menjadikan keluarga dan kerabatnya sebagai penggantinya, seperti: anaknya, istrinya, adiknya, atau saudara yang bertalian darah lainnya. Lantas pertanyaannya adalah apa yang bisa diharap dari mereka itu untuk bisa memperbaiki bangsa ini? Mungkin pertanyaannya bisa juga dibalik, ngapain juga berharap kepada mereka itu, sebab mereka itulah sesungguhnya para pengkhianat bagi bangsa ini. Kita memang tidak tahu bagaimana seharusnya menjawab situasi yang demikian, akan tetapi banyak hal yang bisa kita katakan untuk dikabarkan.

Sebuah Negeri Bernama Nusantara

Menurut riwayat, wilayah yang sebagian besar saat ini bernama Indonesia, yang sejak dahulu kala telah dikenal dengan nama “nusantara” adalah sebuah kawasan yang terdiri dari ribuan pulau dengan lautnya yang begitu indah dan pesona. Kekayaan alamnya melimpah. Bentangan tanah di daratannya sangat subur. Tongkat dan kayu saja dilempar akan menjadi tanaman, begitulah gambaran betapa suburnya. Di dalam tanah banyak kandungan mineral, logam berharga, gas, dan minyak bumi. Sejak dahulu kawasan ini telah dikenal penghasil rempah utama. Hutan tropisnya menjadi habitat aneka satwa dan fauna yang indah dan elok. Lautnya mempesona dan memuaku dengan ikannya yang melimpah. Seakan keindahan surgawi telah bocor dan tumpah ke bumi, dan jatuh di kawasan yang bernama nusantara ini.

Alangkah miris dan tragisnya jika negeri yang elok, subur makmur, dan kaya dengan sumber daya alamnya yang melimpah ruah ini ternyata penghuninya justru hidup dalam keadaan kemiskinan dan tertinggal. Harga diri sebagai anak bangsa tercabik, terduduk, dan hanya menjadi kuli di negeri sendiri. Entah apanya yang salah dan siapa yang salah, menyaksikan begitu buruknya nasib negeri yang kaya raya ini.

Kedepan, apakah kiranya ada harapan negeri ini bisa bangkit dan maju. Para pendiri Republik Indonesia, pewaris syah negeri nusantara yang agung ini telah menyadari betul kondisi buruk yang dialami bangsanya. Satu hal yang harus dicatat menggunakan tinta merah, dengan huruf yang besar, dan tebal, lagi miring adalah “sesungguhnya negeri ini tidak membutuhkan bangsa lain”. Bangsa besar ini memiliki begitu banyak hal yang tidak dimiliki bangsa lain. Dan sebenarnyalah bangsa-bangsa lain itu lebih banyak membutuhkan kita, daripada kita membutuhkan mereka. Dengan suplai kekayaan alam yang melimpah ruah, apabila dikelola dengan baik, bukan saja akan memakmurkan seluruh penghuninya, akan tetapi juga mampu menyuplai kebutuhan bangsa-bangsa lain. Seharusnyalah negeri-negeri lain itu yang bergantung dengan bangsa ini, karena memang demikianlah kenyataan yang sesungguhnya.

Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno, telah mengumandangkan sebuah narasi besar, agar negeri besar ini bisa bangun dari tidur untuk kemudian bangkit dan berjuang menjadi bangsa yang mandiri dan bermartabat. Mandiri secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan berkarakter secara budaya adalah sebuah ungkapan yang mampu membius dan menjadi mesin penggerak perjuangan dalam melakukan berbagai bentuk perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme pada zamannya. Tidak dapat dipungkiri, narasi ini juga telah menginspirasi gerakan-gerakan perlawanan selanjutnya. Namun soekarno sendiri sesungguhnya juga tidak bisa melakukan hal itu. Dia hanya mampu membangkitkan semangat perlawanan, namun pada saat berkuasa memimpin negeri, tetap saja tidak mampu menerjemahkannya pada tataran praktis dalam kehidupan keseharian. Hidup dengan mewah dan bermegahan, bergaya khas kelas borjuasi masih menjadi ciri gaya hidupnya. Dan narasi besar yang disuguhkan itu ternyata hanya bisa menjadi konsumsi pergerakan saja, dan tidak nyambung dengan kehidupan keseharian serta kebijakan-kebijakan pembangunan sewaktu menjadi pimpinan negara.

Apabila kita bedah dan kita kaji secara lebih mendalam, kita akan menjumpai sebuah kenyataan bahwasanya narasi besar kemandirian itu ternyata tak ubahnya seperti “pepesan kosong” yang tidak memberikan bekas sama sekali dalam kehidupan nyata. Harus diakui memang, bahwa narasi besar kemandirian itu mampu memberikan kepuasan secara akademik-intelektual serta memberikan semangat serta dorongan yang kuat untuk melakukan perlawanan secara politik. Namun yang dibutuhkan bangsa saat ini bukanlah hal semacam itu. Perlawanan terhadap hegemoni itu haruslah muncul dalam sikap-sikap yang lebih praktis dalam kehidupan keseharian. Cita rasa sebagai sebagai yang bangsa besar, mandiri, dan bermartabat haruslah menjadi gaya hidup penduduk negeri ini. Sikap ini akan mampu menjadi obat yang mujarab dari segala bentuk penyakit kejiawaan kronis yang diderita masyarakat, seperti: minder, mudah takjub bila ada yang baru, suka merendahkan dan meremehkan sesamanya, malas dan tidak mau bekerja keras, tidak mau berkorban, mudah curiga dan saling tidak percaya, tidak peduli dengan penderitaan sesamanya, dan mau menangnya sendiri.

Bangsa dan negeri besar ini akan bangkit dan jaya, apabila para pemimpin dan rakyatnya mampu bersatu padu berjuang memperbaiki diri dan bersikap sebagai bangsa yang mandiri dan bermartabat.  Kerangka pembangunan secara nasional harus mulai digeser dan diarahkan untuk kepentingan dan memakmurkan rakyat kebanyakan, sebagaima diamanatkan oleh konstitusi, dan bukan lagi mengabdi kepada pemilik modal. Sesungguhnya perubahan suatu bangsa itu akan terjadi apabila bangsa itu sendiri bisa menemukan kesejatian dirinya, kemudian bergerak dan melakukan sesuatu hal sebagai cerminan dan wujud nyata dari diri bangsa yang sejati.

Penulis : Iswanto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.