Bergulirnya Sentimen Populisme Dunia

MEDANHEADLINES – Telah menjadi perbincangan hangat oleh berbagai analis, terkait Gerakan Populisme Dunia sebagaimana yang dilakukan oleh Trump, Marine Le Pen, Kebijakan Brexit oleh Inggris, dan berbagai gerakan sayap kanan lainnya di Eropa yang bergaya ultra nasionalis yang telah memberi warna dalam panggung politik global.

Satu yang khas, Gerakan Populisme Internasionalis tersebut, muncul dengan berbagai variannya yang membedakan antara satu yang dengan yang lain. Bahkan tidak hanya dilakukan oleh sayap kanan saja melainkan juga oleh sayap kiri. Adapun kesamaan diantara mereka adalah sama-sama punya perasaan tertindas di negeri mereka sendiri, dan percaya bahwa orang yang asing adalah musuh utama mereka.

Beberapa ciri yang dapat kita catat untuk menggambarkan munculnya gerakan Populisme Dunia ini adalah sebagai berikut:

Dipicu oleh kondisi ekonomi global yang buruk menimpa berbagai negara utamanya Eropa, Amerika dan Kawasan lainnya.

Buruknya kondisi ekonomi ini ditengarai akibat tata perekonomian global/kapitalisme global yang tak lagi mampu menjawab berbagai masalah ekonomi dunia. Liberalisasi ekonomi telah membuat pengkotak-kotakan blok ekonomi seperti yang dilakukan Eropa, Latin Amerika, maupun Asia Tenggara, yang membuat negara-negara Liberal khususnya Inggris dan Amerika menjadi musuh utama atau saingan utama dari perekonomian kawasan.

Dalam konteks sosial, munculnya gagasan postmodernisme seratus tahun terakhir, telah membuat berbagai gerakan universal yang justru sifatnya plural/multikultural (terbalik dengan yang dilakukan Trump dan Brexit yang nasionalis), dalam upaya membongkar tatanan sosial-budaya global ciptaan Kapitalisme Global yang terlalu Amerikanis, Eropanis atau Westernis sentris (budaya putih) sehingga melupakan budaya-budaya lain (the other). Efeknya, pergaulan dunia selama seratus tahun terakhir telah dipengaruhi pemikiran pluralisme, menjunjung tinggi perbedaan, menerima budaya lain, kemanusiaan dan solidariti global/termasuk penerimaan pengungsi dari berbagai negara sebagai wujud solidaritas global.

Buruknya ekonomi dan diterimanya berbagai perbedaan seperti masuknya imigran asing dengan berbagai latar/etnis-agama, diterimanya LGBT, Hispanik, dan kelompok Pop Culture lainnya ternyata dianggap memiliki hubungan yang kuat telah merongrong, memberatkan, hingga meruntuhkan supremasi “murni/asali/native” yang semestinya lestari dan paling berhak berkuasa.

Buruknya ekonomi ditengarai karena meningkatnya belanja pemerintah untuk kegiatan yang tak penting, lapangan pekerjaan yang mesti dibagi kepada imigran. Sementara gejolak sosial-budaya muncul akibat banjirnya imigran masuk ke Eropa dan Amerika, sehingga membuat terdesaknya budaya-budaya dominan/budaya asli setempat. Karena itu gagasan/konsep “pintu terbuka” bagi orang asing (etnis/agama) adalah gagasan yang salah dan mesti dikoreksi. Terlebih munculnya gerakan-gerakan terorisme berlatar agama yang memicu kebencian antar agama di dunia, khususnya kebencian pada Islam.

Bagaimana hubungannya dengan demokrasi?

Semua sepakat bahwa, nilai-nilai demokrasi yang secara prinsipil menjunjung tinggi segala perbedaan, telah dipangkas dan di depresiasi oleh gerakan “populisme”. Populisme telah menggemakan kesadaran identitas, SARA sebagai alat pembeda dan menebar kebencian.

Itu sebabnya kampanye-kampanye kandidat berhaluan “populisme” dalam merebut kekuasaan di dunia, dipenuhi oleh kampanye-kampanye yang berlatar identitas nasional, heroik, penyelematan bangsa dari rongrongan/musuh internasional, dan pentingnya kebijakan perlindungan bagi kepentingan bangsa diatas kepentingan internasional dan lainnya.

Trump, jelas tidak lagi berfikir untuk memimpin Dunia sebagaimana semboyan para Presiden Amerika sebelumnya, melainkan hari ini Trump dengan percaya diri berkampnaye akan “menjadikan Amerika kuat kembali”. Amerika yang asali dengan kepentingan nasionalnya, kini sedang terganggu dan diganggu oleh serbuan manusia dan budaya asing.

Mayoritas Amerika yang “berbudaya putih”, kini disadari posisinya sedang terhimpit oleh kaum minoritas yang saat ini ada di dalam negara mereka sendiri. Saatnya Amerika memikirkan Amerika sendiri, membersihkan “orang asing” dan melindungi Amerika. Trump, terus berteriak layaknya seorang Hero menyelematkan Amerika.

Bagaimana dengan Indonesia?

Para analis menyebut bahwa munculnya sentimen Islam mayoritas, juga ditengarai dipicu oleh terpinggirkannya kelompok Islam dalam kekuasaan ekonomi-politik di Indonesia. Sejak merdeka perekonomian dikuasai kaum elite (militer, nasionalis, China), begitu juga kekuasaan politik tetap ditangan elite nasionalis, militer dan pengusaha. Marjinalnya kelompok Islam (ormas Islam) yang selalu berada pada level tengah-bawah inilah yang kini memunculkan kekuatan Islam arus bawah, yang mulai terlibat dalam perebutan kekuasaan di DKI kemarin.

Fenomena kebangkitan ormas Islam “bawah/akar rumput” ini oleh berbagai analis dianggap sebagai tanda munculnya gerakan populisme di Indonesia sebagaimana yang terjadi di Amerika/Trump maupun Inggris/Brexit serta berbagai negara Eropa lainnya.

Namun demikian, populisme yang ditampilkan oleh muculnya semangat ormas-ormas Islam pada panggung kekuasaan di DKI Jakarta kemarin, tentu memiliki “kekhasan” tersendiri yang membedakannya dengan populisme di Amerika maupun Eropa.

Satu hal yang sangat berbeda, ormas-ormas Islam di Indonesia yang menggerakkan sentimen kebangkitan keumatan sesungguhnya adalah ormas-ormas level tengah dan bawah. Sementara ormas-ormas pada level atas seperti NU, Muhammadiyah, dan lainnya cenderung bersikap moderat.

Dalam pergumulan itulah berbagai latar ormas Islam yang selama ini dilebelkan “keras” justru mendapat tempat dan kedudukan yang penting. Sebabnya, karena memiliki keberanian, bersuara keras, dan berani tampil, sehingga lebih pantas untuk didapuk menjadi pimpinan atau komando pada saat ini.

Hal lain yang juga berbeda dengan gerakan populisme Islam Indonesia, adalah ketiadaan partai politik. Tanpa memiliki partai sendiri, ormas Islam jelas belum semandiri gerakan populis lain di dunia.

Setidaknya ada dua alasan mengapa gerakan ini tidak berpartai yaitu adanya kebutuhan dana yang sangat mahal jika harus membentuk partai politik, dan secara ideologis ada kesan beberapa ormas diantaranya memang menolak sistem demokrasi kepartaian. Akibatnya ormas-ormas berjalan dengan mendompleng partai-partai nasionalis yang mapan seperti Gerindra maupun Demokrat.

Perbedaan style ormas yang memang berbeda-beda itu jugalah yang kemudian menjadi titik lemah ormas-ormas Islam yang rentan akan perpecahan. Sudah menjadi rahasia umum, jika selama ini banyak ormas yang “dipakai” sebagai pengumpul suara bagi kekuatan-kekuatan politik (parpol) baik yang berbasis nasionalis (parpol nasionalis) maupun yang berbasis agama (parpol agama). Bukan saat ini saja, bahkan pada masa lalu kelompok agama sudah juga “digunakan” negara/militer, bahkan pihak Barat/Amerika-Inggris dalam memberangus kekuatan Komunis di Indonesia.

Karena itu, fenomena kemunculan ormas-ormas Islam saat ini, oleh para pemerhati dan media asing selalu dihubung kaitkan dengan kelompok-kelompok yang selalu memanfaatkannya seperti TNI, Barat/Amerika, Pemodal, maupun Kelompok Nasionalis yang anti dengan kekuasaan saat ini.

Menghadapi Jokowi yang di dukung mayoritas rakyat tahun 2019 nanti, tentu tidak mudah. Karenanya dibutuhkan berbagai upaya “bersama” dan “menyatu” mengumpulkan kekuataan yang berserak-serak.

Membaca kampanye DKI kemarin dan mungkin juga Kampanye di Pilkada selanjutnya, terkesan kelompok-kelompok ormas Islam tengah-bawah, telah menempatkan tiga musuh utamanya yaitu China/etnis-ekonomis, Komunis/ideologis, dan Penguasa/politik kedalam satu frame yang sama yaitu “penista agama”. Artinya, secara ideologis, politik, ekonomi, sosial-budaya, ancaman mayoritas umat Islam Indonesia datang dari ketiga kelompok tersebut yang berpotensi saling dukung untuk “menista Islam”.

Lantas siapa yang dianggap kawan oleh kelompok ormas Islam? Yang dianggap kawan adalah mereka (kelompok/individu) yang jelas-jelas punya agenda yang sama dengan perjuangan ormas-ormas Islam apakah itu berasal dari kalangan Militer/Purnawirawan, Partai Nasionalis (Gerindra), Etnis China sekalipun (Hary Tanoe), maupun Parpol Islam (PKS) yang punya tujuan sama, atau Tokoh Masyarakat yang berpihak meski sebelumnya menjadi musuh (Anies Baswedan, Ratna Sarumpaet, Rahmawaty, dll).

Bagi kelompok-kelompok yang bergabung dalam barisan “populisme” Indonesia ini, koalisi ini justru dianggap koalisi yang ideal dan “diinginkan”. Sebabnya, masing-masing pihak tidak punya kepercayaan untuk menang jika harus berjuang sendirian. Para koalisi sama-sama meyakini bahwa elite penguasa saat ini yang berhaluan nasionalis dan mengusung gagasan kebhinekaan adalah kelompok kuat dengan dukungan rakyat.

Bagaimana gagasan politik kebangsaan/kebhinnekaan yang digagas oleh kelompok nasionalis?

Kelompok nasionalis dalam konteks Indonesia adalah kelompok mayoritas yang sedang berkuasa sejak Indonesia merdeka. Partai-partai Nasionalis seperti Golkar, PDI/PDIP, Demokrat, Gerindra, Nasdem justru selalu mendominasi politik nasional maupun lokal mengatasi partai-partai agama seperti PKS, PPP, PKB maupun PAN.

Hampir bisa dipastikan pertumbuhan partai-partai Islam alternatif cenderung stagnasi dibandingkan dengan partai nasionalis. Bisa dilihat saat ini muncul tiga partai nasionalis baru yaitu Perindo, PSI, dan Partai Berkarya, sementara dari partai Islam dapat dipastikan Partai Idaman/Rhoma Irama justru gagal tumbuh.

Setidaknya ada dua faktor yang membuat partai-partai nasionalis baru dapat tumbuh yaitu faktor pendanaan, dan fragmatis-nya masyarakat di bawah menyangkut partai politik. Ketiadaan uang dan sikap fragmatis masyarakat inilah yang tidak mampu dijawab oleh ormas maupun partai politik baru berhaluan Islam seperti Partai Idamannya Rhoma Irama. Tentu saja kekuataan Rhoma tidak sebanding dengan kekuataan finansial Hary Tanoe, PSI maupun Tommy Soeharto/Berkarya.

Meski ada kesamaan antara gerakan populisme di Indonesia yang membawa sentimen mayoritas (Islam) menentang kelompok minoritas, sebagaimana yang dilakukan oleh Trump yang membawa sentimen mayoritas kulit putih melawan kulit berwarna dan agama, namun dalam berbagai konteks lainnya (model perebutan kekuasan), jelas terdapat perbedaan yang tajam.

Kalau Trump datang dengan kekuataan Partai Republik, dengan kekuatan pendanaan yang kuat, maka ormas-ormas Islam datang dengan massa, kekuataan kampanye media, namun mendompleng Partai Nasionalis seperti Gerindra dan ketokohan Prabowo, serta tokoh-tokoh purnawirawan TNI. Kesulitan bergerak secara mandiri, setidaknya telah mendoron Ormas Islam selalu berupaya menggaet dan “menggoda” tokoh-tokoh berlatar TNI, Pengusaha, dan tokoh-tokoh Nasionalis untuk menjadi mitra dan “memayungi” gerakan mereka.

Wajar jika dalam politik praktis, ormas-ormas Islam sangat erat bahkan bergantung kepada figur Nasionalis bukan yang Agamis dari kalangan sendiri. Kelompok Nasionalis (Partai & TNI) pada akhirnya yang justru bisa mengkonsolidasikan ormas-ormas Islam. Wajar jika pada masa lalu, TNI cukup sukses mendapat “bantuan” ormas Islam dalam kampanye dan gerakan melawan PKI. Adanya “musuh bersama” lah yang sesungguhnya bisa menyatukan berbagai kelompok populis yang berserak di Indonesia.

Penutup

Satu yang menjadi tekanan dalam konteks populisme Indonesia, adalah apakah populisme yang diusung oleh Ormas-ormas Islam di akar rumput ini benar-benar akan menemukan impian mereka? Ataukah, pada akhirnya kekuasaan tetap akan dikontrol kelompok-kelompok Nasionalis yang menjadi sekondan mereka sejauh ini?

 

Penulis : Dadang Darmawan,M,Si

Dosen Fisip USU

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.