Dibalik kekalahan AHOK

MEDANHEADLINES – Satu pertanyaan pembuka yang bisa kita ajukan, apakah yang tidak disukai oleh pemilih DKI pada Ahok? Ya, benar Ahok itu seorang China, Kristen, juga dituduh Komunis, arogan, dan kebal hukum. Bisa dikatakan variabel SARA, etika moral, dan keadilan hukum telah “bekerja” atau “dipekerjakan” dengan cukup baik dalam menembus alam bawah sadar pemilih untuk memukul sentimen “positive” Ahok yang kuat. Para netizen tidak sungkan mengatakan bahwa hanya “almaidah” lah yang sanggup menjatuhkan Ahok, tidak ada yang lain, apalagi sekedar uang yang banyak.

Pertanyaan berikutnya, diantara isu-isu SARA, Etika Moral, dan Keadilan Hukum itu, manakah yang paling mendasar bekerja efektif sebagai alat pemukul yang menjatuhkan Ahok pada ronde kedua?

Pasca hasil QC keluar, tidak sedikit netizen yang meletakkan pilihan pada isu SARA sebagai alat pemukul yang paling kuat menjatuhkan Ahok. Simulasinya begini, kalau Ahok seorang Muslim, apakah ia bisa dijatuhkan dengan menggunakan isu Arogansi dan Kebal Hukum? Dalam banyak kasus Pilkada di Indonesia, ternyata banyak sekali Kepala Daerah yang terpilih justru adalah seorang Arogan sekaligus Kebal Hukum. Banyak sekali “para begal” justru terpilih dalam Pilkada. Karena itu, menjadi kuat dugaan bahwa SARA adalah faktor terkuat yang menjatuhkan Ahok.

Pertanyaan berikutnya, diantara isu SARA seperti China (etnis), Kristen (agama), dan Komunis (golongan/ideologi), manakah yang paling kuat menyulut kebencian bagi pemilih Muslim di Indonesia?

Secara sosiologis sentimen anti-China pada masyarakat Muslim Indonesia ternyata sangat kuat tertanam. Bahkan sentimen anti China sudah lama dijadikan momok bagi masyarakat Indonesia yang umumnya Pribumi-Islam-Agamis. Konstruksi sosiologis sekaligus psikologis ini, sudah banyak sekali “digunakan” oleh berbagai pihak untuk mengenyahkan “lawan politik” dalam berbagai kontestasi.

Bahkan, sepanjang Indonesia merdeka ide-ide pembaharuan yang selalu digagas berbagai kalangan, ternyata hanyalah gerakan artifisial belaka yang tidak serta-merta melahirkan peleburan etnis China ke dalam kesatuan pribumi secara mentalitas. Banyak kalangan meleburkan simbol-simbol kosong, menyatukan bangunan fisik tempat ibadah dalam satu kompleks, buat acara kumpul-kumpul, namun menatalitasnya tetap tidak berubah. Jadi kita hanya pandai buat persatuan yang sifatnya simbolik dan fisik tapi gagal “menghunjamkan” persaudaraan sejati.

Sungguhpun sebutan-sebutan “China” telah diganti menjadi “Tionghoa” yang lebih bermakna etnis ketimbang politis, juga diperbolehkannya permainan barongsai secara umum, dan sejumlah fasilitas budaya lain yang boleh ditonjolkan, toh tetap juga tidak mampu menghilangkan “dendam” dalam benak banyak orang.

Untuk kasus Ahok yang “China”, ada kesan turut melekat pula ikutan sentimen negativ yang lain seperti beda agama dan berideologi Komunis. Artinya, mereka yang “jahil” dapat dengan mudah mem-bundelChina-Komunis-Beda Agama dalam satu kesatuan yang tak terpisah, sebagai alat propaganda yang efektif untuk menjatuhkan lawan politik. Negara China yang berideologi Komunis, adalah contoh mudah yang dengan mudah pula dilekatkan kepada Ahok.

Semua fungsi-fungsi negatif yang subur dan melekat ditubuh Ahok tersebut-lah, kemudian menjadi agregat yang mengalahkannya dalam pilkada kemarin. Semua orang Indonesia sangat yakin, bahwa pengaruh SARA sebagai carapandang bangsa Indonesia, masih sangat kental bersemayam dalam benak kesadaran, dan masih sangat efektif dapat digunakan dalam konteks politik.

Mengapa sentimen anti China/Komunis efektif bekerja di Indonesia?

Semuanya memahami, bahwa sentimen anti China/Komunis adalah suatu konstruksi kekuasaan yang bekerja secara psikologis mempengaruhi kesadaran seseorang atau suatu bangsa, yang sengaja ditanamkan oleh pihak-pihak musuh daripada China/Komunis yaitu ideologi Liberalis/Kapitalis.

Ideologi Timur (Komunis) maupun Barat (Kapitalis), sudah lama menjadikan Indonesia sebagai medan peperangan untuk mendesakkan pengaruh mereka. Padahal kedua ideologi itu sama-sama buruknya bagi bangsa Indonesia yang memiliki ideologi Pancasila.

Namun tatanan global berubah Sejak usai PD II (1945). Negara-bangsa di Dunia terbelah dua, dimana dunia masuk pada era perang ideologis yaitu antara Timur melawan Barat. Timur dan Barat yang beda ideologi itu terlibat perang memperebutkan pengaruh masing-masing pada negara-negara baru merdeka di seluruh kawasan. Tidak terkecuali Indonesia, bahkan menjadi rebutan yang paling sengit antara Blok Komunis dan Blok Kapitalis. Indonesia jelas adalah negara sangat strategis yang menjadi incaran dari dua blok adidaya itu.

Para ahli sepakat bahwa, kepiawaian Barat “mengolah” latar sosiologis dan psikologis Indonesia yang mayoritas muslim dan inferior-lah (baru merdeka) yang membuat Komunis tersingkir dan menjadi musuh bersama dari berbagai kelompok di Indonesia. Bahkan dampak ikutannya, Bung Karno-pun “terpaksa” disingkirkan atas tuduhan mendukung gerakan kiri/komunis Indonesia.

Ideologi Barat yang ditopang oleh “ruh”/nilai-nilai rasionalis-humanis-teknologis-sekuler dengan cepat kemudian “ditiupkan” kedalam “ubun-ubun” bangsa Indonesia sejak pertama sekali Indonesia merdeka. Berbagai negosiasi yang dilakukan Indonesia dengan Belanda/Barat setidaknya membuktikan bagaimana Barat tetap ingin menempatkan “ruh” nya ke dalam kesadaran bangsa Indonesia. Inilah yang selalu dikatakan para teoritisi post-kolonial bahwa sekalipun penjajahan Barat atas Dunia berakhir, namun dampaknya tidak pernah berakhir sebab dampak ideologisnya telah merasuki isi kepala bangsa-bangsa inferior.

Wajarlah jika Indonesia sejak merdeka langsung mengadopsi sistem nilai Barat utamanya dalam konteks sistem politik (demokrasi liberal multi partai), juga dalam konteks hukum (menggunakan hukum kolonial Belanda/KUH-KUHP), dan tentu saja yang mendasar nilai-budaya liberal-kapital-rasional yang mulai tertanam kuat dalam benak bangsa Indonesia.

Kuatnya sentimen agama mempengaruhi jalannya Pilkada DKI bahkan diaminkan oleh segenap kekuataan Islam yang tergabung dalam aksi tolak-ahok atau aksi anti-penista agama yang telah menyeret masa aksi terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Bahkan berbagai pentolannya meyakini bahwa apa yang terjadi saat itu adalah merupakan “tangan Tuhan” yang dikirim untuk membantu umat Islam Indonesia yang tersingkir. Umumnya para penolak Ahok yakin, tanpa isu sentimen agama mereka samasekali tidak akan mampu mengalahkan Ahok. Bahkan saat kemenangan pun para pendukung anti-Ahok meyakini bahwa kemenangan mereka terbantu oleh “gerakan al-maidah” tersebut sejak pada putaran I.

Amy Chua (seorang peneliti) sebagaimana dikutif I. Wibowo, mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia tidak bisa menghilangkan persepsi buruk masyarakat Indonesia terhadap etnis China/Tionghoa. Demokrasi Indonesia lebih menggambarkan bagaimana pihak mayoritas/muslim menghukum minoritas (China). Apa yang telah terjadi di Pilkada DKI, tidak bisa dipungkiri masih banyak menyembul kepermukaan tentang kebencian yang selalu tersirat/tersembunyi pada benak orang-orang muslim terhadap etnis China.

Bagi masyarakat Indonesia/muslim, pandangan terhadap etnis China merupakan pandangan kebencian yang berlapis-lapis yang sulit dihapuskan. Lapisan-lapisan kebencian itu pada lapisan dasarnya adalah menyangkut kebencian akan ideologi Komunis/anti agama yang identik dengan negara China yang Komunis. Permusuhan terhadap Komunis yang anti agama, setidaknya telah sukses “merasuki” pemikiran masyarakat Indonesia yang terbangun sejak maraknya pemberontakan Komunis pada masa Orde Lama maupun Orde Baru.

Lapisan kedua, adalah kebencian terhadap perilaku tertutup dan diskriminatifnya etnis China di Indonesia. Perekonomian Indonesia yang cenderung dikendalikan oleh etnis-China telah membawa kecemburuan sosial yang begitu mendalam bagi masyarakat. Dimana para pedagang China selalu dituduh mendapat keistimewaan/privelage dari pemerintah yang selalu mengusik rasa keadilan dan ketertindasan.

Terlebih dalam hubungan kerja antara buruh dan majikan, masyarakat selalu mendapati adanya perbedaan perlakuan yang diberlakukan atas mereka, dimana para pekerja enis-China lagi-lagi selalu mendapat perlakuan yang lebih baik dari mereka. Kehidupan buruh-buruh kasar yang kadang selalu mendapat perlakuan kasar selama berpulu tahun pada akhirnya menimbulkan dendam sosial kepada etnis-China yang dengan mudah dapat digunakan sebagai alat politik.

Bahkan penelitian Vedi R Hadiz membuktikan bahwa otonomi daerah yang berlaku sejak 1999 pasca reformasi justru semakin menyuburkan sentimen etnis/agama (SARA) dalam kesadaran bangsa Indonesia. Artinya kebijakan otonomi daerah sesungguhnya membuat kita semakin mundur dan menghancurkan nilai-nilai kebangsaan.

Penutup

Sungguhpun Pilkada DKI sudah usai, dan banyak pihak ramai-ramai ingin mendamaikan kedua kubu yang berkonflik, namun semua itu lagi-lagi sifatnya artifisial, semu, dan lebih cenderung “membohongi” publik. Sebab aktifitas “menjadi” bangsa Indonesia itu menurut Kihajar Dewantara sama sekali tak bisa dibentuk dengan cara-cara simbolik, semu, seperti itu.

Menjadi bangsa adalah aktifitas kesadaran, mentalitas yang tidak bisa “dibentuk” melainkan “terbentuk” secara alamiah. Itu sebabnya selama 71 tahun kita selalu gagal dalam membangun persaudaraan kebangsaan, sebab kita selalu bekerja dengan cara mudah melalui simbol-simbol dan aktifitas gerak fisik yang tak menyentuh kesadaran terdalam kita.

Pilkada DKI sudah usai namun dampaknya pada eskalasi mentalitas yang bipolar semakin kuat merasuki kedua belah pihak. Bahkan saat ini, kedua belah pihak sudah mempersiapkan episode-episode peperangan lainnya, yang segera akan mereflikasi apa yang telah terjadi di DKI dengan dosis yang lebih tinggi.

 

Penulis: Dadang Darmawan, M.Si

Dosen FISIP USU

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.