MEDANHEADLINES – Odysseus adalah pahlawan Yunani dalam perang Troya yang dikisahkan oleh puisi Homeros dalam Odyssey. Dengan kepintarannya, akal dan kelicikannya, Odysseus berhasil melewati semua halangan dan rintangan dalam peperangan dan sukses mempecundangi para dewa serta menaklukkan keganasan alam, hingga akhirnya ia dengan selamat tiba di tanah airnya pasca bubarnya perang Troya.
Namun setelah usai perang Troya, Odysseus bagaikan hilang dari peredaran dunia, sebab ia justru disembunyikan di sebuah pulau sunyi yang jauh dari tanah airnya serta keluarganya dan disana ia hidup dengan Calypso seorang bidadari jelita. Namun Penelope istrinya yang hidup di Ithaca meminta anak tunggalnya Telemachus mencari Odysseus dan memintanya pulang sebab ia tidak tahan akan godaan lelaki hidung belang yang mencoba memperistrinya. Penelope berharap dapat hidup bahagia dengan Odysseus di Ithaca.
Sepanjang jalan pulang ke Ithaca, sekali lagi Odysseus menghadapi cobaan, godaan, hambatan dan halangan. Ia menghadapi raksasa jahat serta dewa-dewa yang menipunya, kapalnya karam, anak buahnya frustrasi. Berkat kepandaian dan kelicikannyalah sekali lagi, Odysseus berhasil mengalahkan semua halangan itu. Kemampuannya inilah yang dianggap oleh sarja Barat bahwa Odysseus memperoleh enlightenment (Sindhunata, 1983).
Saat dewa laut Poseidon mengaramkan kapalnya, Odysseus dengan cerdik mengelabui Poseidon dengan membodohkan dirinya bahkan meniadakan dirinya sebagai manusia dihadapan Poseidon. Poseiden puas dengan taktik ‘rasional’ yang sebetulnya irrasional, hingga ia membebaskan Odysseus. Ia juga dengan licik mengosongkan ‘kediriannya’ dengan menyebut dirinya ‘no man’ sebab hanya dengan cara itu si raksasa jahat mata satu mau membebaskannya.
Bahkan sampai di Ithaca ia mesti menjadi pengemis rudin, dengan menistakan dirinya hidup bersama seorang kacung babi hingga istrinya Penelope tidak mengenalinya lagi. Bahkan istrinya meminta bukti bahwa jika ia suaminya ia mampu menembus dua belas sasaran dengan satu anak panah. Hanya berkat dewalah Odysseus lulus dari ujian tersebut. Intinya semakin Odysseus berkeinginan ‘menjadi manusia’, sesungguhnya makin niscaya pula ia menjadi ‘bukan manusia’.
Paling jelas adalah ketika Odysseus diperingatkan oleh Circe dewi yang penuh dengan kehalusan budi bahasa. Circe mengingatkan bahwa dalam perjalanan pulang nanti, ia jangan tergoda oleh bujuk rayuan suara Sirens sebab manusia pasti akan musnah dihadapannya jika ia menuruti suaranya. Odysseus mencari akal bagaimana tidak tergoda suara rayuan Sirens yang menggoda tapi membuat binasa. Ia menyumbat telinga awak kapalnya dengan lilin, sedangkan ia sendiri minta diikat kepada tiang layar. Ia berpesan jika ia meronta-ronta meminta membelokkan haluan kapal maka ikatannya semakin dikencangkan.
Suara Sirens akhirnya benar-benar datang merayu dan mempesona. Semua awak kapalnya justru tenang-tenang saja sebab telinga mereka sudah tersumbat lilin. Namun tidak bagi Odysseus, sebab ia justru sudah tergoda dan terpukau dengan rayuan suara Sirens. Ia justru meronta-ronta dengan sekuat tenaga dan berteriak dengan sekerasnya agar awak kapalnya membelokkan haluan ke arah Sirens. Namun teriakan Odysseus justru tak didengar awak akaplnya, sementara semakin kuat ia meronta-ronta maka ikatannya semakin mereka kencangkan sesuai perjanjian.
Kisah Odysseus inilah yang dianggap mirip dengan sejarah manusia modern saat ini. Menurut Horkheimer, kisah Odysseus adalah suatu alegori tentang kehidupan manusia modern saat ini yang sangat ‘irrasional’. Bagi Horkheimer Odysseus adalah ‘prototipe individu borjuis’ yang ada ditengah kita hari ini. Mereka yang dikatakan kaum elite saat ini, kaum mapan saat ini, yang justru disebut sebagai manusia sukses, pemilik modal, penguasa pemenang pilkada, akademisi atau manusia berbudaya, sebetulnya dihinggapi dengan berbagai ketakutan irrasional yang mengancam ‘kediriannya’. Bukankah manusia modern hari ini (masyarakat borjuasi) banyak sekali mengingkari dirinya sendiri, karena janji akan mendapatkan kebahagiaan di masa depan sebagaimana Odysseus dijanjikan kebahagiaan di Ithaca?
Bukankah manusia modern saat ini bersedia digoda, dibujuk rayu, dan terjerumus kedalam lembah kenistaan bahkan rela mengorbankan dirinya sendiri demi rayuan kebahagiaan masa depan duniawi? Adakah kebahagiaan jika sesungguhnya kita hidup dalam ‘perbudakan’ dan ‘penindasan’ baik fisik maupun psikis? Kemanakah manusia modern berjalan dan melangkah saat ini, ketika semua peri hidupnya hanyalah dipenuhi agenda ketaatan pada schedule dan waktu kerja yang ketat untuk melahirkan lembar-lembar rupiah demi dapat makan esok hari?
Sayangnya kaum borjuasi tidak pernah sadar. Horkheimer bertanya, bukankah Odysseus laksana para pemilik modal yang jelas telah memperbudak para awak kapalnya dan mengendalikannya, padahal ia sendiri justru tergoda duniawi dan diperalat sendiri oleh nafsu serakahnya dan tak memiliki pendirian? Bukankah para awak kapal itu mirip dengan milyaran para buruh/pekerja yang terus-menerus dengan keringat dan potensi dirinya bagaikan mesin tak kenal henti karena terbujuk rayu kehiduoan bahagia di era modern sebagaimana bujuk rayu Odysseus akan hidup bahagia di Ithaca? Jangankan para buruh bahagia, pemilik pabrik/alat produksi sendiri telah terjebak dan terkecoh yang justru meniadakan dirinya sendiri.
Bagi Horkheimer, masyarakat modern yang berbudaya yang ingin memperoleh kebahagiaan yang justru ‘menistakan dirinya’ demi budaya dan bahagia itu, bukanlah cita-cita kehendak sadar manusia, melainkan ungkapan dari kekuasaan modal buta atau uang atau alat tukar yang jelas telah memperalat manusia. Masyarakat modern jelas menurut Horkheimer tidak memiliki pahlawan atau siapapun yang benar-benar sejati menolong rakyat, sebab yang sesungguhnya adalah para teknokratis, penemu, akademisi, orang pintar yang bekerja justru pada kapal yang menindas manusia. Sejarah peradaban dengan demikian menurut Horkheimer adalah pengulangan ‘sejarah pengingkaran diri’ belaka, tidak lebih!
Masyarakat yang ingin hidup bahagia melalui jalan rasional, namun sejatinya justru ‘irrasional’. Sebab tidak ada bahagia jika itu justru menindas orang lain bahkan menindas dirinya sendiri. Manusia jelas kini terjebak dalam hukum dialektis sejarah. Ia ingin menikmati modernitas, ilmu pengetahuan dan teknologi, surga dunia, namun ia menghancurkan dunianya sendiri. Ia ingin membebaskan diri dari mitos tapi ia justru membuat mitos baru kembali. Ia yakin betul Tuhan sebagai pemilik kuasa, namun ia tak sabar harus memperebutkannya sebab khawatir tak mendapatkannya. Direbut saja tak dapat, konon lagi tak direbut, itulah ungkapan tragis manusia rasional saat ini.
Diujung penantiannya, Horkheimer benar-benar pesimis. Dalam tulisannya di Eclipse of Reason, pemikirannya seakan sudah diambang jalan buntu, dimana usaha manusia rasional kelihatan selalu gagal. Sementara dalam Dialectic of Enlightenment, pemikirannya sudah benar-benar buntu. Horkheimer melihat bahwa semua upaya manusia rasional benar-benar pasti/niscaya gagal. Horkheimer bahkan yakin Teori Kritisnya pun juga bahagian dari upaya manusia rasional tersebut, sehingga mau tak mau akan tergilas oleh hukum dialektik sejarah yang mereka ciptakan sendiri.
Penutup
Lantas bagaimana kehidupan manusia modern atau post-modern saat ini dan masa depannnya?
Dr Schumacer mengatakan, “masalah-masalah manusia jaman ini tidak dapat dipecahkan dengan organisasi, administrasi, (juga kekuasaan), atau uang meski itu penting. Manusia hari ini menderita penyakit metafisika (masalah nilai yang fundamental), maka obatnya juga mesti metafisika”. Kita sebetulnya tidak membutuhkan modal ataupun pilihan rasional atau tidak rasional melainkan kini kita membutuhkan Tuhan sebagai sumber dari yang ada saat ini. Manusia telah membawa kapal bumi ini berlayar jauh yang mebawa penghuninya justru berada dalam situasi ketidakpastian.
Karena itu sebagaimana pepatah Melayu mengatakan, apabila kita tersesat di ujung perjalanan, eloklah kita kembali lagi ke pangkal jalan”. Apakah pangkal jalan? Pangkal jalan adalah makna alegoris yaitu dimana kita kembali kepangkal mula, ke dasar kaji, ke inti masalah, ke pondasi jiwa manusia, kita kembali ke fitrah selaku mahluk Tuhan, kita kembali ke ahklak mulia manusia yang sejati. Di pamgkal jalanlah kita akan kembali melihat, kemana arah yang jelas untuk berlabuh. Sebagaimana dalam cerita puisi Odysseus, dimana manusia saat ini tentu saja sudah tersesat jauh, sebab sudah terlalu banyak mendengar “rayuan Sirens” sepanjang perjalanan hidupnya.
Penulis : Dadang Darmawan, M.Si
Dosen FISIP USU
Sindhunata, 1983, Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik Masyarakat Modern oleh Max Horkheimer dalam Rangka Sekolah Frankfurt, Jakarta: Penerbit PT Gramedia
Hari Kartini dan Semangat Indonesia Bersih Narkoba
MEDANHEADLINES.COM - Hari kartini seyogyanya adalah sebagai pengingat momentun perjuangan kaum perempuan dalam mendapatkan kesetaraan gender di berbagai lini. Hal...