Takluknya Negara Pada Pelaku Pelanggaran HAM

MEDANHEADLINES – Setelah berpuluh-puluh tahun mandeg, Pemerintah melalui Menteri Kordinator Politik Hukum dan HAM bersama Komnas HAM dan Kejaksaan Agung akhirnya berkomitmen dalam menyelesaikan persoalan tujuh pelanggaran HAM masa lalu. Tujuh kasus tersebut yakni, tragedi 1965, penembakan misterius 1982 hingga 1985, tragedi penghilangan aktivis 1997-1998, tragedi Trisakti 1998, kasus Talangsari 1989, Semanggi 1 dan 2 pada 1998 dan 1999 serta kasus pelanggaran HAM di Timor Timur. Sayang, langkah penyelesaian dipilih melalui jalur non-judicial, yakni dengan solusi berupa rekonsiliasi. Ada kesan, dalam konteks penyelesaian pelanggaran HAM tersebut pemerintah lebih memilih jalan pintas daripada jalan pantas. Mengapa demikian?

Dengan rekonsiliasi artinya upaya mengungkap dan menyeret para pelaku serta orang-orang paling bertanggung jawab pada periode pelanggaran HAM kemeja pengadilan pupus sudah. Alasan kuat pemerintah memilih jalur non-judicial sebagai langkah penyelesaian disebabkan sulitnya mencari fakta, bukti, dan saksi atas ketujuh kasus pelanggaran HAM masa lalu. Ya, seabrek bukti awal yang didapat melalui hasil penyelidikan Komnas HAM sudah diberikan ke Kejaksaan Agung, namun kasus-kasus HAM tersebut telah bertahun-tahun buntu akibat kurangnya alat bukti. Kejanggalannya, Kejaksaan Agung tidak pernah secara terang menyampaikan soal bukti-bukti apa yang belum lengkap dan bukti apa yang dibutuhkan dari Komnas HAM maupun keluarga korban. Negara dengan segala otoritasnya harusnya punya kemampuan mendesak semua pihak mengungkap berbagai bukti yang diperlukan. Bukan justru ambil langkah rekonsiliasi yang sesungguhnya adalah kata lain dari menyerah.

Komnas HAM yang dulu begitu ngotot untuk mendesak perkara tersebut, kini seperti hilang ‘gas’. Mengacu pada UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Komnas HAM memang diamanahkan bertugas sebagai penyelidik, sedangkan Kejaksaan Agung berperan sebagai penyidik. Mangkraknya fase penyidikan ditangan Kejaksaan Agung barangkali membuat Komnas HAM  frustasi hingga turut ambil bagian dalam pemufakatan memilih jalan rekonsiliasi.

Wiranto yang menjabat sebagai Mentri Kordinator Politik Hukum dan HAM, dalam konteks ini paling mendapat sorotan. Sudah menjadi rahasia umum,  beliau disebut-sebut turut terlibat dalam beberapa persoalan pelanggaran HAM masa lalu yang sekarang sedang berupaya direkonsiliasi. Wiranto pada periode terjadinya peristiwa pelanggaran HAM adalah pemegang komando atas TNI dan Polri. Dengan jabatan itu wiranto semestinya menjadi pihak yang harus dimintai keterangan dan pertanggung jawaban. Wajar ketika Wiranto muncul sebagai salah satu inisiator rekonsiliasi sudah barang tentu menyebabkan banyak pihak berasumsi negatif. Apakah ini salah satu upaya mengubur semua dosa masa lalu dengan cara cepat dan efisien tanpa harus menyeret pelaku pelanggaran HAM kemeja pengadilan. Entahlah.

Kita harusnya kembali pada spirit awal dalam mengungkap persoalan pelanggaran HAM masa lalu yang semata-mata atas nama pemenuhan rasa keadilan bagi korban. Negara yang bertugas menjamin warganya mendapatkan perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hukum dan hak asasi manusia harusnya berfikir matang sebelum buru-buru memutuskan akan menempuh langkah rekonsiliasi. Untuk menjawab rasa keadilan, yang dibutuhkan para keluarga korban adalah kejelasan atas siapa orang-orang yang paling bertanggung jawab atas meninggal (hilangnya) keluarga mereka, serta hukuman apa yang harus diterima orang-orang tersebut. Penegakan hukum wajib dilaksanakan hingga tuntas, baru setelah itu dilakukan proses rekonsiliasi.

Jika tidak, Rekonsiliasi adalah legitimasi bahwa pemerintah telah takluk pada para pelanggar HAM masa lalu, sebuah bukti ketidak berdayaan hukum. Lebih parah, melakukan rekonsiliasi artinya membiarkan para pelaku bebas berkeliaran tanpa tersentuh hukum (impunitas). Bukankah ini sebuah preseden buruk bagi penegakan hukum? Negara sudah selayaknya berani mengungkap semua dosa pelanggaran HAM masa lalu, bukan justru menambah dosa baru yang akan dicatat oleh anak cucu di masa depan.

 

Penulis : Amin Multazam Lubis

KontraS Sumut

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.