MEDANHEADLINES – Satu Radio Swasta di Medan tanggal 6 Februari 2017 mengangkat topik tentang “Kota Medan Terburuk Tata Kelola Ekonomi Daerah se Indonesia”. Pembicara dalam acara tersebut adalah Ketua DPRD Kota Medan dan Ketua KADIN Medan. Bagi media, berita ini tentu menarik juga menggelitik. Kalau dipublikasi pasti akan memiliki mutli-dimensi pandangan yang penting untuk para petinggi. Jadi meski diangkat, hal itu bukan untuk memenuhi teori lama bad news is a good news.
Aksi-Reaksi: Melihat Respon Warga Kota
Adalah penting bagi media untuk mempublikasikan informasi yang sungguh penting bagi warga Kota Medan dan mendapatkan respon dari warga Kota. Aksi dan reaksi tentu saja adalah salah satu alat dan metode untuk memberi umpan balik kepada pengambil kebijakan. Jika warga Kota masih memberikan respon sebagai umpan balik, itu pertanda bahwa warga Kota Medan, adalah warga Kota yang memiliki keperdulian. Namun, jika warga sudah tak perduli tentang Kota dan memberikan respon, maka itu juga pertanda bahwa warga Kota ini tak lagi membutuhkan pemimpin alias auto pilot.
Sebaliknya, jika respon warga Kota direspon balik oleh Walikota atau pejabatnya, sehingga mampu memperbaiki pelayanan kepada publik, maka itu pertanda Pemko kita responsif alias berfikir sehat/rasional. Namun, jika respon warga justru diabaikan maka itu pertanda masyarakat telah kehilangan pemimpinnya, layaknya seperti anak ayam kehilangan induk, warga Kota akan berjalan sendiri kesana-kemari, yang merupakan cermin masyarakat yang sakit.
Kalau kita “terawang”, mungkin para pembaca atau warga Kota sudah bisa menebak, pertanyaan apa saja yang mungkin muncul dalam diskusi tersebut. Warga yang pasif yang tidak begitu perduli dengan Pemko Medan dan tidak juga mengikuti perkembangan mungkin akan bertanya, “Kok bisa ya penilaian buruk itu terjadi pada Kota Medan?”.
Sementara bagi warga Kota Medan yang reaktif dan emosional mungkin akan bertanya, “Apa kerja Eksekutif, Legislatif dan Kolaboratornya di Kota Medan?”. “Bukankah mereka sudah dibayar mahal untuk mengelola trilyunan uang rakyat?”.
Namun, bagi warga Kota Medan yang benar-benar sebagai warga Kota yang baik, mungkin saja mereka tak akan bertanya lagi. Sebab, besar kemungkinan mereka sudah paham dan langsung mengerti dengan informasi buruk tersebut. Dengan info itu, mereka hanya diam dan paham serta mengangguk setuju.
Secara teori, semua kebijakan dan informasi serta penilaian terkait Kota dan kemudian di respon warga Kota adalah hal yang lumrah. Tak merespon pun adalah suatu respon. Diam-pun sikap pemerintah, adalah kebijakan atau keputusan. Government choose to do or not tod do adalah tindakan atau kebijakan.
Dan semua respon, pasti sangat ditentukan oleh latar pengalaman dan posisi si perespon. Karena itu setiap orang akan mengeluarkan respon yang beragam terkait dengan latar kepentingannya masing-masing. pemerintahlah yang memilah respon tersebut untuk diolah sehingga keluarannya akan memperbaiki situasi dan keadaan. Tak memperbaiki keadaan pun, atau malah menjadi buruk sekalipun, itu adalah bahagian dari kebijakan pemerintah.
Apa yang salah dengan Kota Medan?
Tentu saja tak ada yang salah dengan Kota. Kota adalah objek (benda, sistem, hubungan antar manusia, tatakelola, jalan-jalan dan gedung-gedung mati tak bergerak) yang dibentuk oleh subjek (orang dengan kemampuan rasio/nalar). Tentu yang salah adalah pemimpin dan aktor yang memiliki rasio/akal/nalar yang telah dimandatkan untuk membangun dan menata Kota Medan. Walikota dan wakil serta jajaran Pemko Medan jelas adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam pengelolaan Kota.
Terhadap seluruh kerusakan yang ada di muka bumi ini, apa tah lagi keburukan suatu Kota, maka tidak ada terdakwa yang paling jelas selain manusia itu sendiri. Kita tak mungkin menyalahkan binatang, gedung-gedung atau tumbuhan atau bahkan sistem sebagai perusak Kota kita. Manusia dengan kemampuan rasio/nalar yang dimilikinyalah yang bertanggung jawab membuat hitam, putih atau abu-abunya suatu keadaan.
Walikota dan wakilnya jelas adalah pihak yang paling bertanggung jawab dari sisi hukum. Sebab Walikota dan wakil telah disumpah dihadapan hakim, dan menyatakan bersedia untuk menerima seluruh tanggung-jawab terhadap masalah Kota yang mereka pimpin. Sehingga sumpah-jabatan mereka sesungguhnya melekat dalam seluruh tindakan mereka.
Meskipun demikian, diatas Walikota dan wakilnya ada Partai Politik yang sebetulnya secara substantif paling bertanggung jawab. Mengapa? Sebab Partai Politik adalah saringan pertama dan satu-satunya saringan yang melahirkan Walikota dan wakilnya. Walikota dan wakilnya bisa dikatakan adalah produk Partai Politik yang sebenarnya. Semua kebijakan Walikota dan wakil sebetulnya adalah cerminan dari perbuatan Partai Politik. Mengapa? Sebab Partai tidak hanya menyaring melainkan juga mengawal Walikota dan wakil melalui wakil-wakil Partai yang duduk di DPRD. Jadi Partai masih memiliki tanggungjawab yang melekat dalam kebijakan yang dilakukan oleh Walikota dan wakilnya.
Namun, disebalik itu rakyat yang memilih dalam Pilkada atau yang tidak memilih dalam Pilkada juga dapat dikatakan ikut bertanggungjawab. Sebab bagi pemilih, merekalah yang sudah memilih pemimpin apakah pemimpin itu baik atau buruk. Betapapun minimnya informasi terhadap si Kepala Daerah atau telah terjadi transaksi politik dalam pemilihan tersebut, yang jelas pemilih ikut bretanggung jawab. Sementara mereka yang golput juga ikut bertanggung jawab sebab mereka sudah membiarkan proses politik yang disediakan bagi mereka.
Intinya secara hukum masalah suatu Kota terletak dipundak Walikota dan wakilnya sementara secara substantif terletak dipundak Partai Politik dan secara moral terletak pada pemilih maupun mereka yang golput. Intinya semua warga Kota bertanggung jawab terhadap masalah Kota, namun yang mempertanggungjawabkan secara hukum dan politik secara sosial adalah Walikota dan wakilnya. Sebab seluruh fasilitas terbaik dan tertinggi telah diserahkan kepada Walikota dan wakilnya termasuklah di dalamnya untuk mengurus seluruh uang miliki rakyat yang jumlahnya trilyunan rupiah hasil dari sumbangan pajak warga Kota.
Mekanisme Pertanggungjawaban
Dengan apakah Walikota dan wakilnya bertanggungjawab terhadap tatakelola Kota? Pertama, tanggung jawab Walikota dan wakilnya berjalan seluas kewenangan yang mereka miliki yang diserahkan oleh pemerintah pusat melalui undang-undang. Yaitu kewenangan untuk mengatur dan mengurus seluruh urusan rumah tangga Kota. Inilah yang dimaksud dengan rezim otonomi daerah. Artinya bentuk tanggungjawab Walikota dan wakilnya dilakukan dengan membuat aturan (perda, keputusan, himbauan, arahan) yang menjadi tolok ukur pengambilan keputusan, dan batasan serta aturan main dalam melaksanakan memberikan pelayanan publik, rasa aman dan tentu saja kesejahteraan kepada warga Kota.
Pertanggung jawaban ini adalah pertanggung jawaban kerja/urusan yang nilainya berdasarkan standar kinerja yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Hasil dari kajian Komite Pemantau Pelaksana Otonomi Daerah (KPPOD) yang berisi laporan Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) adalah kurang lebih dilakukan berdasarkan standar Kinerja. Laporan KPPOD sama saja dengan laporan berbagai Kementerian dan Lembaga yang juga memiliki standar-standar tertentu dalam memberikan penilaian kepada Daerah. Sebagai contoh, adanya penilaian dari Menteri Lingkungan Hidup tentang Kebersihan di setiap Daerah di Indonesia secara periodik. Hasilnya, setiap daerah yang berhasil bersih dan menang kemudian diganjar Piala Adipura.
Semua Kepala Daerah tahu benar tentang standar penilaian tersebut. Bahkan setiap Kepala Daerah berlomba untuk memperoleh penilaian terbaik dan menerima Pialanya sebagai suatu kebanggaan. Anehnya banyak Kepala Daerah berlomba-lomba untuk meraih Pilada Adipura sebagai Kota Bersih, tapi tak berlomba-lomba untuk meraih Pilada Bersih Dari Koruptor/KKN. Akibatnya banyak kota bersih menerima Adipura, namun Walikotanya tersangkut masalah Korupsi. Ternyata bersih lingkungan sangat mudah diperoleh, sementara bersih dari nafsu jahat sulit diperoleh. Celakanya para Menteri kita, baru sanggup berlomba-lomba untuk membersihkan sampah di lingkungan saja, belum sanggup membersihkan sampah dipikiran kita.
Hal yang lain, kita saksikan banyak sekali Walikota berlomba-lomba mendapatkan predikat laporan keuangan BPK dengan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) sebagai predikat terbaik. Dengan WTP semua Gubernur, Bupati dan Walikota merasa bangga dans seolah telah berjalan diatas standar kebenaran. Namun kenyataannya, tidak banyak yang mau berlomba menjadikan warga Kotanya menjadi Sejahtera. Akibatnya, banyak Kota menerima predikat WTP namun warga kotanya terpuruk secara ekonomi atau tatakelola ekonominya buruk. Artinya mendapatkan predikat WTP dengan bukti-bukti dokumen jauh lebih diinginkan Kepala Daerah ketimbang mendapatkan predikat Kota Sejahtera dengan bukti-bukti nyata dari kesejahteraan warga Kota-nya. Membuat administrasi itu mudah namun membuat yang substsantif tak bisa.
Kedua adalah pertanggungjawaban politik. Secara politik Kepala Daerah bertanggungjawab kepada Pemerintah Pusat melalui DPRD. Awalnya dalam UU 22/99 Kepala Daerah bertanggungjawab kepada DPRD sehingga DPRD dapat menjatuhkan atau memberhentikan Kepala Daerah. Namun kini dengan UU Pemerintahan Daerah setelahnya maka Kepala Daerah cukup memberikan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) saja kepada DPRD. Sehingga hubungan Kepala Daerah dengan DPRD hanyalah hubungan LPJ saja. Akibatnya DPRD tak bisa berbuat apa-apa. Kalau tak bisa berbuat apa-apa, mending “kerjasama saja”. Sehingga mekanisme chekck and balances yang semestinya terjadi menjadi sirna. Dengan demikian LPJ tidak bisa dijadikan pegangan sebagai bentuk pertanggungjawaban politik Kepala Daerah. Lebih jauh LPJ adalah sebatas mekanisme perundang-perundangan belaka yang jauh dari substansi tanggungjawab.
Meskipun DPRD memiliki hak politik untuk mengawasi jalannnya pembangunan dan proyek-proyek pemerintah, namun dalam prakteknya semuanya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Tidak sedikit justru anggota DPRD dengan berbagai relasinya, terlibat sebagai pelaksana proyek-proyek pemerintah. Hasilnya, proyek pemerintah bisa dipertanggungjawabkan secara administratif belaka namun tidak pada kualitasnya.
Pertanggungjawaban Ketiga adalah pertanggungjawaban Etika-Moral. Etika-Moral adalah standar nilai tertinggi yang mekanismenya ada di dalam diri manusia itu sendiri. Kesadaran Etik lahir dan menjadi sesuai dengan pengalaman masa lalu seseorang. Kesadaran Etik itu “menjadi” bukan “terjadi” atau “dijadikan”. Artinya mereka yang memiliki kesadaran Etik benar-benar kesadaran itu tertanam melalui proses penanaman dan berbuah dalam kehidupannya.
Kesadaran Etika ini tentu saja menjadi suatu kehormatan yang tertinggi bagi mereka yang sadar diri. Tidak berlebihan jika para Kesatria, para Samurai sangat menjunjung tinggi kehormatan mereka. Kehormatan menunjukkan kesadaran akan harga diri personal. Nama baik (reputasi seseorang adalah bagian abadi dari diri orang tersebut yang tersisa), setiap pelanggaran terhadap integritasnya dianggap aib, dan rasa malu (ren chi shin) adalah satu norma yang paling awal yang diberikan sejak masa remaja di dalam rumah tangga.
Menurut Balzac, jika kita kehilangan solidaritas (nilai) keluarga maka masyarakat telah kehilangan kekuatan fundamental atau kehormatan. Lihat saja hukuman Adam ketika memakan buah dari pohon terlarang yang dilarang Tuhan. Auratnya (kemaluan) langsung terbuka, aib-nya kelihatan dan Adam seketika kehilangan kehormatan. Nabi Adam begitupula para Samurai, memiliki keyakinan bahwa kehilangan kehormatan sama dengan luka di batang pohon, semakin lama semakin membesar bukan terhapus. Berabad-abad sebelumnya Mencius mengatakan bahwa rasa malu adalah tanah dari semua norma, dari sikap baik dan moral baik. Tanpa kehormatan di hadapan Tuhan, Adam bersedia mundur dan jatuh ke Bumi. Tanpa kehormatan Samurai harakiri.
Mencius mengajarkan bahwa di dalam setiap pikiran seseorang pasti ada kecintaaan terhadap kehormatan, tapi hanya sedikit yang mengetahui bahwa hal yang benar-benar terhormat ada di dalam dirinya sendiri dan bukan di tempat yang lain. Kehormatan yang bisa diperjualbelikan bukanlah kehormatan yang sesungguhnya. Kehormatan adalah anugerah Tuhan dan Dia bisa mencabutnya kembali.
Kesadaran Etik jelas tak dimiliki Pejabat Kita. Jadi kita cukupkan sampai disini pembahasannya. Semoga Bermanfaat.
DISRUPTION & Tanggung Jawab KOTA MEDAN
Penulis: Dadang Darmawan, M.Si
Dosen FISIP USU