KERUHNYA MATA AIR HMI (Menyambut 70 Tahun Usianya)

MEDANHEADLINES – Lima Februari 2017 kemarin organisasi mahasiswa HMI telah berusia 70 tahun (050247-050217). Seperti biasa berseliweran ucapan di dinding medsos, menyambut usianya yang tak lagi muda. Banyak yang penuh suka cita meski tidak sedikit yang gundah gelana atau bahkan mencela. Sudah nature-nya beragam pemikiran dan penilaian akan keberadaannya, ditanggap berbeda. Memang mestinya demikian, tak perlu juga untuk disamakan, apalagi sampai di-setting sama.

Selain ucapan selamat, hampir bisa dikatakan tak ada yang substansial dalam menyambut ultah ketujuh puluh tahun ini. Semuanya berjalan seperti biasa seperti tahun-tahun sebelumnya. Seperti biasa akan dilakukan acara ritual diberbagai tempat. Akan ada perhelatan spesial apakah di pusat maupun daerah, akan diiringi karangan bunga dari berabagai kalangan, dan ditutup dengan pidato atau orasi ilmiah atau bisa juga orasi politik. Mungkin akan ada juga penyataan sikap atau pernyataan politik, sekedar bukti bahwa kita organisasi mahasiswa.

Dari segi usia sebagai organisasi mahasiswa, HMI tentu sudah menunjukkan “ketuaannya”. Tak banyak juga organisasi bisa bertahan sedemikian rupa. Dengan ketuannya, tentu itu juga menjadi penanda bahwa banyak sudahlah pengalamannya, banyak sudah makan asam garam kehidupannya, dan banyak juga kebijaksanaannya. Meskipun pada organisasi yang tua, itu juga sebagai pertanda bahwa sudah banyak juga pikunnya, sudah banyak pula penyakitnya dan bisa juga sudah “bau tanah”. Yang mana satu diantaranya? Tentu saja jarum waktu, ataupun kesadaran kita sendiri yang akan berbicara.

Semua kader sama-sama tahu bahwa meski semua memiliki proses perkaderan yang sama, namun kepribadian dan pengalaman yang didapat pra dan pasca perkaderan tentu saja berbeda. Semua watak kader baik atawa buruk, adalah reperesentasi dari kepribadiannya yang umumnya dipengaruhi oleh kawan mainnya, keluarganya, lingkungannya dan orientasi pribadinya. Tentu saja tak ada yang buruk dengan HMI, sebab semua itu jelas terpatri dalam tujuannya “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam, dan bertangung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT” (pasal 4 AD HMI).

Yang buruk tentu saja adalah kita, selaku kader! Watak kader yang berproses di dalamnyalah yang menuliskan sejarah hitam-putihnya HMI pada masa lalu, hari ini dan di masa depan. Siapakah yang buruk? Siapakah yang baik? Tak perlulah dibahas semua cukup lengkap dicatat dalam lembaran sejarah yang tak akan pudar dan dapat dibuka oleh alam semesta kapan saja.

Dalam kesempatan ini, selaku mantan kader yang pernah berkecimpung selama delapan tahun (1992-2000) diberbagai level dan jabatan organisasi, hanya kontribusi pemikiranlah (immateriil) hari ini yang dapat dipersembahkan. Entahlah esok-esok, mudah-mudahan bisa pula berkontribusi secara materiil.

Ada baiknya saya memfokuskan tulisan ini pada tujuan utama HMI selaku organisasi mahasiswa yang berdasarkan Islam, yang berjuang dalam rangka turut serta membangun ke-Bangsaan dan ke-Indonesiaan kita ini, menjadi suatu baldah atau negeri yang diridhoi oleh Allah SWT, dimana mereka yang iman kepada Allah hendaklah mengikuti pedoman dalam Kitab Suci dan Perilaku Nabi.

Sudah sejauh manakah kita ingat akan sumpah dan janji kita selaku kader? Bukankah kita dengan tegap dan tegas serta sadar dan yakin pernah mengucapkan dan bersumpah bahwa kita bersaksi bahwa Tuhan itu Esa, Muhammad adalah Rasul Tuhan, dan seluruh sholat, ibadah, hidup dan mati kita tidak lain hanyalah merupakan bentuk pengabdian kita tertinggi kepada Tuhan Serusekalian Alam? Adakah semua sumpah dan janji itu (ikrar) yang kita ucapkan tersebut telah kita aplikasikan dalam lapangan kehidupan nyata, demi membangun bangsa dan negara Indonesia yang kita cintai ini?

Sumpah & Janji (Ikrar) : Solusi & Masalah Utama

Apa pentingnya ikrar kita lakukan kepada Allah sebelum memulai tindakan kita selaku kader atau pengurus HMI? Teramat pentingkah perjanjian (ikrar) itu sehingga mesti kita lakukan di depan publik?

Perjanjian adalah bentuk lain dari ikatan antara kedua belah pihak atau para pihak yang mengikatkan dirinya pada perjanjian tersebut. Tanpa perjanjian tentu saja kita tak punya ikatan. Bisakah Bank memberi kita uang pinjaman tanpa kita membuat perjanjian dengannya? Tentu saja tidak bisa. Hanya dengan perjanjianlah kita terikat dengan isi-isi perjanjian. Dan hanya dengan perjanjian kita dapat menilai apakah kita manusia yang taat pada janji atau sebetuknya kita adalah seorang pengkhianat.

HMI dan seluruh Organisasi Masyarakat lainnya tentu saja memahami dasar philosofi perjanjian tersebut yang sudah berlaku sejak ribuan tahun yang silam. Tidak ada ikatan yang paling efektif untuk mengikatkan diri manusia agar seluruh tindak tanduknya (sikap perbuatannya) sesuai dengan perintah dan larangan Allah, kecuali melalui mekanisme perjanjian, sumpah ataupun ikrar.

Artinya, perjanjian adalah pondasi gerak dan langkah manusia dalam kehidupannya atau dalam organisasinya. Lebih dari itu perjanjian (ikrar) adalah hal yang sakral (penting dan dijunjung) sebagai solusi dari berbagai masalah. Dengan berjanji atau berikrarlah kita menyelesaikan segala masalah yang menjadi alasan organisasi kita ada. Intinya, jika setiap kader HMI mampu memegang teguh janjinya sebagaimana yang sudah diikrarkan, maka pasti akan terwujudlah bangsa Indonesia yang sejahtera yang diridhoi Allah SWT. Ternyata semua kunci dalam mewujudkan Baldatun Toyyibatun Warabbul Ghaffur adalah dengan melaksanakan ikrar kita kepada Allah.

Bagaimana kalau kita ingkar terhadap janji kita? Mengapa Bank terlalu kejam mencamppakkan kita ke dalam daftar hitam (blacklist), sampai-sampai pihak Bank yang lain pun diberitahu agar tidak berhubungan dengan kita? Jelasnya, karena kita berkhianat terhadap akad/janji/ikrar yang sudah kita sepakati sebelumnya. Siapapun yang berkhianat akan janjinya, jelas dia adalah orang yang tak dapat dipercaya dan tentu juga menjadi orang yang berbahaya. Artinya, jika dengan memenuhi dan taat pada perjanjian kita mampu mewujudkan cita-cita kita, maka dengan mengkhianati perjanjian juga kita telah menghancurkan cita-cita kita. Yang baik berawal dari janji, namun keburukan juga kita mulai dengan mengingkari janji.

Bahkan perjanjian adalah tradisi yang telah berlangsung selama ribuan tahun yang silam. Pernahkah kita mendengar perjanjian antara Nabi Musa dengan Tuhan di Gurun Sinai? Sudah menjadi tradisi dalam perjalanan nabi dan rasul jika perjanjian adalah merupakan mekanisme Ilahiah yang diberlakukan Tuhan kepada manusia yang beriman. Tidak ada  password untuk beroleh izin dari Allah kecuali dengan cara terlebih dahulu harus -berikrar ‘janji’ (mitsaq). Tidak ada ikatan (hablu/buhul) antara manusia dengan Tuhannya kecuali melalui perjanjian. Kalau kita selalu mengatakan bahwa setiap orang beriman itu adalah bersaudara, mereka saling terikat satu sama lain secara kuat, maka tidak ada cara agar mereka terikat satu sama lain kecuali melalui suatu mekanisme perjanjian.

Pada jaman nabi, nabi sendiri yang bertugas mengambil perjanjian dari mereka yang mau mengikuti nabi. Perjanjian justru menjadi metode yang diberlakukan bagi mereka yang mengakui nabi sebagai nabi dan rasul Allah. Perjanjian juga menjadikan nabi sebagai pemegang otoritas pengambil keputusan tertinggi. Tanpa perjanjian tidak mungkin ada hubungan antar nabi dengan orang beriman. Baik keluar maupun ke dalam semuanya dibutuhkan perjanjian.

Untuk itulah nabi senantiasa menyeru manusia untuk beriman kepada Allah, dimana bagi mereka yang iman, maka nabi sesuai dengan prosedur terlebih dahulu akan mengambil perjanjian dari orang yang bersangkutan tersebut. Mereka yang memutuskan perjanjian tentu saja akan dikeluarkan dari komunitas orang beriman. Mereka yang beriman, tentu saja mesti bersedia berjanji kepada Allah; mari kita lihat sebagaimana yang termaktub dalam QS 57/8 : “Dan Mengapa kamu tidak beriman kepada Allah padahal Rasul menyeru kamu supaya kamu beriman kepada Robbmu. dan Sesungguhnya dia Telah mengambil perjanjianmu jika kamu adalah orang-orang yang beriman.”

 Dengan perjanjianlah kita mengikatkan hidup kita pada Tuhan yang Kuasa. Melalui perjanjian itu pula Tuhan menilai kita beriman atau berdusta kepadanya. Semakin teguh kita memegang janji kita kepada Tuhan maka semakin kuatlah tali ikatan kita. Sebaliknya semakin lemah kita memegang janji kita maka semakin lemahlah ikatan tali tersebut seolah kita seperti seseorang yang sedang mengurai tali pengikatnya. Jadi perjanjian adalah ibarat tali pengikat.

Artinya saat kita menjadi anggota, terlebih saat kita menjadi pengurus HMI, mestilah kita melewati prosedur. Kita tidak akan dihitung masuk sebagai pengurus sebelum kita mengikuti prosedur perjanjian yang ditetapkan. Tidak hanya HMI, bahkan seluruh organisasi masyarakat lainnya juga memberlakukan prosedur yang sama. Semua organisasi mensyaratkan perjanjian untuk masuk dalam kelompok, barisan, agama atau komunitas mereka.

Artinya, perjanjian adalah metode umum, metode universal yang merupakan ajaran para nabi yang kita ikuti hingga saat ini tidak terkecuali di HMI. Pertanyaannya adalah adakah kita sudah melaksanakan seluruh ikrar kita sebagaimana yang kita ucapkan dahulu?

Organisasi & Mata Air

Kalau kita merenung sejenak tentang tujuan kita ber-HMI yaitu:

“Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam, dan bertangung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT” (pasal 4 AD HMI).

Dan kalau kita rangkai dengan sumpah (ikrar) yang kita ucapkan selaku pengurus, yaitu:

“Aku bersaksi bahwasannya tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah” “Kami rela Allah Tuhan kami, Islam agama kami dan Muhammad Nabi dan Rasul Allah”.

 Dengan kesadaran dan penuh tanggung jawab, kami Anggota Biasa Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan ini berjanji dan berikrar :

1. Bahwa kami dengan kesungguhan hati bersedia menjadi kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan bersedia aktif dalam setiap kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh Himpunan Mahasiswa Islam HMI)

2. Bahwa kami akan selalu menjaga nama baik Himpunan dengan selalu tunduk dan patuh kepada AD/ART dan pedoman pokok HMI beserta ketentuan – ketentuan lainnya.

3. Bahwa apa yang kami kerjakan dalam mengikuti ini adalah untuk mencapai tujuan HMI dalam rangka mengabdi kepada Allah SWT dan mencapai kesejahteraan umat dan bangsa di dunia dan akhirat.

Sesungguhnya Sholatku, perjuanganku, hidup dan matiku hanya untuk Allah Tuhan seru sekalian alam”.

Apakah sebetulnya, atau sejatinya yang ingin dicapai oleh HMI? Sangatlah jelas dan tegas bahwa HMI sebetulnya ingin melahirkan manusia-manusia unggulan, insan kamil, manusia bijaksana, yang sanggup memikul masalah dan menyelesaikan masalah bangsa bahkan dunia. Kalau Tuhan kita saja adalah Tuhan Semesta Alam, apakah logis jika selama kita menjadi kader kita hanya berharap hidup dari proposal pemberian alumni? Kalau sholat, perjuangan, hidup dan mati kita untuk Tuhan Seru Sekalian Alam, apakah pantas jika selaku kader kita hanya berfikir untuk menyelamatkan pribadi dan keluarga kita sendiri saja?

Kalau kita mampu bersaksi bahwasannya tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah, kemudian kita rela Allah Tuhan kami, Islam agama kami dan Muhammad Nabi dan Rasul Allah, apakah pantas jika kita menjadikan jabatan, harta, dan kesenangan duniawi sebagai Tuhan kita?

Tidak ada misi risalah Muhammad yang utama selain melakukan perubahan akhlak terhadap seluruh umat manusia. Bukankah dari fakta prophetik itu, artinya HMI mestinya menjadi suriteladan baik secara organisasi maupun secara pribadi ditengah-tengah bangsa kita saat ini? Dengan pemahaman yang tidak sekedar nasional (kebangsaan) melainkan juga adalah mondial (semesta alam) bukankah HMI mestinya secara organisasi atau kadernya secara pribadi menjadi pemersatu bagi soal-soal yang muncul ditengah bangsa kita saat ini?

Sebagaimana yang disampaikan Cak Nur tentang Ke-Indonesiaan, bukankah sudah semestinya HMI baik secara organisasi ataupun secara kader pribadi menjadi organisasi dan individu terdepan yang justru tampil menjadi perekat ditengah-tengah menguatnya sentimen kesukuan, keagamaan, identitas yang tengah terjadi saat ini? Dimanakah posisi kita saat ini? apakah kita sebagai penyelesai masalah atau sebagai bahagian dari masalah bangsa kita saat ini?

Doktrin keagamaan HMI jelas sejak awal bukanlah doktrin yang sempit apalagi anarkis. Doktrin keagamaan HMI adalah doktrin keagamaan yang inklusive, menjadi perekat bangsa, merangkul segala perbedaan, bekerjasama dengan elemen-elemen bangsa yang lain, membangun mentalitas bangsa melalui penguatan akhlak yang terpuji. HMI jelas adalah organisasi yang mendedikasikan dirinya justru untuk melahirkan kader-kader terbaik, terbaik dalam iman dan juga perbuatan. Iman kepada Tuhan dan juga berbuat baik terhadap sesama. Menjunjung tinggi hubungan dengan Allah (habluminallah) dan sayang terhadap sesama (hablumminannas).

Mestinya HMI adalah sumber mata air bangsa, yang senantiasa mengalirkan kader-kader terbaiknya untuk membangun bangsa baik membangun badannya maupun membangun jiwanya. Mestinya HMI tidak bergantung kepada siapapun, baik kepada negara apalagi kepada Alumni, sebab seluruh hidup dan matinya sudah diserahkan kepada Allah. Cukuplah Allah menjadi sandaran dan tempat bergantung serta tempat mengabdi satu-satunya, tiada yang lain.

Bila HMI sebagai sumber mata air, maka airnya, kadernya pasti akan dinikmati oleh bangsa Indonesia. Pasti kadernya akan menjadi solusi bagi krisis bangsa ini. Pasti kadernya akan memberi jalan keluar. Pasti kadernya bukan kader karbitan dan apalagi dapat dibeli. Pasti kadernya menjadi Harapan bagi Masyarakat Indonesia, sebagaimana yang diingatkan oleh Jenderal Soedirman.

Namun kini apa daya? HMI asyik terjebak dalam lingkungan kekuasaan dan politik praktis yang menjadi agenda-agenda elit kuasa. HMI terseret pada arus besar kekuasaan. Asyik-masyuk berebut rimah-rimah pembangunan.

Adakah HMI lupa akan jati dirinya sebagai mahasiswa? Mahasiswa jelas saja adalah manusia-manusia yang sedang berproses dan sedang “menjadi”. Bukan, manusia-manusia praktis apalagi praktis politik yang justru mengejar kuasa sejak dari bangku kuliah. Tidak nature-nya mahasiswa berebut kuasa, sebab mahasiswa adalah kader yang “sedang menjadi” belum “menjadi”. Mahasiswa butuh waktu menuju kematangan dirinya, butuh waktu menjadi bijaksana, butuh waktu menjadi tegar akan seluruh godaan duniawi.

Mahasiswa dengan demikian adalah suatu proses purifikasi, sebagai tempat penjernihan, sebagai pihak yang mengingatkan, sebagai pihak pendobrak, sebagai pelopor (avangarde) ketika negara atau pemerintah telah nyata-nyata melenceng dari janjinya kepada rakyat. Mahasiswa adalah kekuataan rakyat yang independen, kekuataan yang terbuka, yang menjadi tumpuan bagi seluruh rakyat Indonesia. Disanalah hendaknya HMI berkibar menjadi lokomotif yang sejati, menyeret gerbong kebaikan bagi seluruh mahasiswa Indonesia.

Karena itu kemandirian adalah hal utama, ketabahan adalah jalan, dan akhlak adalah pakaian yang mestinya melekat dalam diri kader. Tak perlu uluran tangan Pemerintah maupun Alumni untuk menjadi mahasiswa mandiri. Dengan penderitaan mestinya HMI belajar dan bertahan, sehingga setiap kader akan ramah dengan penindasan bahkan kematian, tiada ketakutan apalagi kebingungan. Sekali lagi, mestinya kita adalah mata air bangsa, tempat semua orang dapat merasakan melepas dahaga, dan mereguk kenikmatan karena perbuatan kita yang mulia. Sayang airnya kini keruh, tak ada yang dapat menikmatinya.

Selamat Harlah HMI ke-70. Yakin Usaha Sampai.

 

Penulis: Dadang Darmawan, M.Si
Dosen FISIP USU/Ketum BADKO HMI Sumut 97-99

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.