MEDANHEADLINES – Masyarakat satu dimensi sudah dibahas oleh Herbert Marcuse limapuluh tahun silam (1964). Maknanya, bahwa masyarakat modern, tepatnya masyarakat pasca kapitalisme (kapitalisme lanjut) telah menjadi masyarakat satu dimensi atau satu pemahaman. Praktis tidak ada lagi perbedaan yang mencolok diantara kelas dan atribut yang melekat di tengah masyarakat. Masyarakat sosialis, komunis, liberalis, desa, kota, buruh, majikan semuanya telah tenggelam dan kenyang meminum kolam air kapitalisme yang satu. Dihadapan sistem dan teknologi yang diciptakan kapitalisme lanjut semua niat dan tujuan serta pemahaman manusia di muka bumi ini akhirnya menjadi satu. Dengan air racikan mirip pletok yang diracik barista kapitalisme lanjut, semua manusia ternyata dilahirkan dengan mentalitas yang sama.
Tak ada lagi oposisi yang sejati kata Herbert Marcuse!! Sebab meskipun ada pemberontakan, perlawanan, pertentangan, demonstrasi, semua niat dan motifnya sama saja. Semua pemberontak dan penguasa, buruh dan majikan, oposisi dan pemerintah, penentang dan yang ditentang, pemakar dan yang dimakar semuanya punya motif yang sama yaitu demi kekuasaan, kekayaan dan kejayaan. Semuanya memiliki niat untuk menikmati “surga duniawi” yang demikian menggoda. Pertentangan yang hebat sekalipun, jika diamati secara mendalam ternyata punya motif yang sama, ujungnya adalah kenikmatan harta, tahta dan seksualitas. Praktis tidak ada intsrumen lain yang bekerja semacam ideologi ataupun nilai-nilai luhur atau nilai kemuliaan lainnya. Tampak diluarnya saja ideologis, namun tampak di dalamnya sebetulnya adalah pragmatis dan opportunis.
Di Bawah Lindungan Sistem Totaliter
Manusia tak pernah sadar bahwa mereka terjebak dan terperangkap dalam sistem totaliter. Awalnya manusia sendiri yang menciptakan sistem kehidupannya (menciptakan hukum, aturan, ukuran, nilai). Namun, belakangan sistem yang dia ciptakan tersebut benar-benar hidup dan malah menguasai si penciptanya sendiri. Penindasan antara manusia satu dengan manusia lainnya, peperangan antara negara, perebutan kekuasaan antar partai politik, terorisme, perlombaan senjata adalah ciptaan dari sistem kehidupan yang di ciptakan manusia sendiri. Herbert menjelaskan, tidak ada orang atau kelompok yang benar-benar ingin membahagiakan umat manusia, sebab semua kelompok hanya ingin membahagiakan kelompoknya masing-masing. Semuanya bertindak demi kepentingan masing-masing dan semuanya bergerak atas motif pribadi dan kelompok sendiri.
Tampaknya saja mereka duduk bersatu dan bersama, namun dalam kepala mereka sebetulnya mereka bertentangan satu dengan yang lain. Tampaknya mereka duduk dan makan siang dengan penuh kehangatan, canda dan tawa serta menikmatinya dengan gratis, namun yakinlah pada akhirnya mereka semua akan membayarnya dengan sangat mahal sekali. Semua bahasa tubuh, kesamaan bahasa pergaulan, pakaian, atribut dan simbol dapat saja dicocok dan disamakan, namun kenyataan yang ada di dalam kepala manusia tidak ada yang tahu.
Dalam lindungan sistem totaliter semuanya telah di jaga sedemikian rupa. Selagi gejolak disuatu kelompok, negara atau bahkan suatu kawasan tidak menimbulkan dampak yang mengganggu sistem secara keseluruhan, semuanya akan ditolerir. Namun, ketika suatu gejolak sudah mengganggu sistem secara keseluruhan maka demi sistem segalanya sah untuk ditumpas. Sistem akan bekerja secara otomatis memadamkan semua gejolak dengan menabrak seluruh rambu-rambu dan batas yang ada. Dihadapan sistem kapitalisme lanjut, tidak ada batas (borderless) yang benar-benar dapat membatasi. Semuanya jelas dikontrol habis oleh sistem yang telah bekerja sedemikian rupa.
Sebagai manusia modern yang malang, kita seolah-olah hidup dalam dunia yang benar-benar bebas dengan memiliki banyak pilihan-pilihan di depan mata kita layaknya kita melihat seluruh etalase di pusat-pusat perbelanjaan. Padahal apa yang kita lihat hanyalah pajangan yang benar-benar sudah diatur sehingga apa yang ingin kita pilih sesungguhnya adalah pilihan yang sudah dipilih lebih dahulu. Semuanya seolah bebas dan banyak pilihan namun semua kebebasan itu adalah semu dan palsu belaka. Semuanya tampak bebas, seperti kebebasan pers, kebebasan mengeluarkan pikiran dan pendapat, kebebasan berkumpul, kebebasan memilih dan dipilih, kebebasan berkeyakinan, namun semua itu sudah diatur terlebih dahulu. Semuanya yang seolah bebas itu, benar-benar sudah dirancang dan direncanakan sehingga “aman dikonsumsi”.
Bukankah kita bisa protes, unjuk rasa, demonstrasi, dan menolak sistem kapitalisme ini? Ya tentu saja boleh. Semua demonstrasi, unjuk rasa, protes dan penolakan tentu saja diperbolehkan dan dihalalkan. Namun Marcuse menjelaskan bahwa semua kebebasan kritis itu akan ditoleransi dan diterima sesuai dengan ukurannya yang pada akhirnya akan “dijinakkan” kembali. Selagi semua protes tidak merubah sistem yang berlaku, maka segala sesuatunya bisa disesuaikan. Sehingga realitasnya tidak ada yang benar-benar kritis. Semuanya tentu saja “under control”.
Suasana inilah yang menurut sistem kapitalism adalah suasana toleransi, kesejajaran, kesamaan, bagi seluruh individu dari latar belakang apapun untuk menikmati kebebasannya. Inilah saatnya manusia menembus batas-batas dogma, tabu-tabu, takhyul yang selama ini telah membatasi idealitas manusia yang sejati. Padahal mnurut Marcuse sebetulnya dunia kebebasan yang diciptakan sistem kapitalism itu adalah jerat untuk menindas dan menguasai manusia. Sebab ketika emansipasi sudah dinikmati secara langsung oleh semua individu meski secara terbatas/sebagian diantaranya saja maka ia tidak akan memberontak lagi terhadap sistem secara keseluruhan.
Ketika manusia menikmati kebutuhan parsial/terbatas yang dia tuntut maka dia seketika tidak lagi mempersoalkan sistem secara keseluruhan melainkan menerimanya sebagai suatu kepastian. Intinya kebebasan adalah alat untuk menguasai setiap orang sehingga tunduk pada sistem. Dengan kebebasan manusia lupa apa itu moral, salah, dosa, norma dan sejumlah petatah-petitih keimanan. Iniah yang disebut Marcuse sebagai toleransi represif yaitu toleransi yang menandai masyarakat modern.
Adakah Solusi?
Sebanyak-banyaknya Herbert Marcuse berteori tentang realitas kapitalime lanjut yang luar biasa menyengsarakan manusia hari ini, bahkan akan memusnahkan manusia, ia memberi jalan keluar dengan mengatakan bahwa ilmu dan teknologi tetap masih penting bagi manusia hanya saja kekuasaan seseorang mesti dikurangi sehingga tidak ada lagi kekuasaan yang terkonsentrasi. Kedua, Herbert mengatakan pentingnya mengurangi perkembangan yang berlebihan dimana manusia hendaknya fokus pada kualitas hidup bukan mengejar hal-hal yang bersifat kuantitas dan palsu.
Kepada siapa Herbert menghimbau atau menyampaikan solusinya tersebut? Sampai sekarang tak jelas, selain hanya sebatas pikiran dan dugaan semata saja. Sebab sudah 50 tahun ia memberi solusi (1960), namun yang terjadi hari ini (2016) justru kehidupan masyarakat bertambah suram dan seram. Satu yang pasti, sistem yang diciptakan manusia saat ini ibarat lingkaran setan yang tak memiliki ujung pangkal. Kita jelas tak tau mengakhirinya bagaimana, dan bagaimana pula memulainya kembali? Manusia modern, pasca kapitalisme saat ini, senantiasa berputar-putar terus mencari jalan keluar yang tak pernah diketemukan.
Semakin banyak solusi yang disampaikan oleh seluruh kelompok manusia, sebanyak itu pula masalah manusia bertambah. Semua solusi laksana minyak, semakin digunakan, semakin memperbesar nyala api masalah. Manusia terkurung dalam lingkaran masalah yang diciptakannya sendiri. Manusia satu dimensi jelas, tak punya harapan melihat dimensi yang lain yang lebih nyata dari kenyataan saat ini, dan tak memiliki kemampuan melihat yang absolut dari kenyataan yang dia rasakan saat ini.
Penulis: Dadang Darmawan, M.Si
Dosen FISIP USU