MEDANHEADLINES – Di awal tahun 2017 ini, DPR belum juga menyelesaikan pembahasan RUU Pemilu yang saat ini masih terus dalam perdebatan. Ada beberapa materi bahasan yang cukup alot yang mengundang tegang otot sehingga pembahasan RUU Pemilu ini berlarut. Berbagai pihak percaya betul, bahwa RUU Pemilu yang sedang dibahas diawal tahun 2017 oleh DPR akan meningkatkan kualitas Pemilu tahun 2019 yang akan datang. Setidaknya, peningkatan kualitas Pemilu 2019 akan meningkat.
Pertanyaannya, apakah yang dimaksud berbagai pihak itu dengan Kualitas Pemilu? Apakah kualitas Pemilu terkait dengan proses penyelenggaraan Pemilu yang artinya sangat bergantung dengan KPU? Apakah kualitas Pemilu terkait dengan hasil Pemilu artinya terpilihnya aleg, presiden dan wakil presiden? Atau yang dimaksud dengan kualitas Pemilu itu adalah dampak Pemilu selama lima tahun ke depan (2019-2024).
Sesat Pikir Kualitas Pemilu
Ditengah tekanan terhadap sistem demokrasi dunia, yang kian disangsikan sebagai solusi bagi prosedur politik ummat manusia di planet ini, Pemilu telah menimbulkan sejumlah besar masalah. Setiap lima tahun ritual Pemilu selalu diwarnai kecurangan (saling ambil suara), kelemahan KPU (netralitas dan prosefesionalitas), politik uang, kualitas orang yang mau dipilih, dan tak pernah sepi dari gugatan dan kekecewaan sehingga Pemilu semakin kehilangan daya tariknya bagi amsyarakat.
Sayangnya, begitu jelasnya masalah Pemilu, toh tak dapat juga dilihat secara jelas oleh para pemangku kepentingan di negara kita. Entah tak terlihat atau terlihat namun tak perduli, yang pasti setiap lima tahun sekali DPR selalu melakukan ritual pembahasan Pemilu dengan mengundang semua pakar untuk membicarakan peningkatan kualitas pemilu. Yang diundang dengan pengundang kelihatan sama saja naifnya, hanya menghasilkan produk-produk berupa pasal-pasal “aneh”. Padahal pasal-pasal yang mereka ubah yang katanya hasil dari buah pikiran puncak mereka selama berhari-hari, toh pada akhirnya tak memiliki arti sama sekali malah membuat kegaduhan dan menjadi mimpi buruk.
Sangat jelas kelihatan dimana dunia kita hari ini, berada pada rezim pemikiran prosedural dan norma belaka. Semua orang percaya bahwa kebaikan itu dapat dikawal oleh pasal-pasal yang mereka letakkan di ribuan undang-undang yang mereka hasilkan. Banyak orang gembira bahwa mereka telah menghasilkan undang-undang yang berpihak kepada rakyat. Bahkan ada yang mengatakan bahwa “hukum” yang dibuat manusia adalah puncak peradaban manusia. Kita dengan sadar telah memperosokkan diri kita dalam rezim “hukum”, rezim undang-undang yang menempatkan negara kita sebagai salah satu negara dengan produk hukum yang luar biasa banyak.
Para pakar percaya bahwa keteraturan, ketertiban yang terwujud dimasyarakat hasil dari produk hukum yang mengatur dan menertibkan masyarakat. Benarkah kita tertib dan teratur dan juga sejahtera karena adanya hukum? Apakah hukum (undang-undang) telah menuntun masyarakat ke jalan yang sesuai dengan tuntunan Pancasila? Apakah undang-undang kita telah sesuai dengan nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Kebangsaan, Kebijaksanaan, dan Keadilan?
Aneh, kita lagi-lagi terjebak dalam pemikiran Hobbes (1588-1650) yang usang, yang percaya bahwa negara mesti memaksa ketaatan anggotanya pada aturan. Negara wajib buat tatanan hukum dimana mereka yang tidak taat akan dihukum bila perlu dihukum mati. Hukum akan memberi efek menakutkan bagi yang melanggarnya. Hukum akan memberi dampak ketertiban kepada masyarakat karena mereka takut melawannya. Hukum akan menimbulkan efek jera. Hukum adalah Raja dan mutlak. Hukum yang menentukan tentang apakah sesuatu itu bermoral atau tidak.
Benarkah rezim hukum yang dianut ummat manusia hari ini telah mengantarkan dunia lebih teratur, tertib dan sejahtera? Kenyataannya jelas tidak. Setidaknya kita bisa lihat dari kerusakan yang ditimbulkan oleh perbuatan manusia yang semakin hari semakin “brutal” baik terhadap sesama manusia maupun kepada alam semesta. Artinya, hukum buatan manusia, buah pemikiran mereka yang sebelumnya duduk di DPR karena diduga money politic, yang dipandang sebagai puncak peradaban, jelas adalah suatu bentuk kesesatan berfikir dan sangat menyederhanakan sesuatu.
Ingat, ketika masyarakat hanya tunduk pada peraturan maka pasti masyarakat tersebut adalah masyarakat yang tidak teratur. Mereka yang berbuat baik karena adanya ancaman pada perbuatan jahat sesungguhnya adalah orang jahat. Mereka yang memilih dalam Pemilu karena “ancaman” undang-undang dan ancaman psikologi karena ditakuti “anti negara” sesungguhnya tidak percaya pada Pemilu. Anenhnya, KPU justru “menyenangi” indikator-indikator kuantitatif yang menunjukkan banyaknya orang datang ke TPS sebagai bukti keberhasilan demokrasi. Lebih sesat lagi, dana sosialisasi kemudian ditambah lebih besar hanya untuk “memaksa” pemilih ramai datang ke TPS. Logika kuantitaif tentu sangat sederhana. Yang penting banyak pemilih, itulah kualitas! Waw luar biasa.
Kehilangan ETIKA
Hari ini kita kehilangan manusia yang sadar akan dirinya sendiri. Kita hari ini kehilangan diri kita sendiri. Manusia asyik hidup terasing dari dirinya, tidak mengenal dirinya sendiri bahkan tanpa sadar telah “memperkosa” dan “memperbudak” dirinya sendiri. Manusia pun sudah banyak yang yakin, bahwa hukum yang mereka hasilkan hanyalah produk politik, produk kepentingan, hasil gontok-gontokan, dengan beribu motif pribadi dibaliknya, namun lagi-lagi mereka tak mampu menolak “keinginan intrinsik” dalam diri mereka. Huston Smith mengatakan manusia dan masyarakat modern dengan pandangan hidupnya saat ini sedang menghadapi masalah yang teramat pelik
Masyarakat modern selama ini mengira bahwa pikiran yang mereka miliki dapat memberikan satu pandangan utuh tentang dunia, dapat mengeluarkan mereka dari masalah, dapat membawa mereka pada suatu tingkat kehormatan dan kemuliaan yang tinggi. Tapi sayangnya pemikiran manusia itu cuma mampu memperlihatkan dunia yang setengah-setengah (potongan dunia yang yang hanya bersifat fisikal, bisa dikalkulasi, diuji, dan bisa dikuasai). Potongan dunia itu bahkan tidak bisa digambarkan dan tidak bisa divisualisasikan. Jadi pemikiran manusia hanya bisa mengetengahkan serpihan-serpihan dunia.
Manusia hanya berfikir dengan segudang motif pribadinya belaka tanpa memikirkan manusia lainnya. Ia mengkalkulasi sejauh yang ia kalkulasikan menguntungkan dirinya sendiri. Mereka sepakat membuat hukum sejauh hukum itu mendatang laba yang berlimpah bagi dirinya. Manusia bersandar pada ego pribadi yang tak terjelaskan.
Thomas Aquinas jauh hari mengingatkan bahwa meski era Nabi/Rasul sudah lewat namun etika-moral adalah mutlak melekat dalam kekuasaan manusia. Kodrat mahluk adalah cerminan sesuai kehendak yang menciptakannya. Kodrat manusia mestilah disesuaikan dengan kehendak Tuhan. Setiap mahluk dengan begitu tumbuh kembang bergerak menurut hukum Tuhan atau hukum alam. Bukankah semua mahluk yang tak terhitung jumlahnya ini bergerak atas hukum alam yang sudah ditetapkan? Apakah kita tidak berfikir jika peredaran seluruh benda-benda di jagad semesta yang teratur tanpa ada yang mengaturnya? Anehnya mengapa hanya manusia yang menolak bergerak sesuai dengan hukum alam? Mengapa hanya manusia yang “terlalu pandai” percaya dengan hukum buatannya sendiri tanpa mendasarkan pada sila-sila yang ada dalam Pancasila?
Thomas Aquinas menyadari bahwa semua kejahatan bisa dilakukan manusia karena sesungguhnya manusia memiliki kehendak bebas (free will). Manusia sangat percaya diri bahwa dengan memiliki kehendak bebas (free will) itu manusia dapat menentukan sendiri bagaimana ia mau bertindak. Namun meski manusia punya kebebasan sendiri, ia tetap mesti hidup sesuai dengan kodratnya. Hukum kodrat (lex naturalis) itulah dasar semua tuntutan moral. Jadi moral manusia itu mesti berdasarkan kehendak Tuhan dan sifatnya rasional. Sebab ketika manusia melakukan kehendak Tuhan (perintah dan larangan-Nya) maka manusia pasti akan mencapai puncak martabatnya dan mencapai puncak kebahagiaannya. Perintah dan larangan Tuhan pasti akan menjauhkan manusia bertindak merusak.
Dalam masyarakat sadar atau tidak telah terbentuk suatu sistem pergaulan yang mengatur tatalaku, tatakrama, sopan santun diantara anggota masyarakat. Sistem pergaulan tersebut di dasari atas nilai-nilai luhur yang telah ada yang diwariskan oleh para para leluhur secara turun temurun. Nilai-nilai luhur itu diperoleh para leluhur kita hasil dari hubungan mereka dengan alam semesta sekaligus hasil hubungan mereka dengan pemilik alam semesta itu sendiri (Tuhan).
Alamlah yang sesungguhnya mengajarkan kepada mereka apa sesungguhnya yang dikatakan baik dan apa saja yang dikatakan buruk, yang pada gilirannya membentuk perilaku diantara mereka sebagai suatu kesepakatan. Perilaku inilah yang kita sebut sebagai adat-istiadat, atau tata cara hidup masyarakat, dimana di dalamnya termasuk watak kesusilaan (adat kebiasaan) yang sering kita sebut etika. Secara sederhana etika dapat kita sebut sebagai tata pergaulan yang mengatur sikap-perilaku suatu kelompok masyarakat.
Dalam bukunya An Introduction to Ethics, W. Lilie memberi definisi “etika” sebagai ilmu pengetahuan normatif mengenai kelakuan manusia dalam kehidupannya di masyarakat. Etika merupakan sesuatu yang berada dalam diri manusia atau sekelompok yang diyakini benar, bersumber dari pengetahuan, pengalaman dan kebiasaan manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, etika merupakan landasan atau alasan seseorang untuk melakukan sesuatu, berupa sebuah “peraturan” yang mengikat namun tidak sekuat hukum karena tidak memiliki sanksi tegas dan beberapa hanya bersifat tertulis.
Jadi intinya, sudah semestinya kita membangun etika sosial terlebih dahulu, bukan membangun sistem hukum, atau memperbanyak peraturan atau mengutak-atik peraturan. Masyarakat yang beretika sudah pasti tidak akan melanggar hukum. Sebaliknya banyak orang tak beretika namun tidak dapat dihukum. Sebab hari ini standar moral masyarakat “dipaksa” jatuh pada level hukum bukan pada level etika. Kehidupan masyarakat yang diatur oleh sistem hukum adalah sebagai kehidupan masyarakat yang terendah.
Dan etika tentu saja tidak dapat dilahirkan dari pembahasan di gedung DPR setiap lima tahun sekali. Etika bukan “dijadikan” melainkan “terjadi”. Etika bukan ancaman melainkan kesadaran. Kita butuh masyarakat yang “sadar” bukan masyarakat yang “terancam”. Sebaik apapun sistem (aturan) dihasilkan semuanya sangat tergantung oleh manusia yang memiliki etika. Tanpa manusia beretika semua kebaikan akan berubah menjadi kejahatan.
Penulis : Dadang Dermawan
Dosen Fisip USU