MEDANHEADLINES – Satu hari seorang bijak bestari dari negeri antah berantah, bertanya lewat sms, “wahai tuan, andainya situasi kita ini bagaikan kapal kertas yang berisi muatan kapas yang sedang berlayar di samudera lautan api, masihkah ada doa atau mantera yang bisa menyelamatkannya?”.
Jika pertanyaan itu benar-benar mampir kepada kita, apakah jawaban yang akan kita beri? Adakah suasana itu benar-benar mungkin akan terjadi? Kalau pun suasana aslinya tak mungkin terjadi, apakah suasana perumpamaannya akan dapat kita rasakan di dunia nyata ini? Apakah masih ada lagi harapan dalam suasana yang demikian? Atau apakah itu penggambaran situasi yang terkunci, tanpa solusi, sama-sekali tak ada jalan keluar selain pasrah di terkam lautan api?
Lukisan Akhir Zaman
Lautan Api yang terkenal dalam sejarah kita adalah peristiwa Bandung Lautan Api (BLA). Situasi dimana para pejuang kemerdekaan saat melawan penjajah kala itu tak punya pilihan selain menjadikan Bandung menjadi Lautan Api. Mereka lebih memilih menyingkir dan membakar Kota Bandung ketimbang menyerah dan memberikan Kota secara cuma-cuma kepada penjajah. Lautan Api jelas menggambarkan suatu peristiwa yang dramatik dan penuh dengan kengerian di dalamnya. Meski sama-sama ada kata-kata lautan api namun maknanya berbeda dengan yang dimaksud oleh pertanyaan bijak bestari di atas.
Para orang bijak bestari menerangkan peristiwa Lautan Api adalah semata untuk menggambarkan cerita atau kondisi kehidupan manusia di akhir zaman. Situasi yang mungkin saja akan menimpa siapa saja yang kebetulan hidup dan menikmati suasana akhir zaman.
Lukisan akhir zaman memang mengerikan. Orang bijak bestari sejak ratusan silam sudah mengingatkan dimana suasana akhir zaman akan penuh dengan derita, kesengsaraan, peperangan antar manusia melawan manusia, suasana yang tak terprediksi dan semua orang berlarian kesana kemari.
Aristoteles, Plato yang hidup 2500 tahun yang silam pun juga memprediksi suasana akhir zaman. Keduanya memperkirkan bahwa masa akhir zaman adalah saat manusia mengagungkan demokrasi (pemerintahan orang banyak) dalam kehidupannya. Dimana masyarakat yang pada awalnya bertindak berdasar konstitusi lama-kelamaan akan berubah menjadi anarkhi yang kemudian berakhir dengan kegagalan dan kegaduhan.
Para peramal Nusantara seperti Prabu Joyoboyo juga memprediksi akan munculnya zaman akhir (kali sangsara) yang berlangsung selama 700 tahun. Prabu Joyoboyo membagi zaman dalam tiga kategori yaitu zaman permulaan (kali-swara), zaman pertengahan (kali-yoga) dan zaman akhir (kali-sangsara). Kemudian zaman akhir (kali-sangsara) terdiri dari tujuh zaman yaitu kala-jangga (1610-1709), kala-sakti (1710-1809), kala-jaya (1810-1909), kala-bendu/angkara murka (1910-2009), kala-suba/zaman kemuliaan/zaman suka cita (2010-2109), kala-sumbaga/zaman kasohor (2110-2209) dan kala-surasa/zaman alus (2210-2309).
Lukisan zaman akhir dalam tradisi jawa yang dipengaruhi oleh tulisan-tulisan kosmologi Sansekerta juga menyebut adanya kondisi zaman akhir yang berupa zaman kehancuran. Tradisi Jawa Kuno memandang sejarah sebagai daur zaman/era (yuga), yang bergerak dari zaman keemasan (krtayuga) kemudian bergerak memasuki zaman yang tak menggembirakan (tretayuga/dyaparayuga) dan berakhir dengan zaman kehancuran (kaliyuga), sebelum roda zaman berputar kembali ke Kratyuga yang telah mengalami pembaharuan (Anderson, 1990:73).
Beratnya kondisi akhir zaman tentu saja membuat banyak orang lari menghindar dan tak ingin berada di dalamnya. Namun setiap upaya melarikan diri sebetulnya adalah kesia-siaan. Sebab akhir zaman adalah pasti, sehingga tak ada tempat yang benar-benar aman untuk menghindarinya. Manusia dengan segala tingkah polanya pasti akan bertemu akhir zaman, cepat atau lambat. Namun Prabu Jayabaya tetap mengingatkan bahwa zaman kalasuba/zaman kemuliaan tetap akan tiba dan menghampiri Nusantara meski kita juga dipastikan tetap menerima zaman kalabendu.
Mengapa Api?
Lautan api adalah bahasa perumpamaan. Bahasa yang penuh hikmah dan sarat dengan makna yang tinggi. Bahasa yang hanya bermakna ketika kita bisa menembus untaian kata-kata dipermukaannya. Suatu kemampuan yang kini hampir tak pernah lagi kita asah dalam kehidupan kita.
Para penyair selalu menggunakan api, untuk menyebut suasana yang penuh kegaduhan, saling sikut, saling bantah, dan untuk segala hal yang berbentuk sumpah serapah. Api adalah perlambang amarah yang meluap-luap, perlambang keganasan dan sifat-sifat angkara murka maupun perlambang gejolak yang meletup-letup. Fungsinya apalagi kalau bukan untuk membakar atau memanaskan situasi. Kita selalu menggunakan istilah api asmara, api amarah, semangat yang berapi-api, lautan api amarah, dan lainnya.
Para philosof meramalkan bahwa akhir zaman adalah zaman yang penuh dengan ketidak pastian dan huru hara. Manusia ‘senang’ berkonflik satu dengan yang lain, manusia cenderung membawa ‘api’ ketimbang ‘air’, manusia cenderung datang dengan amarah ketimbang kedamaian. Dimana-mana tiba-tiba menjadi sumber api, tidak hanya di rumah tangga, disekolah, di lingkungan, ditempat nongkrong, di kecamatan maupun di perkotaan atau bahkan di negara sekalipun. Api ada dimana-mana.
Manusia pada akhir zaman seolah seperti rumput kering. Semua nilai-nilai luhur yang penuh dengan kemuliaan dan kedamaian serta persaudaraan lambat laun tak lagi tumbuh dan kembang melainkan mulai layu dan mengering. Sebab air kehidupan yang murni yang biasanya turun dari langit, hari itu tak lagi turun membasahi tanaman di bumi. Rumput-rumput kering dan dedaunan yang kering mudah terbakar disulut api. Hanya perlu sedikit gesekan semua rerantingan dan pepohonan yang kering akan terbakar. Jika sudah terbakar, panasnya akan cepat menjelar dan akan membakar pepohonan yang lain.
Jika semua dengan mudah tersulut api maka para bijak bestari mengingatkan, bahwa itu semua sebagai pertanda bahwa kita telah sampai di lautan api. Adakah lautan api yang kita sedang arungi dengan kapal kertas bermuatan kapas, akan luput dari amukannya? Tak ada yang luput dari amukan lautan api kecuali itu hanya mimpi. Namun orang bijak berkata, “hanya orang tertidur yang bermimpi!!, kita tidak tidur, malah kita terjaga, yang ada pada kita bukan mimpi melainkan impian !!, ingatnya”. Karena itu harapnya, “hidupkanlah impian sejak dini, semoga Tuhan Yang Kuasa menolong kita semua”.
Penulis : Dadang dermawan
Dosen Fisip USU