MEDANHEADLINES – Hanya dalam hitungan hari seluruh umat manusia akan kembali menukar kalendernya. Semua perencanaan selama satu tahun (2016) harus sudah diselesaikan, dievaluasi dan diproyeksikan kembali. Suka atau tidak, keberhasilan atau bahkan kegagalan telah menjadi sejarah yang tak mungkin lagi ditarik kebelakang. Hukum besi waktu berjalan tegas, dia akan melindas segalanya terutama mereka yang telah menyia-nyiakan waktunya untuk berbuat kerusakan. Alam Semestalah sebagai pengadil dan penilai objektif terhadap seluruh kerja-kerja manusia di muka bumi ini.
Manusia bisa saja membuat laporan akhir tahun yang samar dan mengelabui manusia lainnya. Namun dihadapan alam semua perbuatan buruk kita adalah nyata bukti dan faktanya dan direkam dengan sempurna. Perang yang tak berkesudahan, perusakan mental-moral manusia, tindak kriminal, pembalakan hutan, meracuni tanah dengan zat-zat kimia, meracuni udara dengan polusi industri, menggoda manusia dengan iklan-iklan kebutuhan palsu manusia, peningkatan persaingan antar para pemodal yang paling sengit hingga yang terakhir-akhir ini meningkatnya perang sekaligus kejahatan dunia maya (siber), peracunan pikiran umat manusia dengan berita-berita bohong, kebijakan-kebijakan pemerintah semesta yang jelas merugikan rakyatnya, serta perang semesta global dalam rangka memperebutkan sumber-sumber daya alam dan sumber-sumber daya hayati antar negara yang sangat sengit adalah fakta objektif yang kepedihannya telah dirasakan oleh alam sendiri dan telah dicatat dengan baik.
Adalah fakta, jika dipenghujung tahun 2016 seolah dunia dijejali oleh konflik yang semakin memuncak sebagai wujud kontradiksi manusia dengan dasamukanya. Perang Suriah, perang Yaman, penembakan duta besar Rusia, ancaman perang dunia ketiga dari Rusia dan Eropa, perang ekonomi global China dan Amerika, terpilihnya Presiden Trump yang ‘aneh’, konflik berbagai kawasan yang tak kunjung usai, hingga kondisi di dalam negeri kita sendiri yang juga cukup mengkhawatirkan seolah menjadi tanda zaman akan beratnya tahun 2017.
Sudah menjadi hukum sosial jika negara maju dan super power wajib mengamankan dan meproteksi masyarakatnya dari berbagai konflik dan kesengsaraan. Dan mereka ramai-ramai akan mengekspor konflik dan perang ke negara-negara lemah namun kaya sumber daya alam.
Semua orang tahu masa depan umat manusia ditentukan oleh cadangan sumber daya alam dan hayati yang kian langka. Jelas, perebutan diseputar dua permata itu menjadi tak terelakkan. Negara-negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah tentu saja akan menjadi arena persaingan yang potensial di masa depan.
Benarlah ramalan para pemikir ratusan tahun silam bahwa kita berada pada lintasan sejarah hasil kontradiksi kekuatan-kekuatan sosial yang saling bersaingan satu dengan yang lain, saling menebas, dan saling menggantikan. Dan semua dasar konflik manusia dituntun oleh faktor-faktor ekonomi semata. Dengan hujan konflik, manusia tentu saja akan segera memasuki era kesengsaraan yang intens dengan skala kerusakan yang lebih luas.
Adakah harapan umat manusia akan lebih baik di tahun 2017?
Satu yang pasti tahun 2017 adalah ketidak pastian. Kita akan masuk 2017 tanpa pernah tahu apa yang akan terjadi kelak. Kalaupun ada yang pasti, yang pasti itu adalah segudang masalah yang mangkrak tahun ini dimana beberapa diantaranya mungkin saja diramalkan akan meledak tahun 2017. Setidaknya Putin sudah bersumpah akan memberikan pembalasan yang setimpal bagi pembunuh duta besar Rusia di Turki. Tidak ketingalan sejumlah agenda krusial di dalam negeri juga akan dihelat mulai dari putusan sidang Ahok, pilkada serentak, dan tentu saja ketidak pastian perekonomian global yang semakin tidak global, kebijakan tentang sumber daya alam, yang tentu akan mempengaruhi Indonesia.
Apakah 2017 sudah pasti suram? Tidak juga. Kita bisa saja memasuki dunia yang gemilang 2017 yang penuh dengan sukacita dan kebahagiaan. Namun sukacita dan kebahagiaan tidak turun tiba-tiba dari langit. Melainkan suatu dampak dari seluruh perjuangan manusia untuk mengamputasi pikiran dan tangan-tangan jahatnya. Kebahagiaan adalah dampak dimana manusia justru berlomba-lomba berbuat kebajikan.
Namun semuanya hanyalah perkiraan semata. Semuanya tentu saja dapat kita baca dari tanda-tanda alam sekaligus terhadap tanda-tanda zaman. Dari tanda alam dan zaman-lah manusia mampu memprediksi apa yang terjadi di masa depan.
Indonesia 2016
Sepanjang tahun 2016 menandai dua tahun pemerintahan Jokowi-JK, Indonesia seperti pengamatan banyak pengamat belum beranjak dari berbagai masalah yang menderanya. Indonesia masih saja tak beranjak dirundung masalah baik yang datang dari luar (intervensi asing di berbagai bidang) maupun dari dalam berupa masalah ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya serta pertahanan dan keamanan. Mungkin yang menggembirakan kita, nasib buruk ini tidak hanya menimpa negara kita semata tapi juga negara lain di dunia bahkan ada yang lebih parah seperti masyarakat Suriah yang terlibat perang tak berkesudahan. Setidaknya kita tidak sendiri dalam menghadapi masalah ini.
Laporan akhir tahun (2016) dari berbagai pengamatan yang dapat kita kemukakan memperlihatkan terdapat sejumlah masalah yang mesti mendapat perhatian serius di tahun depan berkaca dari apa yang terjadi tahun 2016 ini, seperti masalah ideologi-mentalitas, politik, ekonomi, perkotaan, kedaerahan, sosial-budaya (dikbud), keolah-ragaan dan pengaruh perkembangan dunia. Setidaknya dari laporan pandangan mata mass media yang kita terima sepanjang tahun 2016 ini memperlihatkan bahwa optimisme pemerintah begitu juga kita semua pada awal tahun kemarin kenyataan belum menunjukkan hasil yang positif. Beberapa indikator buruk tahun 2016 sepertinya masih berlanjut tahun 2017 ini seperti masalah ideologi-kebangsaan, ketimpangan, kedaerahan, maupun pengaruh ekonomi-politik global.
Ideologi & Kebudayaan
Terlepas dari banyaknya pekerjaan rumah manusia yang belum selesai hari ini, semuanya tak luput dari ditinggalkannya nilai-nilai budaya luhur yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Nietzsche mengatakan pada zaman modern inilah manusia dengan sengaja telah meninggalkan Tuhan, melupakannya atau bahkan membunuhnya dari dalam jiwanya. Kondisi tanpa tuntunan dari Sang Pemilik Alam Semesta inilah yang mengantarkan umat manusia hari ini memasuki era-kesunyian yang tak terperikan. Manusia telah terasing dari dirinya sendiri, kesepian dan sendiri, manusia berada ditengah ketiadaan (nihilisme).
Setidaknya hal itu terungkap dalam berbagai solusi terhadap persoalan yang melanda kita hari ini. Kita tak pernah menarik masalahnya sampai ke akarnya. Kita tak pernah sibuk mewacanakan dan mendiskusikan apalagi mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila sebagai jalan keluar. Kita justru terlalu disibukkan oleh penyelesaian politik, hukum, dan ekonomi yang selalu menjejali pikiran kita. Kesadaran kita adalah kesadaran persaingan, kesadaran perang, kesadaran perebutan terhadap sumber-sumber daya yang ada, padahal itu semua milik kita bersama. Sadar atau tidak kita menjadi manusia-manusia hipokrit, tak bertanggungjawab, tukang menggerutu dan penuh dengan kerakusan sebagaimana yang dikatakan Muchtar Loebis 40 tahun silam.
Aneh kan, kita hidup pada satu atmosfer, satu periuk nasi, satu nilai luhur, satu bangsa dan satu pergaulan keseharian namun kita penuh dengan kecurigaan, ketersinggungan, dendam, dan perang satu dengan yang lain. Namun menjadi tidak aneh kalau kita paham akan tanda zaman. Orang bijak bestari mengatakan, modernisasi yang ditanam lima ratus tahun yang lalu yang sekarang menjelma menjadi abad-informatif adalah suatu babakan dimana manusia telah meng-agungkan rasionya. Rasio manusia itu di-imani sebagai suatu kehendak bebas, individual, dan setara yang menjadikan manusia sebagai pusat semesta dan mampu memenuhi kebutuhannya sendiri.
Dengan ‘iman’ itulah manusia kemudian menjelajah alam semesta bahkan menjajahnya bahkan menjajah manusia lainnya hanya untuk mendapatkan kebahagiaan pribadinya. Inilah sumber dari segala sumber masalah hari ini. Manusia dengan enteng memberangus seluruh tatanan sosial (komunitas) yang mandasari kekeluargaan dan persaudaraan sebagai pondasinya. Sebagai gantinya manusia menciptakan sistem tatanan sosial baru yang lebih mudah, dengan ikatan kontraktual atau kepentingan yang longgar. Manusia kini masuk pada jebakan yang dia ciptakan sendiri dan sedang menuai dari apa yang ditanamnya sendiri.
Kesadaran inilah yang penting untuk kita munculkan dalam kehidupan kebangsaan kita untuk menarik solusi yang lebih fundamental dari sekedar bongkar pasang aturan atau sistem (politik/ekonomi) yang tidak akan pernah selesai. Sudah tujuh puluh satu tahun bongkar pasang aturan, nyata-nyata tak membuahkan hasil sedikitpun. Malah kerusakan alam dan moral manusia Indonesia semakin menjadi-jadi. Kita tak bisa mencari solusi yang kokoh selain dengan kembali kepada nilai-nilai dasar yang kita miliki. Adalah sia-sia kita memiliki Pancasila jika semua nilainya kita kangkangi dan kibuli demi memuaskan kepentingan pribadi, kelompok dan lainnya.
Apakah mungkin kita bicara tentang nilai-nilai luhur Pancasila sebagai solusi tahun 2017 yang akan datang? Kalau melihat dari dosis kapitalisme yang sudah kita telan, rasanya tidak mungkin. Sebab dunia citra kapitalisme masih belum hilang juga dalam kesadaran kita. Mabuk duniawinya masih terasa hingga kini….Namun, kalau melihat nilai-nilai luhur yang sudah berurat berakar di tubuh Nusantara kita ini, rasanya harapan masih selalu terbuka bagi kita semua untuk berjuang dengan kemuliaan di masa depan.