Darurat Ke-Indonesiaan

MEDANHEADLINES – Apakah darurat ke-Indonesiaan itu? Istilah ini muncul saat para Antropolog berkumpul di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM (16/12/2016) untuk menganalisis perkembangan situasi sosial terkini dan hasilnya menyatakan bahwa hari ini Indonesia masuk situasi “Darurat Ke-Indonesiaan”.

Tidak dipungkiri bahwa perbedaan agama, ras, etnis, gender, kepercayaan, keyakinan, kelas sosial, dan sudut pandang adalah realitas sosial masyarakat Indonesia. Sifatnya adalah karunia Ilahi, tak dapat ditolak dan sudah semestinya mendapat tempat dan dilindungi oleh konstitusi. Namun peristiwa belakangan ini menurut para Antropolog, telah memperlihatkan dengan jelas adanya kelompok-kelompok yang mempertajam perbedaan dengan melakukan politik identitas sehingga nilai keindonesiaan menjadi kian tergerus. Bahkan saat ini media sosial juga telah dimanfaatkan untuk menyerang saudara sendiri, menyebar kebencian secara beringas, tanpa etika dan keadaban, jelas-jelas telah menyalahgunakan fungsinya yang mestinya dapat dipakai untuk menggali ilmu pengetahuan yang mencerdaskan bangsa Indonesia (Meutia Swasono).

Berdasar situasi itu para Antropolog menolak segala bentuk kekerasan dan pemaksaan, penyerangan, serta pembungkaman terhadap kelompok agama, ras, etnis, gender, kepercayaan, keyakinan, kelas sosial, atau sudut pandang yang berbeda. Dan, meminta pemerintah, khususnya Panglima TNI dan Kapolri, untuk menegakkan hukum secara adil dan independen, yang tidak terpengaruh oleh tekanan kelompok tertentu (beritasatu.com16/12).

Melihat Akar Masalah

Tidak kita pungkiri saat ini identitas agama kelihatan begitu menguat ditengah masyarakat. Tandanya adalah munculnya gerakan aksi umat Islam besar-besaran dalam ABI-123 baru-baru ini (2/12/2016) di Jakarta yang melibatkan partisipan dari seluruh Indonesia. Plus, diikuti dengan perang status yang menonjolkan identitas di berbagai media sosial. Apa yang dirasakan oleh para Antropolog jelas juga mewakili banyak perasaan masyarakat lainnya.

Namun membaca identitas kelompok dari apa yang kita saksikan pada ABI-123 maupun ekspresinya di media sosial amatlah sederhana atau terkesan menyederhanakan. Sebab identitas kelompok tidaklah muncul secara tiba-tiba melainkan pasti melalui prakondisi yang sebelumnya sudah berlangsung apakah disadari atau tidak.

Kalau mau jujur, sejak merdeka kita sebetulnya belum pernah membangun ke-Indonesiaan kita secara serius. Artinya, rentang usia 71 tahun kemerdekaan yang kita peroleh lebih banyak kita sibukkan dengan mengatasi konflik ideologi pada awal-awal pemerintahan Bung Karno, kemudian masuk rezim orde baru Soeharto yang militeristik dan Pasac orde baru hingga saat ini, kita masih berkutat pada tekanan politik global baik ideologi, politik dan ekonomi yang memaksa Indonesia justru menanggalkan nilai-nilai luhurnya sendiri.

Mungkin penting kita melongok 16 tahun yang silam tepatnya ketika kita memasuki era-desentralisasi yang di helat melalui keluarnya undang-undang otonomi daerah (otda) 1999. Sejak rejim otda digulirkan maka identitas kelompok (kesamaan daerah, agama, suku, warna kulit, bahasa) menyeruak ditengah-tengah masyarakat. Semuanya tidak lain bermuara pada euforia kebebasan yang dihembuskan oleh otonomi daerah. Sebab otonomi daerah ternyata disenangi dan disambut oleh elite daerah karena dua hal saja yaitu adanya Pilkada sehingga semua elite bisa bersaing menjadi kepala daerah, dan adanya peluang membentuk daerah otonomi baru (DOB).

Otda tanpa kita sadari telah memberikan ruang yang seluasnya kepada siapapun aktor daerah untuk ikut bertarung memperebutkan kekuasaan daerah. Masyarakat terutama elite daerah berbondong-bondong menyambut Pemilihan Kepala Daerah. Bagi para elite otda secara perlahan hanya dimaknai oleh dua harapan saja yaitu harapan untuk ikut Pilkada (demokrasi lokal). Pilkada langsung telah menjadi menu utama kesukaan para elite lokal daerah.

Pilkada berbagai daerah (juga Pilkada DKI) sejak rejim otda mestinya dapat dilihat dalam suasana Politik Lokal yang kebablasan itu. Disebut kebablasan, karena politik selalu dihelat hanya untuk tujuan politik belaka. Politik untuk politik. Politik tak berhubungan dengan pembangunan budaya. Politik sengaja dijauhkan dari nilai-nilai luhur dan nilai-nilai budaya yang mestinya menjadi sumber nilai dalam konteks politik. Akibatnya tidak ada pendidikan politik yang bersumber dari nilai-budaya, sehingga tidak ada politik yang berbudaya. Justru yang terjadi elite politik selalu melakukan pembodohan, pembiusan politik melalui pencitraan, politik uang dan pemanfaatan birokrasi untuk mendulang suara rakyat. Pilkada yang penuh dengan “kegelapan” justru dinikmati oleh para elite, namun sebaliknya ditangisi rakyat.

Hasil penelitian Vedi Hadiz jelas membuktikan bahwa otda tidak menghasilkan politik yang beradab seperti yang dinginkan. Otonomi daerah justru merangsang merajalelanya politik uang dan juga eksploitasi terhadap simbol-simbol identitas etnis, agama serta kekerasan bahkan premanisme. Bahkan sentimen-sentimen identitas itu kerap meletup dengan cara-cara kekerasan. Jadi otda semakin memperkuat identitas kelompok yang berpengaruh pada politik identitas lokal.

Politik Identitas & Luka Jiwa

Selama rejim otda maka selama itu pula politik identitas digunakan dengan memanfaatkan identitas-identitas kelompok yang ada. Tidak kita pungkiri Perguruan Tinggi setidaknya melalui oknumnya kerap terlibat dalam mengoperasikan teori dan konsep identitas dalam upaya memenangkan suatu calon atau setidaknya memberi saran dan pendapat. Hampir semua teori pemenangan para konsultan selalu menempatkan politik identitas pada analisis teratas dalam rangka membangun strategi dan program calon.

Apa yang terjadi? Ya jelas, pemilih didekati berdasarkan alasan-alasan kesamaan identitas. Afiliasi politik identitas menjadi peluang dalam menghubungkan calon dengan pemilih. Bahkan para tokoh adat, agama, tokoh masyarakat justru didandani dan difasilitasi sesuai dengan identitasnya sebagai upaya mendulang suara. Akibatnya identitas kelompok bukan malah hilang tetapi justru semakin kuat.

Para elite politik daerah justru memperkuat sentimen identitas tersebut sampai ke level yang tertinggi. Penggunaan ketokohan pemuka agama dan adat, simbol-simbol etnis dan agama, dan idiom-idiom agama dan adat memang disengaja untuk mendapatkan dukungan suara. Identitas justru diperkenalkan (diintrodusir), ditanamkan, dan disadarkan dalam kesadaran pemilih agar mereka memilih sesuai dengan identitas mereka masing-masing.

Sehingga sejak rezim otda/pilkada orientasi politik daerah dan kehidupan sosial di daerah dilingkupi oleh identitas kelompok. Padahal ada dampak lanjutannya yang sangat negatif dan buruk yang luput dari perhatian.

Suatu kelompok yang kalah dalam Pilkada ataupun yang menang lantas memaknainya sebagai kemenangan identitas. Kalau menang, itu disyukuri sebagai kemenangan identitas. Sementara  kalau kalah, itu dimaknai sebagai kekalahan identitas. Kalau calon Islam kalah ya itu artinya agama Islam kalah dan artinya Islam sedang tertindas. Kalau calon suku kalah dengan pendatang ya itu artinya suku asli sedang ditindas oleh suku pendatang. Kalau orang Jakarta menang ya itu artinya sudah terjadi penjajahan oleh Jakarta terhadap daerah. Dan seterusnya…

Bagi yang menang akan semakin percaya akan kekuataan politik identitas. Sementara bagi yang kalah akan mengutuki yang menang sebab kekalahan tidak lagi dimaknai sebagai kekalahan politik yang adil melainkan kekalahan identitas. Jangan katakan Pilkada menciptakan ketertiban dan kedamaian. Pilkada justru menghasilkan dendam secara identitas. Kesakitannya tak mudah hilang bahkan akan terbawa terus sebab menjadi aib yang tak bisa diterima.

Jadi, desentralisasi, demokrasi, dan hilangnya nilai Pancasila menjadi fungsi-fungsi yang bekerja dalam politik identitas kita. Artinya, kita sedang menuai  dari apa yang sudah kita mulai atau kita tanam sebelumnya. Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 yang mengantarkan Jokowi/Ahok sebagai Gubernur & Wagub DKI, dapat kita baca pada tataran politik identitas yang sedang bekerja di DKI. Meski kemenangan Jokowi-Ahok adalah hal yang biasa dan lumrah pada peristiwa Pilkada namun tidak demikian dalam identitas. Kekalahan akan menimbulkan bekas dan luka yang mendalam sebab politik pilkada telah “bersenyawa aktif” dengan identitas kelompok yang kental.

Artinya identitas kelompok tidak serta-merta muncul pada saat aksi ABI-123 yang lalu, ataupun terekspresikan pada dinding medsos saat ini. Akan tetapi pra-kondisinya sudah dimulai sejak masa era-reformasi di helat atau bahkan lebih jauh sebelumnya. Kita sebetulnya sedang menikmati buah dari pohon yang kita tanam sebelumnya. Karena itu, tak perlulah kita menangisi mekarnya identitas kelompok dalam kehidupan kebangsaan kita saat ini, sebab itu adalah hasil karya cipta kita sendiri.

Terlebih kalau mau dirujuk kebelakang, pelemahan terhadap seluruh institusi sosial di seluruh dunia adalah tujuan dari rejim modernisasi global. Artinya hilangnya identitas kebangsaan dialami oleh seluruh bangsa-bangsa di dunia (ternyata banyak kawan kita yang bernasib sama). Saat ini manusia dikuasai oleh kapitalisme global dengan seperangkat nilainya yang menjadi dominan mengatasi budaya-budaya lainnya.

Penutup

Apakah bisa kita menghilangkan identitas kelompok atau mengintegrasikan nilai-nilai kita bersama dengan buat acara kumpul-kumpul, buat statemen, buat nyanyian, buat aksi serupa atau buat-buat-buat-buat acara seremonial ? Tentu saja tidak !

Menjadi Indonesia itu kata Ki Hadjar Dewantara bukan kerjaan semalam, dua malam, setahun dua tahun, atau bahkan sepuluh tahun. Kita tak bisa protes-protes selama sepuluh tahun, lalu terbentuk ke-Indonesiaan. Menjadi Indonesia mestinya kita mulai dengan mempersatukan rakyat dari segala kepulauan. Artinya, ‘kebudayaan Indonesia’ belum ada, belum bisa ada. Kebudayaan itu tidak bisa dibuat, akan tetapi terjadi, terjadinya tidak tergesa-gesa atau sekonyong-konyong, tetapi tumbuh seperti tumbuhnya segala benda yang hidup, yakni berangsur-angsur lambat laun, dengan jalan evolusi, bukan revolusi.

Kebudayaan (menjadi Indonesia), dengan demikian adalah suatu proses sosial yang mesti disiram, dirawat, dipagari dari intervensi budaya asing, dijaga dari hama-hama global dan terus-menerus dipupuk oleh keluhuran dan kebijaksanaan hingga akhirnya menghasilkan buahnya yang lezat. Hanya dengan melakukan hal yang demikian kita bisa menjadi Indonesia. Apakah kita sudah melakukannya? Jelas belum.

 

Penulis : Dadang Darmawan, M.Si
Dosen FISIP USU

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.