Pelajaran dari Venezuela

MEDANHEADLINES,Ribuan rakyat Venezuela pendukung pihak oposisi membanjiri Pusat Kota Venezuela. Aksi ini dilakukan massa demonstran untuk meminta agar dilakukan referendum untuk melengserkan Presiden Nicolás Maduro. Dalam aksi ini, massa demonstran menggunakan pakaian serba putih sambil meneriakkan “Pemerintahan ini (Nicolas Maduro) akan tumbang.” Bersama massa demonstran yang berasal dari hutan Amazon sampai Andes Barat, koalisi oposisi berupaya mengumpulkan setidaknya satu juta orang untuk melakukan demonstrasi di ibu kota. Hal ini dilakukan demi menunjukkan kemarahan mereka terhadap Maduro dan krisis ekonomi yang melanda Venezuela.[1]

Venezuela mencapai babak baru pasca terpilihnya Hugo Chavez sebagai presiden dengan melakukan nasionalisasi besar-besaran terhadap perusahaan-perusahaan minyak swasta Amerika Serikat di Venezuela. Terhitung sejak kepemimpinannya, perusahaan minyak Amerika Serikat di Venezuela yang menguasai sekitar 40 % pasokan minyak dunia seperti Exxon, BP, Royal Dutch Shell, Mobil Oil, Texaco, Gulf, dan Chevron diambil alih oleh PDVSA (pertamina-nya Venezuela) sehingga negara berhasil menguasai mayoritas komoditas minyak dalam negeri.

Gerakan Chavez dalam menasionalisasi kepemilikan asing tersebut kemudian menjadi salah satu faktor yang menandai kecenderungan pendekatan ekonomi politik yang kontra neoliberalisme di Amerika Latin. Pemimpin-pemimpin, seperti Hugo Chavez di Venezuela, Nestor Kirchner di Argentina, Evo Morales di Bolivia adalah pemimpin yang terpilih secara demokratis yang mengimplementasikan kebijakan ekonomi kontra Konsensus Washington (neoliberalisme). Pada saat yang bersamaan, berbagai pergerakan sosial bermunculan untuk menuntut nasionalisasi sumber daya ekonomi, dan juga artikulasi politik baru di luar politik liberal. Realitas tersebut, oleh Lievesley dan Ludlam disebut “pink tide”, yaitu gelombang pemerintahan kiri yang berkuasa.[2]

Krisis ekonomi yang melanda Venezuela tentu saja menjadi antagonisme terhadap identitasnya sendiri sebagai poros utama dalam gerakan pink tide di Amerika Latin. Usaha-usaha yang

berakhir dengan kesuksesannya untuk menasionalisasi kepemilikan minyak bumi oleh asing seakan-akan anti-klimaks seketika pada saat krisis melanda negara tersebut.

Venezuela yang tergabung dalam Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) sehingga dapat dikategorikan sebagai salah satu negara yang memiliki komoditas minyak terbesar di dunia, yang menurut data World Bank memiliki GDP sebesar 371 Milyar Dolar AS, yang 68 Milyar dolar AS dari total GDP tersebut berasal dari kontribusi ekspor komoditas minyak  Ekspor komoditas minyak Venezuela berdasarkan destinasinya didominasi oleh Amerika Serikat sebesar 44 % lalu diikuti oleh India sebesar 19 % dan Cina sebesar 16 %.

Tingginya produktivitas Venezuela dalam menghasilkan minyak bumi untuk dijadikan komoditas ekspor tersebut berbanding terbalik dengan tingkat produkivitasnya dalam menghasilkan barang-barang non-migas siap pakai untuk dikonsumsi oleh warganya. Alhasil, Impor barang Venezuela sangat didominasi oleh barang pabrikan di luar migas dan produk pertanian yang mencapai 72.5 % dari total impor keseluruhan, yang diikuti oleh produk pertanian sebesar 12.4 %

Klasik Dependensi

Ketergantungan negara-negara Amerika Latin terhadap negara-negara maju yang tersebar di Eropa maupun Amerika Utara sebenarnya bukanlah cerita baru dalam dinamika politik global. Fenomena ketergantungan ini pertama kali diuraikan oleh Raul Presbich yang menemukan pola dimana sebuah negara-negara maju (Eropa dan Amerika Utara) yang bekerja sama dalam sektor perekonomian dan perdagangan dengan negara-negara berkembang di Amerika Latin tidak dapat mempengaruhi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan mitranya (Amerika Latin) tersebut, sebaliknya hubungan tersebut malah membuat kesejahteraan negara-negara Amerika Latin cenderung menurun.

Pola yang ditemukan oleh Raul Presbich tersebut kemudian diperkuat lagi oleh Andre Gunder Frank yang mengerucutkan penelitannya pada Brazil dan Chili. Pada penelitian ini iya menemukan pola yang membenarkan pernyataan Presbich, bahwa negara-negara Amerika Latin, dalam konteks ini Brazil dan Chili, malah menurun tingkat kesejahteraannya saat melakukan kerjasama dengan negara-negara maju, dalam penelitiannya yakni Amerika Serikat.

Perspektif depedensi tersebut kemudian sedikit berbelok ketika negara-negara Amerika Latin berkonsolidasi membentuk gerakan Pink Tide yang bertujuan untuk menolak Washington Consensus yang menjadi kerangka acuan legalitas neoliberalisme. Hugo Chavez sebagai salah satu inisiator gerakan ini berhasil meraih kesuksesan dengan “mengusir” perusahaan-perusahaan Amerika Serikat dari Venezuela.

Meskipun telah merebut kepemilikan minyak perusahaan Amerika Serikat  melalui PDVSA, bukan berarti Venezuela bersikap proteksionis terhadap hubungan perdagangan dengan Amerika Serikat. Melalui data-data yang sudah diuraikan di bagian sebelumnya, Amerika Serikat masih menjadi mitra loyal yang memiliki kontribusi signifikan dalam konteks perdagangan luar negeri Venezuela.

Akhirnya, pola dependensi terlihat lagi dalam hubungan kerjasama perdagangan antara Venezuela dengan Amerika Serikat meskipun sudah tidak lagi melalui pola neoliberalisme. Pola dependensi tersebut dapat dilihat melalui ekspor raw material Venezuela yakni berupa minyak mentah yang dominasi oleh demand Amerika Serikat, yang menurut data OPEC, ekspor minyak mentah tersebut memiliki kontribusi sebesar 25 % terhadap GDP Venezuela.[3]

Besarnya ekpor minyak mentah tersebut menurut Dos Santos, dari perspektif negara yang lebih dominan yakni Amerika Serikat, membuat ia mendapatkan keuntungan dan kepentingan yang semakin memperkuat Amerika Serikat dalam mengendalikan perekonomian Venezuela atau dengan kata lain monopolisasi. Dari perspektif Venezuela, ketergantungan ini menyebabkan hilangnya kendali atas produksi sumber daya minyaknya. Hal ini terjadi karena pendapatan yang dihasilkan dari ekspor komoditas minyak tersebut dipakai bukan untuk meningkatkan teknologi produksi untuk mengubah barang mentah menjadi siap pakai, namun menambah kuantitas produksi barang mentah.

Pelajaran bagi Indonesia

Fenomena yang terjadi di Venezuela tersebut semoga dapat dijadikan pelajaran bagi Indonesia yang kurang lebih memiliki pola perdagangan luar negeri yang identik dengan Venezuela. Pola tersebut dapat dilihat dari kuantitas raw material yang menjadi komoditas ekpor utamanya, seperti CPO, kakao dan karet yang memberi kontribusi besar dalam GDP Indonesia. Belum lagi, Indonesia saat ini, bersama-sama dengan Malaysia, menjadi pengekspor CPO terbesar yang menguasai sekitar 90 % penyebaran CPO di dunia. Hal tersebut menimbulkan efek yang sama dengan transaksi perdagangan Venezuela terkait jenis komoditas. Namun dalam konteks Indonesia, ada perbedaan yang begitu mencolok dengan identitas perdagangan Venezuela yang akhirnya membentuk pola dependensi.  Pola dependensi Indonesia tidak hanya dapat dilihat dalam kemitraan ekspor dan impornya, namun juga kepemilikan sumber daya alam oleh negara luar atau dengan kata lain, pola neoliberalisme masih kental keberadaannya di Indonesia.

Oleh karena itu, bagi Indonesia, perlu upaya yang sangat signifikan untuk melepaskan diri dari  jebakan-jebakan dependensi negara-negara luar, khususnya negara-negara hegemon yang memiliki kapabilitas material yang mampu memonopolisasi perdagangan di negara-negara berkembang. Karena bisa jadi, apa yang terjadi pada tahun 1998 dapat terulang kembali.

Penulis :  Afgan Fadilla Kaban

Mahasiswa Program Magister Ilmu Hubungan Internasional UI

 

 

Catatan Kaki:
[1] http://news.okezone.com/read/2016/09/02/18/1479252/dihimpit-krisis-ekonomi-rakyat-venezuela-turun-ke-jalan-tuntut-referendum di akses pada Selasa, 8 November 2016 pukul 10.36
[2] Budi Winarno. 2014. Dinamika Isu-Isu Global Kontemporer. Yogyakarta : CAPS, hal. 7
[3] http://www.opec.org/opec_web/en/about_us/171.htm diakses pada hari Rabu, 30 November 2016 pukul 12.20 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.