SIAPA MUSUH KITA?

MEDANHEADLINES, – Seorang teman tidak kuasa menunjukkan keheranannya terkait kondisi yang terjadi saat ini dan untuk itu mengajak mendiskusikannya. Saling respon aksi yang terjadi belakangan ini justru membuat dirinya semakin gagal paham dan gagal fokus tentang duduk soal bangsa ini. Saling respon secara terbuka jelas menunjukkan adanya keterbelahan dalam berfikir, bersikap dan bertindak antar elemen. Keduanya memantik permusuhan horijontal yang jelas semakin mengaburkan susbstansi kehidupan berbangsa dan bernegara yang dilandasi nilai-nilai luhur. Ia tak lupa bertanya, siapa musuh kita sebenarnya?

Musuh Bersama

Pernah dengar istilah ‘musuh bersama’ (common enemy)? Sebagai bangsa kita pernah memiliki musuh bersama penjajah Belanda. Meski kita beragam suku, adat, agama, daerah namun kita memiliki kesadaran yang sama tentang penjajahan Belanda yang telah menindas, merampas kekayaan alam dan merusak tatanan sosial kita yang luhur.

Meski saat itu beragam perbedaan melekat, toh kita bisa bersumpah setia untuk bersatu melawan penjajah. Kita bersyukur kepada Tuhan sebab kita berhasil mengenyahkan penjajah Belanda dari bumi pertiwi. Masyarakat menyambut dengan perasaan histeria sekaligus sukacita kebebasan dari belenggu Belanda. Kemerdekaan telah menjadi simbol sekaligus bukti akan kemandirian dan kedaulatan dalam menentukan nasib sendiri. Pasca merdeka kitapun larut dalam semangat untuk membangun bangsa Indonesia baik jiwa maupun badannya.

Namun, niat kuat membangun bangsa toh tak pernah kesampaian jua. Masalah demi masalah bergelayut menggantungi. Banyak sekali waktu dan energi tercurah habis mengatasi begitu peliknya masalah perbedaan yang melekat dalam tubuh kebangsaan kita. Belum pun siap mengatasi pertikaian beda ideologi yang masih tidak bisa kita singkirkan, musuh dari luar pun datang menghampiri.

Virus Liberalisme masuk dengan leluasa tanpa hadangan dan antibodi yang berarti. Liberalisme dengan cepat masuk menginfeksi seluruh aliran dan sendi kehidupan. Kita tak siap, Pancasila ‘mati suri’ tak lagi hidup dalam kesadaran kita. Sumpah (1928) dan konsensus bersama (1945) seketika hilang maknanya, tak lagi menjadi tali pengikat elemen-elemen bangsa.

Kini meski kemerdekaan sudah berusia 71 tahun kita justru menuai berbagai soal yang sama peliknya sebelum kita merdeka. Kita kembali menghadapi masalah-masalah ketidak adilan, kemiskinan, kerusakan alam, dekadensi moral dan pertikaian antar kelompok. Belanda memang sudah tak ada, namun watak penindasan, licik dan palsunya terwariskan dalam sikap dan perilaku kita. Tantangannya semakin berlipat-lipat dimana musuh yang sebenarnya menjadi tidak jelas alias kabur. Kita justru diperhadapkan dengan sesama kita sendiri.

Kita saling bersaing satu dengan yang lain memperebutkan kekuasaan yang hanya untuk kepentingan kelompok semata. Partai bangkit melawan partai, kelompok melawan kelompok, individu melawan individu tidak hanya pada level nasional tapi juga pada level masyarakat terbawah. Kita gagal fokus sekaligus gagal paham dalam melihat musuh bersama kita. Hari ini yang kelihatan musuh terbesar justru diantara kita sendiri.

Mungkin inilah perang boneka (proxy war) yang sebenarnya telah terjadi ditengah kita sendiri dimana musuh yang sebetulnya telah berhasil mengacaukan dengan menggunakan peran pengganti yang disisipkan dalam kehidupan kebangsaan kita.

Infeksi Liberalisme

Liberalisme yang berasal dari pemikiran abad renaisans (abad 14) dan menguat pada abad pencerahan (abad 18) yang menekankan kebebasan manusia, rasionalitas, kesederajatan, kontrak sosial, persaingan kemudian telah menerabas masuk menggantikan nilai dasar kehidupan bangsa yang menekankan ketuhanan, gotong royong, kekeluargaan, kebijaksanaan dan keadilan sosial. Liberalisme berhasil membongkar institusi-institusi sosial yang berakar pada kebersamaan, keyakinan, penghormatan kepada alam, dan harmoni. Kini institusi-institusi lokal dengan segala kearifan tradisinya digantikan dengan beragam institusi-institusi sosial ciptaan nalar kita sendiri berdasarkan kontrak sosial baru yang kita yakini.

Sejak 1945 dalam konteks politik kita telah memaksa semua kekuatan sosial-politik membentuk partai politik untuk bersaing memperebutkan kekuasaan negara. Sejak orde baru kita mulai memberikan keleluasaan lembaga-lembaga ekonomi swasta tumbuh dan kembang. Begitu juga pada lapangan kehidupan yang lain baik dalam bidang sosial maupun budaya berbagai lembaga baru/ormas baru yang independen/mandiri sesuai dengan kepentingannya masing-masing tumbuh. Kita akhirnya memasuki masa dimana lembaga keluarga, adat, agama hanya menjadi ornamen pelengkap dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Semua itu jika kita lacak adalah warisan abad modern/pencerahan yang mendudukkan subjektifitas pada tahta nalar/rasio. Ribuan tahun yang lalu Hegel telah merayakan kudeta nalar atas kesadaran agama dan adat yang naif tersebut yang kemudian dilanjutkan dengan ilmuwan-ilmuwan lain (filosof materialis) dalam bentuk yang lebih nyata dengan membuat hukum sendiri dalam menata kehidupan manusia. Kini kita masuk dalam rejim hukum nalar yang utuh nyaris tanpa sentuhan nilai-nilai ilahiah/ketuhanan.

Namun disebalik serangan nalar yang begitu gencar atas kehidupan manusia, JJ. Rosseau (1728-1778) tampil beda meski juga rasionalis. Ia mengingatkan bahwa pikiran hanyalah bunga-bunga kehidupan yang membuat manusia diperbudak. Tanpa ilmu/rasio subjektif kodrat asali manusia (state of nature) sesungguhnya adalah damai/baik. Kodrat kebaikan manusia itu tentu berasal dari Tuhan sementara perbuatan jahat manusia dilahirkan oleh manusia sendiri.

Rosseau menegaskan bahwa awal mula kerusakan adalah ditetapkannya hak kepemilikan pribadi, sehingga menimbulkan kesenjangan, lenyapnya kesederhanaan, yang menghasilkan perang dan kejahatan. Kehendak individualis manusia (egois) mestinya tunduk pada kehendak umum. Dan lembaga-lembaga sosial baru yang kita bentuk itu telah membusukkan kodrat manusia (Hardiman, 2011).

Apa yang terjadi saat ini jelas sudah diingatkan para bijak bestari ribuan tahun silam. Para Nabi mengatakan, bahwa musuh terbesar suatu bangsa bukanlah penjajah yang di perangi sekuat tenaga, namun musuh terbesar suatu bangsa ada dalam diri mereka sendiri (nafs). Setelah selesai perang Badr, Nabi Muhammad menjelaskan bahwa kita akan memasuki perang yang sesungguhnya yaitu perang melawan hawa nafsu. Perang melawan hawanafsu adalah perang melawan segala nafsu buruk yang rendah yang menekankan kesenangan duniawi (kekuasaan, seks, kekayaan material). Untuk mencapai tujuannya tersebut manusia menggunakan segala cara dan memperturutkan egoisme, keserakahan, kebohongan, sumpah palsu, ketidak-manusiaan dan ketidak adilan serta ketidak bijaksanaan. Hawa nafsu yang rendah telah menuntun manusia berjalan melakukan berbagai kerusakan dan keonaran yang menyengsarakan manusia.

Solusi Tanpa Solusi

Pandangan kaum rasionalis tentu cukup beragam dalam mengetengahkan solusi mengatasi permasalahan egoisme manusia yang merusak. Namun yang paling moderat tawarannya adalah dengan membangun kesepakatan moral diantara manusia, menguatkan peran negara sebagai regulator dan mendidik rakyat agar taat pada konstutusi (hukum) yang berlaku. Sementara pandangan agama mengatakan hendaklah manusia kembali kepada hukum Tuhan, sebab hanya Tuhanlah yang memiliki hukum yang paling adil bagi manusia. Istilah yang populer saat ini “kitabsuci diatas konstitusi”.

Namun keduanya hanyalah sebatas usulan atau konsep belaka. Sebab realitas kehidupan manusia dikuasai oleh paham liberal (Liberalisme) yang memiliki tendensi penyelesaian masalah yang kadang tidak sesuai dengan tuntutan rasio juga tak sesuai dengan tuntutan agama. Liberalisme yang kini dituntun oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendominasi kehidupan ummat manusia acapkali memiliki jalan sendiri dalam mengatasi masalah yang mereka hasilkan sendiri. Herbert Marcuse mengatakan kita berada dalam dunia yang kritis yang tak bisa dicerna dan diperkirakan sebab Logos telah dikesampingka menjadi Tekno-Logos.

Lantas, adakah solusi? Tentu saja sepanjang Liberalisme berada dipuncak kuasa dan kokoh maka semua solusi yang terjadi pada ruang lingkup kuasanya bergantung padanya. Semua negara (juga Indonesia) sudah terikat dalam jejaring kuasa yang dibentangkan liberalisme global sehingga hampir bisa dikatakan mustahil memiliki solusi yang berada diluar putusan liberalisme. Terlebih mentalitas bangsa-bangsa dunia memang sudah ditundukkan terlebih dahulu dengan dukungan proyek modernisasi selama kurang lebih empat ratus tahun terakhir. Sehingga dari sisi mentalitas jelas kemanapun solusinya umumnya tetap mengarah pada supremasi liberal. Para rasionalis mengatakan, jika menyangkut uang semua agama manusia sama.

Andaikanpun ada penguatan penolakan terhadap tatanan global dibawah liberalisme maka yang terjadi adalah perang sebagaimana perang-perang yang telah terjadi diberbagai kekuasaan di dunia seperti di Asia, Afrika, Timur Tengah, maupun Latin Amerika. Akhirnya, jika dunia manusia sudah terjadi dominasi dan tanpa kontradiksi, maka sejarah manusia sudah berakhir (Hegel), artinya kita tak memiliki kemampuan apapun alias pasrah alias menunggu waktu kematian saja. Buat teman saya yang mengajak diskusi demikian pemikiran dari saya.

 

Penulis: Dadang Darmawan, M.Si

Dosen FISIP USU

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.