MEDANHEADLINES, – Berbagai elemen ormas Islam yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) kembali berencana melakukan Aksi Bela Islam pada 2 Desember mendatang. Rencana demo yang dikenal dengan sebutan aksi 212 itu merupakan tindak lanjut Aksi Bela Islam pertama yang digelar 4 November silam. Memang banyak yang sensitif bicara soal 212. Sebut saja Kapolri, Jendral Polisi Tito Karnavian. Dibeberapa kesempatan beliau mengatakan bahwa berdasarkan informasi intelejen, aksi tersebut berpeluang menjurus ke arah makar. Ada penyusup yang nantinya berupaya menduduki gedung DPRD dan berencana menggulingkan Presiden.
Kontan saja pernyataan itu di bantah para ulama dan tokoh-tokoh penggagas aksi. Mereka bilang Kapolri terlalu membesar-besarkan persoalan. Lebay! Kira-kira begitu istilah anak zaman sekarang. Beberapa pengamat malah menantang Kapolri untuk membuka secara gamblang informasi itu. Tujuannya, agar tidak menjadi opini liar dan menimbulkan keresahan ditengah-tengah masyarakat. Sebagian lagi justru menyatakan informasi intelejen tidak akurat. Apakah itu Intel beneran atau cuma Intel Melayu, saya tidak tau dan tak tertarik mengorek informasi lebih dalam.
Pihak kepolisan terkesan kelimpungan. Wajar sih, sebab mereka memegang tanggung jawab besar menyangkut keamanan dan ketertiban bangsa. Atas perintah Kapolri, Kapolda Metro Jaya bahkan telah mengeluarkan Maklumat Mak/04/XI/2016 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Hal tersebut dilakukan sebagai antisipasi demonstrasi 212. Ada upaya penggiringan opini bahwa 212 adalah aksi makar yang sebagaimana KUHP (pasal 104,106,107) ancaman hukumannya bisa seumur hidup bahkan hukuman mati. Jadi, siapapun yang ikut aksi 212 dapat di indikasikan ikut membantu gerakan makar. Bersiaplah dengan ancaman hukuman sebagai mana berlaku di KUHP. Ini berbahaya, mencederai kebebasan berpendapat dan mengancam demokrasi.
Padahal jauh sebelum mulut Ahok hobi asal bicara dan para ulama ‘rajin’ demonstrasi turun ke jalan, angka 212 sesungguhnya hanya identik pada satu sosok. Ya, Wiro Sableng.! Yang berumur 25 tahun-an ke atas pasti tau. Jika tidak, patut dipertanyakan apakah dulu anda punya TV atau setidaknya bisa baca tulis. Wiro Sableng adalah tokoh fiksi dari novel karangan Bastian Tito yang serialnya rutin ditayangkan di RCTI, sekitar era 1990-an dulu. Pendekar sakti dengan senjata Kapak Naga Geni serta memiliki rajah 212 di dadanya.
Sepak terjang Wiro Sableng di dunia persilatan (bagi saya) lebih menarik untuk diikuti. Selain tingkah-tingkahnya mengundang tawa, banyak tokoh sakti yang mengajarkan Wiro berbagai ilmu dan nilai-nilai kebijaksanaan. Sinto Gendeng mengajarkan Pukulan Sinar Matahari, Datuk Rao Basaluang Ameh mewariskan Pukulan Harimau Dewa. Jauh berbeda dengan 212 dalam makna kekinian. Menyiratkan kekisruhan, perang opini, saling tekan menekan, unjuk kekuatan dan masing-masing pihak mengklaim bahwa merekalah pemilik kebenaran.
Ya, apa mau dikata. Sekarang 212 mengalami perubahan makna. Entah itu peyorasi atau ameliorasi, saya tak fasih menafsirkanya. Yang pasti kepemilikan tunggal atas 212 tidak lagi milik Wiro Sableng. Apalagi jika benar aksi 212 seperti kata Kapolri (ada proses makar), maka bukan mustahil timbul kekisruhan besar. Posisi Wiro Sableng yang sebelumnya pemilik tunggal 212 dikemudian hari tergeser oleh cerita aksi ini. Sinto Gendeng, Tua Gila Dari Andalas, Kakek Segala Tau pun pasti merasa demikian. Akh, ternyata Ahok tidak hanya mampu menggusur rakyat dipinggiran kali. Tokoh legendaris pun mampu dia gusur. Kasihan.
Penulis : Amin Multazam
Alumnus Antropologi Fisip USU