MEDANHEADLINES, Petani dan pihak kepolisian sepekan belakangan sedang hobi berduel. Mulai dari ‘pertandingan’ Suka Mulya hingga terakhir, di Mekar Jaya Kabupaten Langkat. Entah apa keuntungan serta urgensinya. Yang pasti tidak kalah tensi dari duel-duel klasik liga Top Eropa (MU vs Arsenal, Milan vs Inter) yang kebetulan juga di helat pekan lalu. Perbedaannya, duel klasik liga top Eropa memang dinanti-nantikan, sedangkan duel antara petani dan polisi justru tak diharapkan. Bukan apa-apa, sudah jelas siapa yang keluar sebagai pemenangnya.
Jika duel dua tim yang saya sebutkan hasilnya imbang, duel petani dan aparat kepolisan pastilah berlangsung timpang. Bagaimana mungkin aparat yang memang dilatih serta ditopang peralatan lengkap mampu ditandingi para petani yang sebagian bahkan berusia senja. Akh, macam tak ada lagi lawan sepadan pihak kepolisan yang cocok diajak latih tanding. Kenapa harus petani? Seminimalnya begal atau rampok-rampok kelas bulu lebih pantas untuk diajak duel.
Selain bukan lawan sepadan, Petani sesungguhnya tak punya urusan, apalagi riwayat permusuhan dengan polisi. Ambil contoh, dalam kasus petani di Mekar Jaya, ‘lawan’ petani adalah perusahaan perkebunan (PTPN II/PT LNK). Kedua belah pihak sejak tahun gak enak sudah berkonflik. Mereka saling klaim atas kepemilikannya tanah, dua-dua merasa paling berhak, dua-dua punya dasar alas hak. Nah, persoalan siapa yang benar dan salah kan harus di buktikan kemudian. Harusnya polisi berperan sebagai ‘wasit’ (menengahi) dalam konflik tersebut. Tapi, ketimbang jadi wasit, polisi memilih jadi pemain. Ikut serta menjadi aktor baru dalam konflik.
Kepolisan (Polres Langkat) yakin dan setia pasang badan dalam proses okupasi lahan. Itu semua didasari atas HGU PTPN II No 3,4,5 dan 16 Tahun 2012. Mereka menawarkan, apabila masyarakat punya alas hak diatas HGU itu, silahkan tuntut ke pengadilan. Betul? Ya ada betulnya. Tapi mengapa tidak berpikir secara logika terbalik. Kepolisian gunakan kacamata masyarakat, dan mencoba mempercayai alas hak masyarakat (seperti mereka mempercayai HGU). Lalu bilang pada PT.LNK, “Jangan dulu kelen okupasi, masyarakat udah belasan tahun beranak-pinak disitu. Silahkan tuntut saja ke pengadilan. Kalo sudah sah dan ada putusan inkracht, baru bisa”.
Sayang, itu tak dilakukan. Polisi cenderung mengambil jalan pintas agar konflik ini gak jelimet dan cepat tau siapa pemenangnya. Caranya? Gunakan kekuatan total, bekerja atas dasar HGU, buat masyarakat ampun dan tidak mampu melawan. Habislah perkara. Hasil akhir yang di dapat, petani kehilangan tanah plus kepala bocor bersimbah darah, polisi beberapa cedera, dan pihak perkebunan?? Barangkali tersenyum lega karena bisa mulus jalani bisnisnya.
Bagaimana masyarakat tak curiga bahwa kepolisian berpihak? Wajar kan saya menduga polisi lebih memilih jadi pemain dari pada jadi wasit. Ah, sudahlah. Pilihan-pilihan itu sudah diambil dan masing-masing telah melahirkan konsekuensi. Sebagai manusia normal, waras, belum gila, siapa yang tak sedih melihat masyarakat berhari-hari ketakutan, diteror bahkan sampai terluka? Apalagi luka itu berasal dari tangan aparat-aparat yang gajinya dibayari rakyat lewat perasan keringat saat mencangkul tanah. Sial benar.
Penulis : Amin Multazam
alumnus Antropologi FISIP USU