LIVERPOOL, AHOK DAN GEGENPRESSING ALA NETIZEN

MEDANHEADLINES, Fans Liverpool sedang sombong Luar biasa. Sebagai tim yang dalam sepuluh tahun terakhir lebih sering jadi medioker (maaf, hehehe) setidaknya hingga pekan ke 11 Liverpool berhasil memuncaki klasmen Liga Inggris. Permainannya juga atraktif, dinamis dan penuh energi. Ya, bagi saya sih mirip cara main PSMS Medan zaman dulu dengan gaya rap-rap nya.

Otak dibalik permainan Liverpol yang mirip PSMS Medan itu adalah si Jurgen Klopp. Pria Jeman ini menyebut taktiknya dengan nama Gegenpressing. Sebuah strategi yang menuntut setiap pemain segera melakukan counter pressing saat timnya kehilangan bola. Sederhananya ya itu, melakukan pressing ketat sebelum lawan berpikir dan mengolah bola lebih banyak untuk melakukan serangan yang terstruktur.  Strategi ini tidak hanya menuntut para pemain memiliki stamina prima, namun juga harus ngotot mengejar bola, tekel, tendang dan bila perlu sesekali pake adegan berantam. Intinya menghibur.

Oiya, jangan terlalu panjang membahas Gegenpressing nya si Klopp. Bisa bahaya. Takut pengamat bola semacam Bung Kusnaeni atau Binder Singh menyebut saya asal bicara dan melakukan penistaan terhadap taktik sepakbola. Secara, saya bukan komentator bola. Sama seperti ahok yang bawa-bawa surat Al Maidah padahal dia bukan Ustadz atau ahli agama. Hasilnya, se-Indonesia ribut bukan kepalang. Bisa repot.

Teringat polemik ahok, belakangan ini media sosial riuh seperti lebaran (bukan lebaran kuda). Secara sederhana saya coba mengklasifikasikan mereka-mereka jadi 3 kelompok besar. Pertama, kelompok yang membela ahok. Kedua, kelompok yang menghujat ahok, ketiga, Dan terakhir kelompok netral namun hobi menganalisa dan mendramatisir keadaan..

Entah mengapa, saya menduga kelompok pertama dan kedua adalah para penggemar Liverpool. Atau seminimalnya terinspirasi dari gaya bermain nya. Mengapa? Karena mereka fasih betul menggunakan taktik Gegenpressing ala Jurgen klopp, khususnya dalam melakukan counter wacana. Ngotot? Sudah pasti. Penuh stamina? Lihat medsos anda setiap hari, disitu ada jawabanya.

Saat kelompok pro ahok mendapatkan ‘bola’, kita anggaplah saat steatmen Buya Safii Maarif yang mengatakan Ahok tidak melakukan penistaan, kelompok anti ahok langsung melakukan pressing ketat. Mereka tidak lelah ‘mengejar’ Buya Safii, baik dengan kata-kata kasar maupun melalui perantara meme nyinyir. Tak peduli bahwa Buya Safii adalah ‘pemain’ besar penuh sejarah. Mereka hantam sedemikian rupa, bak Adam Lallana yang gak berenti lari sebelum dapat bola dari kaki lawan.

Begitupun sebaliknya, saat kelompok anti ahok mendapatkan ‘bola’, kita anggaplah saat demonstrasi besar didukung banyak ulama, kelompok Pro Ahok secepat mungkin menutup ruang gerak dengan meng-counter isu bahwa aksi tersebut ditunggangi oleh kelompok elit, atau aksi tersebut dapat merusak keberagamaan dan toleransi. Ya, mirip seperti Emre Can yang menutup ruang pasing pemain lawan agar bola segera jatuh ke kaki pemain Liverpool.

Perbedaannya, saat nonton Liverpool saya senang dan terhibur. Sebaliknya menyaksikan saling pressing antar kedua kelompok tadi saya gusar dan khawatir. Gusar, akankah wasit (aparat keamanan) mampu memimpin pertandingan secara adil? Khawatir, kemenangan cuma jadi kekalahan bagi satu anak bangsa yang lain. Kemenangan justru membuat sebagian pihak terluka, mencederai persudaraan sesama bangsa Indonesia. Beda seperti Liverpool yang kemenangan nya memang dinikmati oleh segenap fans, tanpa terkecuali.

Pertandingan serta adu taktik tidaklah menarik tanpa komentator. Disinilah hadir kelompok ketiga, masuk menganalisis situasi layaknya Bung Kusnaeni. Soal benar atau salah itu sih nomor sekian. Yang penting, berpendapat. Walau sesekali pendapat itu justru semakin memperkeruh keadaan.

Penulis : M.amin Multazam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.