MEDANHEADLINES, – Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi masyarakat demokrasi global di abad informasi ini adalah menjaga tatanan sosial yang stabil dalam menghadapi perubahan teknologi dan ekonomi dan juga moral yang dinamis. Setiap ekonomi-teknologi berubah maka institusi sosial-politik pun ikut berubah. Pada negara-negara maju (ekonomi) sudah lama terjadi konvergensi lembaga-lembaga ekonomi-politik. Jika terjadi keguncangan ekonomi maka politik (supra-infrastruktur politik) juga akan mengalami keguncangan. Menjaga stabilitas ekonomi (kemakmuran) menjadi penting sebagai prasyarat kondisi politik yang stabil. Para pemilih justru tidak datang ke bilik suara untuk membuktikan bahwa mereka menikmati kemakmuran dan percaya pada pemerintah.
Satu yang penting namun selalu diabaikan adalah melihat hubungan moral dan sosial dengan demokrasi. Negara-negara liberal/demokrasi cenderung kurang tanggap karena mereka selalu menempelkan masalah moral pada ranah individu dan memisahkannya dari negara (sekuler). Liberalisme menghempang setiap pembicaraan moral-agama yang multi-tafsir, dan dianggap sudah kuno dan menggantinya dengan fitur-fitur relasi sosial yang modern seperti toleransi, etika publik, kemajemukan, rasional, kesetaraan, patuh pada hukum dan mengedepankan individualistik. Penciptaan aturan hukum adalah salah satu prestasi yang dianggap paling membanggakan dari peradaban Barat.
Namun, pada prakteknya hukum formal dan lembaga ekonomi-politik formal yang kuat ternyata tidak cukup menjamin terwujudnya masyarakat modern yang berhasil. Demokrasi liberal ternyata sangat bergantung pada nilai-nilai budaya tertentu yang dimiliki bersama. Sungguhpun banyak negara Latin Amerika yang mencontek bulat-bulat sistem hukum, demokrasi dan ekonomi Amerika, ternyata sejak itu mereka justru mengalami destabilisasi politik dan tidak pernah sejahtera sebagaimana Amerika. Menurut Fukuyama, kultur masyarakat Amerika yang dipengaruhi protestantisme sektarian telah memberikan pondasi individualisme yang mendukung tumbuhnya masyarakat swa-organisasi dan kesukarelaan serta kesetaraan sebagai wadah subur tumbuhnya demokrasi. Sementara masyarakat Latin Amerika dipengaruhi tradisi Katolik Spanyol dan Portugal yang menguatkan ketergantungan pada lembaga besar dan sentralistik.
Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia (pemilih besar, pemilu disemua level pemerintah) kini tengah menghadapi masalah yang kurang lebih sama. Indonesia sebagaimana yang disangka Fukuyama cenderung tidak bisa menerima prakondisi-prakondisi budaya sebelum masuk pada sistem demokrasi. Nilai-nilai toleransi, kesetaraan, individualisme, persaingan sehat, dan kebebasan serasa ‘menggantung’ dan belum bisa sepenuhnya dapat dipakai sebagai pakaian sehari-hari.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah menghancurkan norma-norma agama, suku, kedaerahan di Barat justru di Indonesia tidak sepenuhnya terjadi. Ilmu pengetahuan dan teknologi diterima dan diserap, demokrasi dijadikan sistem politik namun paham keagamaan, kesukuan dan kedaerahan juga tumbuh. Masyarakat agama, suku, daerah cenderung bermain petak umpet antara menyesuaikan tuntutan demokrasi dengan mempertahankan tradisi. Akibtanya hubungan antara negara dengan institusi agama, suku, daerah berlangsung fluktuatif, bergejolak dan konflik. Setiap pergantian pemerintahan selalu terbirit-birit menutup celah yang bocor tapi keliling ketika relasi negara dengan agama, suku, daerah tak bisa terdamaikan.
Hilangnya Budaya
Masyarakat Barat sungguh menikmati hilangnya orientasi nilai agama, suku, daerah dalam khazanah pri-kehidupan mereka. Mereka pusing dihadapkan pada klaim-klaim kultural yang saling bersaing hingga tidak ada yang bisa dinilai lebih baik ketimbang yang lain. Sebagai gantinya mereka membangun konsensus diatas nilai-nilai rasionalisme dan individualisme yang memungkinkan kerjasama terjadi diantara mereka. Konsensus bersama itu tentu saja samasekali tidak terkait dengan serangkaian norma-norma kultural pada umumnya, tetapi pada serangkaian norma tertentu yang mereka sebut sebagai modal sosial. Adapun norma-norma yang menghasilkan modal sosial secara substantif harus memasukkan nilai-nilai seperti kejujuran, pemenuhan tugas, maupun kesediaan untuk saling menolong. Kepercayaan tentu saja menjadi syarat mutlak atau sebagai pelumas dalam modal sosial.
Tesis akhir yang masih mereka pegang hingga saat ini adalah bahwa modal sosial sangat penting sebagai prasyarat keberhasilan negara-negara demokrasi. Meningkatnya kerusakan alam sebagai akibat kerusakan moral manusia diberbagai belahan dunia saat ini jelas menjadi tantangan yang sungguh pelik pada negara-negara demokrasi di dunia dan semua itu ditengarai karena ketiadaan modal sosial yang kuat.
Bagaimana dengan implementasi demokrasi di Indonesia saat ini? Demokrasi Indonesia jelas menghadapi tantangan yang hebat akhir-akhir ini. Menguatnya sentimen agama, suku, kedaerahan jelas semakin menguatkan semangat identitas kelompok yang cenderung intoleran dengan kelompok-kelompok yang berbeda. Indonesia yang super majemuk dari berbagai dimensi jelas sangat rentan konflik manakala identitas kelompok meningkat. Kasus Ahok hanyalah peristiwa-peristiwa yang kelihatan dimata secara fisik dimana yang bermasalah sesungguhnya adalah ketiadaan nilai-nilai luhur Pancasila yang menjadi konsensus kita selama ini dalam kesadaran kita.
Kita cenderung tanpa sadar mengesampingkan Pancasila sebagai sumber rujukan nilai kita bersama dan kemudian dengan sadar mengedepankan identitas kelompok apakah itu agama, suku atau semangat kedaerahan. Tanpa kita sadari dengan memunculkan identitas kelompok dengan fulgar pasti akan mengundang eksistensi kelompok lain, yang jika kita biarkan hanyalah akan menyulut perseteruan dan perpecahan elemen-elemen bangsa saat ini. Wajar jika banyak orang saat ini merasa khawatir akan ancaman perpecahan sebab ketersediaan orang-orang bijak yang dapat memadamkan konflik kian defisit.
Salah satu yang membuat kisruh ditengah kehidupan kebangsaan kita selama ini, ialah ketika kita menjalankan demokrasi yang nyata-nyata hanya untuk tujuan mengambil kekuasaan semata. Demi kekuasaan kita melanggar semua nilai-nilai luhur yang universal yang mestinya menjadi identitas kita selaku bangsa yang berideologikan Pancasila. Demi kekuasaan kita tega menggunakan semua cara culas yang kemudian kita masukkan sebagai aturan main yang formal. Karena itu perubahan undang-undang pemilu, partai politik, pilkada, lebih banyak menyangkut aturan-aturan teknis sebagai wujud kompromi antar partai politik semata. Pasal demi pasal ditambah dan dikurangi hanya untuk memuaskan syahwat kuasa sipembuat.
Perubahan kebijakan jarang atau samasekali tidak pernah mensasar perubahan perilaku masyarakat yang semestinya menjadi tujuan dari pembuatan kebijakan itu sendiri. Hari ini jelas telah terjadi anomali demokrasi dimana demokrasi kita justru lebih digandrungi oleh para penjahat dan pelaku kriminal dan dihindari mereka yang berfikir sehat. Akhirnya hanya orang-orang ‘gila’ yang masuk dalam gelanggang demokrasi dengan membawa seluruh perlengkapannya yang terhunus dan siap menghunus.
Jelas, demokrasi tanpa dilandasi nilai-nilai budaya luhur hanyalah akan melahirkan pemimpin yang juga tak kan luhur. Padahal nilai-nilai budaya yang luhur adalah sangat penting bagi penciptaan kesehatan masyarakat. Adalah sangat miris bahwa kita yang majemuk yang mampu melahirkan Pancasila sebagai konsensus bersama namun ternyata kita tak pernah mampu menggunakannya sebagai dasar gerak kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penulis: Dadang Darmawan, M.Si
Dosen FISIP USU