MEDANHEADLINES, – Ahok kembali menjadi viral media pasca ditetapkan sebagai tersangka (1611). Sambutan histeris terutama datang dari mereka yang terlibat demontrasi kemarin. Sementara mereka yang mendukung Ahok berupaya tenang dan memendam kekesalan. Meski cukup gembira tidak sedikit kubu demonstran yang coba mengingatkan temannya agar mereka tetap waspada dan terus mengkawal jalannya proses hukum selanjutnya. Bagi pendukung Ahok sendiri berupaya saling menguatkan bahwa perjuangan Pilkada DKI terus berlanjut begitu juga perjuangan hukum masih bisa dilakukan. Tak ketinggalan para pengamat dengan argumennya pun sudah menumpahkan analisis mereka mewarnai status Ahok yang telah berubah. Diantara banyak analisis ada yang menghubungkan status tersangka Ahok dengan etika selaku pejabat publik. Sangatlah etik menurut mereka jika Ahok mengambil opsi mundur dari Cagub karena menyandang status tersangka.
Adalah menarik jika kita analisis masalah Ahok yang diduga melakukan penodaan agama dari sisi etika dan cara penyelesaiannya. Dikatakan menarik, sebab kasus ini begitu kompleks dimensinya dan multi tafsir. Banyak orang menjadi penasaran sekaligus mengancam perpecahan. Kasusnya yang menyentuh wilayah agama telah memantik perdebatan yang panjang tak berkesudahan di dinding-dinding media sosial. Bahkan tidak ketinggalan juga menyeret perhatian masyarakat dunia. Terkait statusnya yang telah ditetapkan bareskrim sebagai tersangka (1611) muncul pertanyaan, haruskah kita menuntut Ahok untuk mundur dari Pilkada DKI karena alasan etika? Jika etika tak mampu bekerja, adakah Hakim sesungguhnya yang pantas untuk memutus memutus perkara Ahok ini?
Tersangka & Keyakinan Tidak Bersalah
Posisi etika (perasaan malu, gentle, sopan santun, tanggung jawab) ditengah masyarakat yang beradab biasanya ada di depan dan dijunjung tinggi. Orang yang beretika ketika buat kesalahan tidak jarang dengan sukarela ‘membunuh dirinya’ meski belum ada putusan hukum yang sah sebagai bentuk tanggungjawab. Pejabat publik yang beretika, tidak sedikit yang mengambil langkah mundur dari jabatannya saat ditetapkan sebagai tersangka meski mereka belum divonis oleh pengadilan. Sebagai contoh, banyak Perdana Menteri diberbagai negara juga mundur ketika skandal dan tindak kriminal mereka terungkap ke publik atau karena gagal mengemban amanat publik. Contoh lain, Malarangeng, Anas, Sutan Bathugana juga mengundurkan diri dari jabatan politik sesaat setelah KPK menetapkannya sebagai tersangka. Namun demikian, lain rambut lain pula isi kepalanya. Meski ada kita jumpai orang-orang yang ber-etika, namun lebih banyak lagi kita temukan pemimpin yang tak tau malu dan tak merasa bersalah. Banyak pemimpin hipokrit yang tak beretika dan tidak memperdulikan rasa keadilan di tengah masyarakat.
Namun ada yang khas dalam kasus Ahok. Hanya selang beberapa saat pasca ditetapkan sebagai tersangka (16-11-16) Ahok dan Djarot dihadapan para wartawan, justru menenangkan pendukungnya, menerima status ini dan menyerahkan kasus ini sepenuhnya kepada proses hukum. Ahok berpesan agar semua tim kampanye tetap fokus dan datang ke TPS pada tanggal 15 Februari 2017 yang akan datang. Ahok memastikan mereka akan tetap melakukan blusukan memanfaatkan masa kampanye saat ini. Paling spesial, Ahok berpesan agar mereka kerja keras untuk memenangkan Pilkada DKI tanggal 15 Feb 2017 yang akan datang satu putaran saja.
Tak seperti kebanyakan pejabat yang dijadikan tersangka oleh KPK, Ahok-Djarot justru tetap semangat dan masyarakat pendukungnya tetap antusias menyambut kedatangan mereka. Padahal banyak calon kepala daerah langsung ciut dan tak bernyali kala ditetapkan sebagai tersangka. Bagi mereka, status sebagai tersangka sama saja dengan melemparkan kotoran dan membunuh karakter. Para tersangka pasti berat menahankan malu tampil dihadapan publik. Akan tetapi, hal itu seolah tak berlaku bagi Ahok. Bahkan jubir Ahok Ruhut Sitompul mengatakan sebelum menjadi tersangkapun Ahok sudah siap menerimanya. Ruhut meyakinkan bahwa mereka tetap semangat sebagaimana pemilih DKI juga semangat mendukung Ahok.
Tak dipungkiri kasus Ahok sangat fenomenal. Meski sudah menyandang status tersangka, namun tafsir atas pernyataan Ahok yang diduga menista agama masih saja menjadi bahan yang diperdebatkan. Ahok tetap pada pendapatnya jika dirinya tak bersalah sebab dia sama sekali tak punya niat untuk menista agama. Apalagi apa yang diyakini Ahok juga diamini oleh tim pendukungnya maupun pemilih. Semua partai pendukung tetap solid, begitu juga pemilih yang selama ini mendukungnya. Bahkan satu lembaga survey merilis hasil laporan survey mereka yang masih menggambarkan kemenangan Ahok atas pesaingnya Anis dan Agus. Atas keyakinan bahwa apa yang dilakukannya tidak bermaksud untuk menodai agama maka Ahok sejak awal mengatakan bahwa ia tidak akan mundur dari pencalonan sebagai Gubernur DKI 2017. Artinya, tidak ada yang dapat memaksanya mundur atas alasan etika sebab yang bersangkutan pun merasa yakin bahwa dia tak bersalah dan tak pantas dijadikan tersangka. Sudah nature-kita jika kita tidak bersalah tentu saja kita tidak akan pernah mau dipaksa untuk mengaku bersalah.
Lantas dimanakah posisi etika bagi pejabat publik itu berada? Etika jelas berhubung kait dengan nilai-nilai keyakinan yang dimiliki seseorang yang sangat menentukan apakah dia berada pada jalan yang benar atau sesat. Menuduh orang yang tak bersalah jelas juga adalah pelanggaran etika, begitu juga sebaliknya. Adalah pelik ketika kita diperhadabkan oleh dua pihak yang sama-sama yakin benar dan saling menyalahkan. Pada situasi adanya dua kebenaran itulah etika menjadi tidak berlaku karena keduanya keduanya mengklaim sebagai pihak yang benar. Kalau sudah begitu, tidak ada jalan lain kecuali mengembalikannya kepada hakim yang akan menjadi pengadil bagi keduanya.
Hakim & Pemilih DKI sebagai Pemutus
Bersalah atau tidaknya Ahok jelas kini menjadi urusan hukum. Uniknya, kita bisa melihat kasus ini dalam dua pengadilan yang berbeda sekaligus. Selaku tersangka Ahok akan masuk pada proses pengadilan formal (perkiraan) dimana Majelis Hakim akan memutus perkaranya. Bahkan Kapolri menyatakan, bahwa jika kasus ini sampai dipengadilan maka akan dilakukan persidangan terbuka seperti sidang Jessica. Sementara secara informal tersangka Ahok akan masuk pada proses pengadilan rakyat DKI tanggal 15 Februari yang akan datang dimana para pemilih DKI lah sebagai Hakim pemutus perkaranya dibilik suara.
Dilihat dari sisi waktu, maka pengadilan rakyat (pemilih DKI) akan lebih cepat diputus perkaranya oleh pemilih DKI sendiri. Alasannya, meski diperkirakan pengadilan formal akan terjadi sebelum pencoblosan, namun proses persidangan akan memakan waktu yang cukup lama, setidaknya akan melampaui pelaksanaan pilkada DKI. Banyak sudah analisis waktu yang sudah mampir ke laman-laman media sosial. Ada yang berkonotasi positif maupun negatif. Banyak analis menduga waktu persidangan formal akan lama karena alasan teknis oersidangan atau alasan politis atauy kesengajaan. Analis lain justru mengatakan bahwa waktu sangat bergantung pada Pengadilan. Hakim bisa mmebuat persidangan lama bisa juga mempersingkat waktunya. Namun pengadilan yang pasti adalah pengadilan rakyat (pemilih) yang akan dilaksanakan tanggal 15 Februari 2017.
Dilihat dari sisi kredibilitas majelis hakimnya, kedua persidangan mestinya kita anggap kredible. Sebab keduanya adalah pilihan konstitusional yang kita pilih sendiri. Kredibilitas majelis hakim formal dan ‘hakim rakyat’ mesti kita anggap sama-sama kredible-nya untuk memutus perkara ini. Sebagai orang yang taat hukum kita tentu memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada majelis hakim sembari terus memantau dan mengakawalnya agar tidak ‘masuk angin’. Apapun putusan hakim tentu saja wajib kita terima sebagai bentuk ketaatan kita pada sistem hukum yang berlaku. Kita percaya mejelis hakim formal akan memutus perkara ini dengan bijaksana, begitu pula kita percaya bahwa pemilih DKI akan menentukan pemimpinnya secara independen.
Terakhir, jika dilihat dari sisi putusannya, maka ada banyak skenario putusan dari ‘kedua persidangan’ yang akan terjadi. Skenario pertama keduanya bisa sama-sama memutuskan Ahok bersalah/menang. Skenario kedua, justru kebalikan dari yang pertama bisa juga keduanya memutuskan Ahok bersalah/kalah. Skenario ketiga bisa terjadi pada pengadilan rakyat (pemilih DKI) Ahok dimenangkan, sementara dipengadilan formal Ahok diputus bersalah. Sementara skenario keempat kebalikan dari yang ketiga, bisa juga di pengadilan rakyat (pemilih DKI) Ahok dikalahkan sementara dipengadilan formal Ahok diputus tak bersalah. Pendeknya, apapun putusannya semuanya kita serahkan kepada proses hukum yang berlaku.
Penulis : Dadang Dermawan
Dosen Fisip Usu