MEDANHEADLINES, Pemerintah menetapkan tanggal 10 November menjadi Hari Pahlawan. Hari yang dipilih agar segenap anak bangsa mengingat perjuangan arek-arek Suroboyo melawan penjajah. Merdeka atau mati, begitu teriak Bung Tomo untuk membangkitkan semangat rakyat. Dari peristiwa itu terbersit makna, bahwa pahlawan adalah mereka-mereka yang berani mengorbankan dirinya untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara demi tujuan bersama.
Pasca kemerdekaan, sejumlah tokoh bermunculan mewarnai lembar perjalanan bangsa. Mengacu pada makna pahlawan diatas, Munir layak dikedepankan sebagai satu sosok yang memenuhi seluruh kriteria kepahlawanan. Munir adalah bentuk lain dari keberanian. Selama era orde baru, wacana tentang hak asasi manusia (HAM), orang hilang, kebebasan pers, penegakan hukum, kekerasan terhadap sipil oleh militer dan sejenisnya adalah sesuatu yang dianggap tabu. Namun Munir hadir sebagai pembeda. Suaranya begitu lantang mencungkil dosa-dosa pelanggaran HAM yang kala itu tak tersentuh. Munir mengajarkan untuk tidak takut. Sebab ketakutan itu justru lebih menakutkan dari hal yang ditakuti.
Pengorbanan dan semangat Munir dalam membela kaum lemah, hina dan tertindas menjadi pelajaran tak ternilai bagi generasi-generasi selanjutnya. Ya, walaupun kehilangan nyawa adalah konsekuensi yang harus ia terima. Sebagaimana esai Goenawan Mohamad yang di peruntukkan pada kedua anak Munir, “Ayahmu, syuhada itu, telah memberikan yang paling baik dari dirinya. Itu sebabnya kami berkabung, karena kami gentar bahwa tak seorang pun akan bisa menggantikannya”.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Begitulah Soekarno, Presiden pertama sekaligus founding father Negara ini menyampaikan amanat sekaligus meletakkan posisi para pahlawan sedemikian layak, begitu tinggi. Sayangnya, untaian kalimat itu kini hanya tinggal slogan dan jargon yang di pakai para elit di momentum hari pahlawan. Bukti nyatanya, kasus kematian Munir sang pahlawan penegakan HAM di Indonesia sampai sekarang masih mengambang lalu menguap entah kemana.
Dokumen asli Tim pencari Fakta (TPF) kasus Munir disinyalir sudah raib. Padahal dokumen itu merupakan hal penting dalam usaha tindaklanjut kasus Munir. Hasil TPF bagian dari proses Pro Justicia yang selanjutnya dapat di proses ke tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Dengan demikian, setidaknya masa depan pengungkapan kasus Munir masih memiliki harapan. Namun, Baik SBY dan Jokowi terkesan lempar bola, sambil sekali waktu mengeluarkan apologi kalau masing-masing pihak sudah bekerja serius mengungkap kasus Munir. Cerita TPF tak lebih jadi bahan drama yang dimainkan oleh kedua rezim (SBY dan Jokowi). Di sisi lain publik terpaksa menjadi penonton setia menanti keadilan kasus Munir.
Sungguh, kepergian Munir adalah kehilangan besar untuk kami anak bangsa yang sudah hampir kehilangan panutan, miskin idola. Anak bangsa yang letih melihat sandiwara politik para penguasa yang berseliweran di televisi kami. Masih adakah yang berani lantang sepertinya? Meneriakkan keadilan dan melakukan pembelaan pada mereka yang lemah? Entahlah. Yang pasti, kami selalu yakin Munir tidak sepenuhnya pergi. Sebab spiritnya, ide-ide, dan keberaniannya tetap tinggal bersama kami. Munir, kau akan selalu ada dan berlipat ganda.!
Penulis : Amin Multazam
Aktifis KontraS Sumut