Akankah Lahir KESATRIA Bangsa Kembali?

MEDANHEADLINES, – Alangkah jarangnya kita temui bangsa-bangsa di dunia ini kembali membangun etika kekesatriaan dalam diri pemimpin maupun rakyatnya. Sebaliknya, hampir setiap saat dihadapan kita selalu muncul manusia-manusia pecundang, pemalak, penipu, korup, pemerkosa, pecandu narkoba, perusak hutan dan penzina. Semua media berlomba menceritakan dampak buruk dari sikap kita. The bad news is a good news. Kita tak lagi mendapati orang-orang yang hidup dengan kejujuran, keberanian, kesederhanaan, pekerja keras, tegas dan adil sebagaimana kehidupan para kesatria pahlawan bangsa.

Padahal, hanya pada kesatrialah kita belajar bagaimana mereka lahir sebagai petarung terhormat dalam kehidupan keseharian mereka, sekaligus dalam menjalankan pekerjaan mereka. Mereka penuh dengan etika kekesatriaan yang khas yang menjadikan diri mereka ada pada level tertinggi kemuliaan (Nitobe, 2015). Akhirnya, cerita para kesatria pahlawan bangsa mengusir penjajah-pun kini tinggal sekedar cerita di buku sejarah. Kita hanya bisa mengenang dan memperingati kematian mereka tanpa bisa mempraktekkan sikap hidup mereka yang mulia. Bagaimanakah sesungguhnya pribadi para kesatria yang mestinya kita teladani itu? Akankah lahir kembali para kesatria di bumi pertiwi untuk mengusir para penjajah dan penjarah bangsa kita saat ini?

Kesatria Pada Masyarakat Jepang  

Pada masyarakat Jepang sikap kesatria (bushido) masih menjadi kekuatan dan keindahan yang hidup dan menjadi impian diantara masyarakat Jepang. Meski tidak lagi memiliki bentuk yang jelas, karena era kekesatriaan sudah lewat, namun atmosfer moralnya masih sangat terasa dan masih mempengaruhi masyarakat umumnya. Betul, bahwa sikap kesatria sangat disadari lahir dari kondisi masyarakat pada jaman feudal (kekaisaran) terdahulu. Dimana para kesatria adalah kelas masyarakat istimewa yang berasal dari keturunan para petarung. Pada masanya kelas ini lahir begitu saja sebagai suatu proses alamiah dimana pria-pria yang lemah dan penakut tersingkir dan hanya menyisakan pria-pria tangguh, maskulin, dengan kekuatan brutal (Nitobe, 2015:25). Namun meski suasana kekesatriaan telah menjadi sejarah namun bagi masyarakat ruh-nya masih terasa hingga saat ini.

Bushido yang bersumber dari nilai-nilai ilahiah (Buddhisme & Shintoisme) menciptakan perasaan tenang dan yakin pada takdir, ketaatan, ketabahan, ketenangan saat melihat bahaya atau bencana. Jiwa kesatria selalu merendahkan kehidupan duniawi dan ramah pada kematian. Masyarakat Jepang percaya nilai-nilai seperti kesetiaan terhadap kedaulatan, penghormatan terhadap leluhur, dan bakti adalah merupakan kemurnian ilahiah yang ada pada jiwa manusia. Prinsip Shinto meliputi dua fitur dominan yaitu patriotism dan kesetiaan. Sebaliknya, dalam tradisi Samurai, buku-buku karya para pemikir-cendekiawan-akademisi justru sering disebut sebagai buku pemabuk. Bagi para kesatria, mereka yang sedikit baca adalah orang yang tidak begitu sombong, sementara yang banyak baca adalah orang yang sangat sombong dan keduanya sama-sama bukan orang yang menyenangkan.

Ajaran paling utama dalam kode Samurai adalah kejujuran atau keadilan. Tidak ada tindakan yang paling memuakkan bagi Samurai daripada tindakan kebohongan dan kecurangan. Para Bushido meyakini bahwa kejujuruan adalah kekuatan untuk memutuskan tindakan tertentu sesuai dengan alasan, tanpa kebimbangan, untuk mati jika hal yang benar adalah mati, untuk menyerang jika hal yang paling benar adalah menyerang. Dalam bahasa lain dimaknai bahwa kejujuran adalah tulang yang memberikan ketegapan dan bentuk. Tanpa adanya tulang, kepala tidak bisa bertahan di bagian atas tubuh, tangan juga tidak bisa bergerak dan kaki tidak akan bisa berdiri. Kebenaran menurut Mencius adalah jalan lurus yang sempit yang harus diambil manusia untuk mendapatkan surganya yang hilang. Gishi (orang jujur), adalah seorang superior dibandingdengan nama apapun yang melambangkan penguasaan teknik belajar dan seni. 47 kesetiaan dikenal juga sebagai 47 Gishi. Turunan dari Gishi adalah Giri yaitu tanggung jawab, murni dan sederhana. Dasar Giri adalah cinta, seperti seseorang anak yang memiliki tanggung jawab untuk menolong dan melindungi orang tuanya atas dasar cinta bukan dasar yang lain (Nitobe, 2015).

Sikap Kesatria Pahlawan

Dalam catatan sejarah bangsa Indonesia, bangsa Indonesiapun pernah memiliki para kesatria kesuma bangsa. Mereka adalah para pemuda yang hidup menjelang kemerdekaan Indonesia hingga memerdekakan Indonesia tahun 1945. Merekalah pemuda pejuang pahlawan bangsa. Pemuda kesatria yang hidup dengan kesederhanaan, kejujuran, kehormatan, keberanian, keikhlasan, dan sikap rela berkorban harta dan jiwa. Selalu menempatkan kepentingan bangsa diatas segala kepentingan lainnya. Selalu menegasikan kepetingan pribadi dan keluarga. Sanggup mati untuk membela bangsa dan generasi pelanjut. Dengan enteng mengorbankan harta bendanya untuk alat perjuangan. Tak ada beda dengan para samurai, mereka pun percaya bahwa nilai-nilai kehormatan dan kemuliaan yang mereka peroleh itu adalah berasal dari nilai-nilai Ketuhanan yang hidup dalam diri mereka.

Bagaimana jiwa kesatria saat itu terbentuk? Lingkunganlah yang paling berperan utama membentuk kepribadian manusia. Situasi dan kondisi kala itu yang tertindas akibat penjajahan Belanda telah mendorong timbulnya kesadaran pemuda akan pentingnya persatuan, persaudaraan, dan keberanian untuk mengusir penjajah dari bumi Nusantara. Banyak guru-guru bijak seperti Tjokroaminoto dan teman-teman yang tampil ke depan menyediakan waktunya untuk membimbing dan menuntun para pemuda kala itu. Para generasi muda seolah hidup pada lahan yang subur tempat bersemainya nilai-nilai kesatria yang sangat penting bagi kemerdekaan Indonesia.

Penutup

 Era kemerdekaan sudah usai. Sudah 71 tahun kita mewarisi suatu bangsa-negara yang merdeka dan berdaulat. Namun sayang, meski sudah mewarisi suatu bangsa-negara yang luar biasa ternyata kita bukan ahli waris yang baik dan pantas. Dari tangan kita sendiri berbagai masalah terus datang dan tak mau pergi. Tanpa henti setiap media menceritakan buruknya perbuatan kita. Kita gandrung korupsi, merusak alam, merusak moral, doyan kriminal, doyan narkoba, doyan seks bebas dan tak punya malu. Sementara pembangunan akhlak hanya sebatas slogan dan kedok belaka.

Anehnya dari pemimpin-lah rakyat belajar korupsi, belajar berdusta (sumpah palsu), belajar bermain proyek, belajar jual-beli suara, belajar ‘bermain perempuan’, belajar narkoba, dan belajar merusak alam (membabat hutan). Pantas saja jika saat ini, rakyat berjalan tanpa arah. Rakyat berjalan tanpa tuntunan dari pemimpin teladan. Kita berjalan tanpa arah yang jelas, seperti orang bingung yang sedang berjalan. The blind leading the blind. Orang buta memimpin orang buta. Kita sedang berada ditubir jurang.

Orang bijak sudah mengingatkan bahwa suatu bangsa tidak bisa dipimpin oleh suatu komplotan kepentingan yang mementingkan kelompoknya. Suatu bangsa mestinya dipimpin oleh orang bijak, yang penuh dengan hikmah kebjaksanaan. Hanya pemimpin bijak yang dituntun nilai Ketuhanan, Kemanusia, Kebangsaan, Kebijaksanaan dan Keadilan sebagaimana yang termaktub dalam Pancasila.

Sudah tak terperi kerinduan kita akan hadirnya manusia-manusia kesatria pahlawan bangsa. Kita rindu para kesatria yang sanggup mengorbankan harta dan jiwanya untuk membangun bangsa kita. Kita rindu pemimpin yang sanggup mengesampingkan kepentingan pribadinya untuk membebaskan bangsa dari perbudakan bangsa asing saat ini. Kita rindu pemimpin sederhana namun penuh kemuliaan yang pantas diteladani. Kita rindu pemimpin yang tidak sekedar bermental negarawan melainkan bermental mondial yang memikirkan manusia semesta raya. Kita butuh pemimpin yang tidak hanya menjadi juru selamat, menjadi penyelamat bagi dirinya dan keluarganya melainkan yang akan menyelamatkan dunia dari belenggu syahwat.

Mungkinkah Pilkada Serentak 2017 akan lahir pemimpin yang dirindukan rakyat? Atau akankah yang lahir badut-badut kembali? Mungkinkah kerinduan akan pemimpin yang berjiwa kesatria itu akan terwujud? Ataukah ini hanya impian sebatas mimpi basah belaka? (Selamat Merenungkan Sikap Kesatria Para Pahlawan Kesuma Bangsa 10-November-2016)

Penulis:Dadang Darmawan, M. Si

Dosen FISIP USU

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.