MEDANHEADLINES, – Pemilihan Presiden Amerika kembali mengukir sejarah baru. Donald John Trump akhirnya terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat ke-45 mengalahkan Hillary Clinton dan sekaligus mengalahkan puluhan lembaga survey serta mengalahkan harapan pemimpin negara-negara NATO yng merupakan sekutu Amerika dan pemimpin dunia umumnya. Trump terpilih mengumpulkan sebanyak 289 electoral college berbanding Hillary yang memperoleh 218. Meski Hillary dan pendukungnya serta para fans Partai Demokrat hampir tak percaya dan hanya bisa aksi serta menangis, namun semua itu adalah nyata sehingga Hillary pun langsung sadar dan mengucapkan selamat kepada Trump. Bahkan Obamapun langsung mengundang Trump datang ke Gedung Putih untuk mempersiapkan transisi pemerintahan Amerika kepada Trump.
Pemilihan Presiden AS kali memang diwarnai hal-hal yang krusial sekaligus kontroversial. Dunia tempat kehidupan tujuh milyar manusia di atasnya kini sedang terancam peperangan yang hebat yang sedang digelorakan oleh kekuatan Timur (Rusia) dan Amerika (Barat) sendiri. Kondisi ekonomi global pun tidak bisa dikatakan baik malah dapat dikatakan sedang krisis (buruk). Sementara tata pergaulan dunia pun sedang dipengaruhi oleh sentimen agama, ancaman teroris, arus pengungsian, krisis energi yang membuat masing-masing negara menjadi over protected.
Di dalam negeri AS sendiri baru kali ini kampanye Presiden tidak berbicara program dari masing-masing kandidat yang selama ini dibanggakan mereka. Kampanye kali ini justru lebih banyak saling serang pribadi, mengungkap skandal-skandal pelecehan pribadi dan ancaman-ancaman. Terlebih masa lalu Donald Trump yang hidup dalam lingkungan kemewahan yang selalu ‘ugal-ugalan’ jelas menjadi bulan-bulanan media. Bisa dikatakan secara moral Donald Trump bukan pribadi yang meraih simpatik pemilih saat kampanye apalagi bagi pemilih perempuan. Hal ini dibuktikan dengan debat kandidat yang ia lakukan dengan Hillary yang semuanya memenangkan Hillary. Tidak ada yang keluar dari mulut lantam Trump saat debat kecuali ia selalu mengeluarkan kata-kata kasar dan menyerang pribadi Hillary dan juga Obama. Ia mengatakan Hillary menjijikkan, Obama tidak dilahirkan di AS (meski kemudian ia ralat), dan Amerika dan Dunia akan hancur (menyulut PD III) jika Hillary terpilih.
Namun siapa sangka jika akhirnya publik AS, pemilih AS akhirnya pada hari rabu, tanggal sembilan november semalam memilih Donald Trump sebagai Presiden AS yang baru. Sontak dunia terkejut. Banyak kepala negara bahkan sekutu AS yang bingung dan pusing atas pilihan rakyat AS. Dalam situasi seperti ini aneh rasanya rakyat Amerika memilih Trump yang jelas-jelas jauh dari penguasaan geo politik dan ekonomi global. Bahkan dalam kampanyenya ia mengatakan bahwa sekaranglah waktunya sekutu Amerika harus membayar (Dewi Fortuna, 9 November 2016). Mungkin saja Trump merespon pernyataan-pernyataan sekutu Eropa yang terang-terangan mengatakan bahwa jika Trump terpilih Uni Eropa sulit bekerjasama dengan negara adikuasa tersebut. Sambutan negatif juga datang anggota senior partai Konservatif Jerman pimpinan Angela Merkel, Norbert Roettgen yang mengatakan bahwa Jerman tidak tahu apa yang akan dilakukan ke depan, sebab yang mereka tahu hanyalah kemarahan Trump yang meledak-ledak terhadap Washington (pemerintahan Obama) dan kini menjadi pemimpin dunia.
Republik & Kemarahan Terhadap Washington
Ada hal-hal yang selalu secara vulgar diungkap oleh Trump yang menunjukkan kebenciannya kepada Obama bisa secara pribadi bisa juga secara kebijakan. Terpilihnya Obama yang berasal dari ras Afro-Afrika selama dua periode berturut-turut bagi sebagian masyarakat kulit putih Amerika yang ortodoks jelas menyakitkan. Terlebih kebijakan-kebijakan Obama yang sangat lentur terhadap arus imigran dari luar (Meksiko/Amerika Latin, Asia, Timur Tengah, Afrika), dan terlebih kedatangan imigran muslim yang masuk ke Amerika. Obama juga kerap memainkan kebijakan yang lentur terhadap sekutunya di Eropa yang selalu membiarkan Amerika berjuang ‘sendirian’ di berbagai ‘medan tempur’ yang jelas-jelas sangat merugikan Amerika. Pada bahagian ekonomi Obama dianggap memainkan peran Amerika sebagai penyeimbang dalam pasar global yang cenderung tidak menguntungkan Amerika.
Pada sisi lain Trump dan Partai Republik AS memang partai yang selalu menjadi corong bagi orang-orang kelas menengah ke atas Amerika yang selama ini begitu tertekan dibawah rejim Obama. Mereka tidak lagi mendapat keistimewaan pajak yang rendah dan bisnis mereka banyak tak berkembang karena kebijakan Obama yang pro masyarakat kelas bawah. Dengan terpilihnya Trump setidaknya dunia tahu apa kebijakan yang akan diambil oleh Trump.
Seorang analis Amerika mengatakan kemarahan Trump adalah mewakili kemarahan masyarakat Amerika terhadap tindakan dan kebijakan Amerika saat ini baik di dalam maupun di luar negeri. Bahkan ia mengatakan hanya Donald Trump lah calon Presiden yang mampu mengungkapkan apa yang selama ini tersembunyi dan diam dalam diri rakyat Amerika menjadi begitu terbuka dan vulgar muncul kepermukaan. Trump lah yang berani menyampaikan kepada dunia bahwa Amerika tidak senang pada pengungsi Meksiko, dia bahkan akan membangun tembok diperbatasan Amerika-Meksiko. Trump juga menunjukkan kekhawatiran dan kebencian masyarakat Amerika terhadap Islam dan ia berencana menutup pintu bagi orang Islam masuk ke Amerika. Trump juga mengungkap bahwa rakyat Amerika benci pada sekutu-sekutu Eropa yang hanya menjadi parasit bagi Amerika. Bahkan ia lebih ingin ‘berbisnis’ dengan Rusia ketimbang perang. Khusus untuk dalam negeri tentu saja Trump habis-habisan menyerang pemerintahan Obama yang telah membawa rakyat Amerika tidak berkembang. Ia bahkan berjanji akan membawa kemakmuran Amerika dua kalipat dari yang sekarang.
Sebagaimana yang juga banyak disinggung pengamat bahwa tipikal Presiden Amerika selama ini sesungguhnya cenderung menampilkan kebijakan dan sikap serta bahasa yang diplomatik dan selalu menempatkan kedudukan Amerika sebagai adidaya yang mengontrol dunia meskipun dengan berbiaya sangat mahal. Namun oleh Trump semua itu ia ubah. Trump tampil dengan bahasa sarkastik dan vulgar yang tidak begitu perduli dampaknya terhadap dia. Trump justru lebih mengedepankan memproteksi Amerika dari kepentingan global yang merugikan, yang menurut Zulfian (INDEF) akan membawa dunia penuh dengan ketidak pastian dan semangat deglobalisasi. Ide Inggris dengan kebijakan meninggalakn Uni Eropa (Brexit) mungkin saja masuk akal bagi Trump untuk dia terapkan di Amerika. Bahkan semangat deglobalisasi mulai muncul dibeberapa negara Eropa.
Penutup
Amerika (Barat) dan Dunia tentu saja tidak bisa dilepaskan. Sebab dunia saat ini dikontrol secara dominan baik secara iedologi, politik, ekonomi, sosial, budaya maupun militer oleh Amerika yang menganut paham Liberal. Jelas ipoleksobudmil global hari ini akan berdampak dari terpilihnya Trump sebagai pemimpin dunia khususnya Amerika saat ini. Jika Trump mengatakan bahwa jika Hillary terpilih sebagai Presiden maka akan terjadi PD III maka oleh masyarakat dunia dikatakan sebaliknya, jika Trump terpilih sebagai Presiden Amerika maka dunia akan menuju ketidakpastian dan bahkan kehancuran. Kesimpulannya, ternyata siapapun yang terpilih ternyata dunia tetap menuju masa depannya yang suram dan penuh dengan kegelapan. Tampaknya masalah dunia ini bukan soal Trump, Hillary ataupun Amerika semata melainkan mungkin ini soal waktu. Waktunya sudah dekat, dimana kita akan menuai semua hasil perbuatan yang kita warnakan terhadap ummat manusia di muka bumi ini.
Penulis: Dadang Darmawan, M.Si
Dosen FISIP USU