RAGAM PERSFEKTIF PIKIRAN MANUSIA

MEDANHEADLINES,- Satu karunia yang luar biasa ada pada manusia adalah diberikannya akal-pikiran oleh Tuhan yang Maha Kuasa. Tidak seperti mahluk lainnya, manusia menjadi satu-satunya mahluk yang mampu membangun adab dan peradaban yang mulia di alam semesta. Tidak berlebihan jika manusia sajalah yang mampu mewakili Tuhan untuk menjaga dan merawat alam semesta raya. Mengingat kemuliaan dan pentingnya keberadaan manusia tidak berlebihan jika seluruh mahluk yang ada bertugas bagi melayani kepentingan manusia. Atas pelayanan tersebut pantas jika manusia bersyukur akan nikmat yang diberikan oleh Tuhan melalui alam. Lebih dari itu sudah semestinyalah manusia menyayangi dan mengasihi seluruh mahluk yang ada dengan cara memperlakukan mereka secara adil dan bijaksana. Intinya keberadaan seluruh mahluk di alam semesta ini sesungguhnya adalah sebagai wujud kasih sayang Tuhan kepada manusia. Apapun yang dibutuhkan manusia alam selalu menyediakannya.

Namun pada sisi lain, keberadaan akal-pikiran justru kerap menimbulkan masalah bahkan malapteka bagi manusia sendiri. Akal-pikiran yang dimiliki manusia ibarat kata pepatah ‘senjata makan tuan’. Manusia tersandera bahkan terbunuh karena rekayasa akalnya sendiri. Dengan akal-pikiran manusia justru menentang hukum alam bahkan menentang Tuhan. Dengan akal-pikiran manusia sanggup menghancurkan alam untuk memuaskan hawanafsunya. Dengan akal-pikiran manusia membinasakan mahluk lainnya, bahkan membinasakan sesama manusia. Dengan akal-pikiran manusia memiliki persfektif yang beragam satu dengan yang lain yang saling bertentangan dan memunculkan berkonflik. Dengan akal-pikiran manusia saling berperang, menipu dan mengingkari satu dengan yang lain.

Lambat laun manusia mulai menentukan tujuan hidupnya sendiri meski tujuan itu jauh dari kehendak Tuhan. Manusia merasa percaya diri dan melepaskan dirinya dari bayang-bayang Tuhan dan bahkan menjadi ‘Tuhan’ itu sendiri. Dengan percaya diri manusia kemudian membuat sistem hukum yang mengatur hidup dan kehidupannya sendiri. Manusia kemudian mulai terbiasa tanpa merasa berdosa menjajah, memperbudak dan menghisap manusia lainnya. Sementara manusia lain yang terjajah dan menjadi budak terus berusaha melawan dan memerangi mereka yang menjajah.

Hingga akhirnya, manusia sampai pada saat dimana ia menuai masalah yang telah diciptakannya sendiri. Masalah manusia kian pelik dan rumit sebagai dampak dari multi persfektif (sudut pandang) yang dimilikinya. Manusia semakin kehilangan pegangan dan pedoman yang hakiki atas nilai perbuatan baik atau buruk. Manusia kini hidup berdampingan dengan berbagai pro-kontra yang dia ciptakan sendiri. Manusia berkonflik satu dengan yang lain setiap hari.

Secara faktual hari ini kita selalu dipertontonkan melalui mata-kepala kita sendiri ataupun melalui media-media ciptaan manusia sendiri tentang bagaimana dua persfektif yang pro-kontra muncul secara bersamaan pada satu informasi, kasus, peristiwa, atau perbuatan. Kesemuanya tentu saja semakin membuat masyarakat bingung, linglung dan mutung. Semua hal bahkan menjadi sumber konflik akibat sudut pandang yang berbeda-beda. Contoh kasus dapat kita saksikan saat penyelenggaraan pemilihan ratu kecantikan dunia (Miss World) di Indonesia tahun 2013 yang silam. Kelompok Islam datang dengan pandangan menentang bahkan memfatwa haram pelaksanaan pemilihan ratu kecantikan dunia (Miss World) di Indonesia. Namun saat yang bersamaan masyarakat Bali yang mayoritas Hindhu justru mempersilahkan pemilihan ratu kecantikan dunia (Miss World) tersebut berlangsung di Bali. Namun, ditengah pro-kontra tersebut pemilihan ratu kecantikan dunia (Miss World) tersebut justru terselenggara dengan sukses di Bali. Jelas, ada banyak hal yang telah menimbulkan pro-kontra ditengah masyarakat kita telah berlangsung setiap hari.

Ragam Sudut Pandang & Konflik

HAL ANTI PENJAJAHAN. Masih segar dalam ingatan kita jika hasil penjajahan BELANDA di Nusantara/Indonesia selama ratusan tahun adalah dijarahnya hasil-hasil bumi, kerja paksa, kematian akibat penindasan dan senjata, serta PERBUDAKAN yang berlngsung lama dan membekas pada diri rakyat Indonesia. Meski Penjajah BELANDA telah berakhir namun ternyata telah meninggalkan penyakit mental yang tetap bersemayam dalam pikiran rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia mudah dan selalu rendah diri ketika berhadapan dengan orang-orang asing.

 

Meski sudah merdeka, namun rakyat Indonesia selalu merasa tidak sejajar dengan bangsa-bangsa asing lainnya. Kita selalu tampil rendah diri, menempatkan diri kita rendahan dan murahan ditengah pergaulan bangsa-bangsa. Bahkan hari ini, tanpa merasa bersalah kekayaan alam kita, tambang, minyak maupun gas dengan sukarela kita ‘serahkan’ kepada pihak asing. Benar, kemerdekaan tetap diperingati setiap tahunnya, penjajahan kita benci, namun sikap mental kita selalu menghamba pada bangsa-bangsa asing tak juga hilang. Kita benci penjajah, namun perbuatan kita seolah ‘pingin’ dijajah. Meski paradoks, namun keduanya berjalan beriringan.

HAL NEGARA. Menurut para pemikir kritis (stateless), keberadaan negara atau pemerintah hanyalah cerminan kekuasaan kelompok yang bertujuan hanya untuk melakukan penindasan kepada rakyatnya semata. Meski, ada 400-an negara dan pemerintahan di seluruh dunia namun ummat manusia dimuka bumi ini tetap saja banyak yang tertindas di negaranya sendiri. Bahkan rezim pengusa kelihatan cuek terhadap kerusakan dan kehancuran alam yang luar biasa. Telah terjadi kerusakan, bencana alam dan perbudakan antara manusia yang hebat. Sama saja dengan kasus Indonesia, meski sudah 71 tahun pemerintahan berjalan ternyata nasib rakyat semakin merana, hutang pemerintah semakin tinggi, harga-harga semakin naik, sumberdaya alam beralih kepemilikannya kepada asing, ekonomi dikuasai oleh asing dan aseng, negara dan pemerintah semakin tidak berdaulat dan berwibawa dimata dunia.

Namun bagi pemikir kenegaraan lainnya, adanya negara dan pemerintah yang berdaulat justru maha penting dan sebagai solusi untuk mengatasi masalah. Dengan negaralah suatu bangsa dapat membahagiakan kehidupan rakyatnya. Karena itu banyak bangsa-bangsa di dunia merasa penting untuk merdeka dan tampil menjadi negara baru yang berdaulat.

Masalahnya, negara dengan sistem pemerintahannya selalu tidak introspeksi jika kebijakan-kebijakan yang mereka ambil justru menjadi sumber masalah. Akhirnya yang kita lihat keberadaan negara dengan berbagai sistem pemerintahannya di muka bumi tetap berjalan namun keruskan alam dan moral manusia kondisinya semakin buruk. Para penyelenggara negara tetap saja berfikir bahwa mereka sudah berbuat yang terbaik untuk bangsa, banyak pejabat tetap teriak NKRI harga mati, namun kebijakan mereka yang menguntungkan pribadi, perilaku mereka yang korup, kebijakan yang menindas rakyat kecil dengan gembira mereka jalankan. Hadeuhhhh…

HAL PEMBANGUNAN BANGSA. Negara (state) memiliki makna yang berbeda dengan bangsa (nation). Negara lebih menunjukkan keberadaan suatu organisasi/kelompok, yang memiliki batas-batas teritorial dan memiliki sistem hukum tersendiri sebagai alat pergaulan antar negara. Sementara bangsa lebih menunjukkan sikap kebersamaan berdasarkan nilai-nilai luhur yang disepakati oleh suatu kaum/kelompok. Banyak bangsa-bangsa eksis di muka bumi ini tanpa memperdulikan bahwa mereka adalah suatu negara. Mekanisme adat-istiadat suatu bangsa kadang sudah cukup untuk menata masyarakat tanpa perlu dipertegas secara hukum formal layaknya seperti negara. Banyak pakar sepakat bahwa bangsa (nation) muncul terlebih dahulu baru kemudian muncul negara (state). Contoh, sebelum lahirnya negara Indonesia telah lahir bangsa-bangsa yang ada di Nusantara ini. Lebih tua bangsa Batak ketimbang Negara Indonesia.

Manusia bersatu terlebih dahulu karena nilai-nilai yang sama meski tidak memiliki negara (teritorial). Jadi yang menyatukan terlebih dahulu adalah nilai dan pengalaman dan kesepakatan akan nilai bersama. Menurut Otto Bauer bahwa bangsa adalah satu persamaan karakter dan watak, dimana persatuan karakter dan watak tersebut sejak lahir, tumbuh kembang karena adanya kesatuan pengalaman.

Sejak manusia melakukan revolusi modernnya maka keberadaan negara justru menjadi dinomorsatukan (dikedepankan). Sehingga terjadi perlombaan untuk memerdekakan suatu negara. Akhirnya, banyak bangsa-bangsa di dunia yang sudah terikat secara batiniah tersebut mesti memproklamasikan sebagai suatu negara. Kemunculan negara-bangsa (nation-state) menjadi penanda tersingkirkannya nilai-nilai luhur yang menjadi pedoman dalam menata masyarakat. Dengan kerasnya ideologi negara-bangsa (nation-state) tersebut dunia kemudian menjadi terkotak-kotak dan bahkan terkoyak-koyak. Setelah terkotak-kotak maka dunia kemudian memasuki fase persaingan antra negara yang satu dengan negara yang lain.

Pada tahun 1940-1950-an, para akademisi percaya bahwa pembangunan budaya adalah faktor utama dan penentu pembangunan nasional suatu negara atau bangsa yang terpuruk pasca PD II, diantara akademisi tersebut adalah Margaret Mead, Ruth Benedict, David Mc Clelland, Gabriel Almond, Sidney Verba, Lucian Pye, dan Seymour Martin Lipset. Pembangunan budayalah yang akan melahirkan nilai dan etos kerja bagi suatu bangsa. Namun tahun 1960-1970-an apara akademisi setelahnya meningalkan konsep budaya tersebut. Mereka lebih condong memberi konsep pembangunan dengan konsep-konsep pembangunan materialistik mulai dari pinjaman (hutang), alih teknologi, penasehat ekonomi-politik, kontraktor industri/perkotaan/pekerjaan umum, permesinan, dll. Pendeknya pembangunan adalah pembangunan dari segi fisik bukan lagi mental. Para akademisi inilah yang disebut teoritisi ‘developmentalism”.

Namun tahun 1980-1990-an mulai tampak adanya kegagalan pembangunan di berbagai negara Dunia III yang baru merdeka. Banyak negara berkembang justru melahirkan rezim-rezim diktator yang memperkaya keluarga dan kolega/kelompoknya, korupsi merajalela, dana pembangunan habis untuk poya-poya, sementara masyarakat tetap berkutat dalam kemiskinan dan hutang luar negeri semakin membengkak bahkan mulai terlihat kesulitan bayar bunga hutang dan cicilan pokok. Beberapa riset yang dilakukan oleh akademisi seperti Lawrence Horison (1985), Robert Putnam (1993), Ronal Ingelhart (2000) membuktikan bahwa kegagalan pembangunan tersebut salah satunya sebagai dampak dari hilangnya karakter pemimpin dan hilangnya karakter bangsa (Yudi Latief, 2014). Namun tak dapat dipungkiri, gagasan developmentalism tetap berjalan, sementara penolaknya yang mengedepankan pembangunan nilai-budaya pun tetap berlangsung.

Penutup

Akal-pikiran manusia adalah merupakan pemberian (karunia) yang luar biasa dari Tuhan yang Maha Kuasa untuk menjadikan manusia sebagai mahluk yang beradab dan penuh dengan kemuliaan. Namun terrnyata, dengan akal-pikiran yang dimilikinya manusia justru terjatuh dari kemuliaannya sehingga derajatnya sama seperti hewan atau bahkan lebih buruk lagi. dengan akal manusia menembus batas dimensi kemanusiaannya, sehingga manusia kerap menjadikan dirinya ‘yang tertinggi’ dan memperbudak manusia lainnya.

Manusia lupa jika hanya dengan mengandalkan akal-pikirnya itu ia tak akan mampu melihat dan membaca tanda-tanda alam sekaligus tanda-tanda zaman. Manusia kini telah terjebak oleh figura dunia yang telah ia ciptakan sendiri beserta dengan kerumitan yang ada di dalamnya. Manusia merasa yakin mampu menata dunia yang dihuni oleh 7 Milyar manusia yang hidup di dalamnya meski kenyataannya tidak. Hasil pikiran manusia kemudian menuai konflik yang tak berkesudahan sebab semua manusia kini telah terancam akibat perbuatannya sendiri.

Penulis:

Dadang Darmawan, M.Si

Dosen pada DIA FISIP USU

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.