Ahmad Wahib
MEDANHEADLINES.COM – Separuh abad yang lalu, Ahmad Wahib dalam Catatan Hariannya yang telah disunting oleh dua sahabatnya — Djohan Effendi dan Ismed Natsir– menjadi sebuah buku dengan judul Pergolakan Pemikiran Islam mempertanyakan soal banyaknya mahasiswa yang bermental primitif karena bergabung dalam sebuah organisasi mahasiswa berdasarkan kedaerahan dan kesukuan.primitif Dalam Catatan Harian tertanggal 16 Maret 1969 itu berbunyi, “Saya tidak bisa mengerti mengapa orang-orang bersatu dalam organisasi karena persamaan daerah. Ada Mahasiswa Kalimantan, Keluarga Madura dan lain sebagainya. Ini mental primitif.”
Membaca tulisan Wahib tersebut, kita dapat menarik sebuah pengetahuan yang bersifat informatif soal keadaan organisasi tingkat kemahasiswaan tahun 1960-an yang dapat kita hubungkan dengan fenomena menjamurnya organisasi-organisasi kedaerahan tingkat mahasiswa di Indonesia. Tentu hal ini menimbulkan sebuah pertanyaan bagi kita mengapa Wahib menyebut mahasiswa-mahasiswa yang bergabung dalam sebuah organisasi berdasarkan kedaerahan bermental primitif? Hal ini pun tentu mendapat penyangkalan dan penolakan terhadap Wahib, terutama dari mereka (baca: mahasiswa) yang sedang berada dalam sebuah organisasi mahasiswa berdasarkan kesamaan daerah.
Dalam catatan tersebut, Ahmad Wahib tidak menjelaskan bagaimana maksud mental primitif itu. Akan tetapi, jika kita menganalisanya dengan historis pergerakan mahasiswa-mahasiswa pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan negara Republik Indonesia, kita akan temui alasan Wahib mengatakan mahasiswa yang bergabung dalam sebuah organisasi berdasarkan kedaerahan dan juga kesukuan adalah mahasiswa bermental primitif.
Bermental primitif di sini bukan tidak mengikuti kemajuan teknologi yang begitu canggih saat ini. Akan tetapi, maksud dari primitif di sini, interpretasi saya terhadap perkataan Wahib, adalah kembali sebuah kebiasaan mahasiswa-mahasiswa ataupun pemuda-pemuda kita seperti sebelum kemerdekaan. Seperti dahulu ada Jong Java, Jong Sumatra, Jong Batak, dan Jong-jong lainnya berdasarkan kedaerahan dan kesukuan.
Organisasi-organisasi mahasiswa atau pemuda seperti ini sangat tertutup (ekslusif), pergerakannya hanya soal kedaerahan. Hal ini membuat dahulu perjuangan tidak solid dan tidak besar. Perjuangan pemuda atau pun mahasiswa di organisasi-organisasi tersebut baru dapat melawan koloni waktu itu setelah diadakan Kongres Pemuda yang menghasilkan Sumpah Pemuda 1928. Kekuatan pergerakan pemuda-pemuda kita dahulu baru ditakuti setelah seluruh Jong-jong bersatu dalam Kongres Pemuda berjuang merebut kemerdekaan.
Nah, jika kita tarik pada kondisi saat ini. Fenomena new-jong sangat menjamur ditubuh mahasiswa yang melembaga menjadi organisasi mahasiswa berdasarkan kedaerahan, kita sering menyebutnya organisasi daerah atau sering disingkat Organda. Apa dampak buruk dari organda-organda ini?
Jelas dampak buruknya adalah, gerakan mahasiswa mulai terpecah belah yang hanya mengurusi daerah masing-masing. Tidak lagi terbentuk perjuangan bersama dalam kepentingan nasional. Tidak lagi berjuang untuk negara, tapi pada kesukuan dan daerahnya. Jika yang dahulu kita katakan bagian dari primitif, maka mahasiswa saat yang bergabung dalam organda tersebut sudah kembali seperti dahulu, alhasil menjadi primitif.
Belum lagi soal tujuan pendirian organda mahasiswa tersebut, penuh dengan kepentingan politik pragmatis (keuntungan) dan kepentingan politik praktis. Sebuah organda dibentuk pada saat momentun Pemilihan Umum (Pemilu) dan tujuannya untuk mengambil anggaran dana. Organda mahasiswa pun hanya dijadikan untuk meraup keuntungan materi bagi para petinggi-petinggi di organda mahasiswa tersebut.
Pergerakan perjuangan mahasiswa di Indonesia ini tidak lagi fokus soal isu-isu nasional, kebijakan-kebijakan nasional yang dapat memperlemah pembangunan negara. Kita contohkan misalnya, seberapa banyakkah hari ini organda-organda berjuang menentang RUU yang tidak pro-rakyat? Seberapa banyakkah mereka bergerak untuk kepentingan rakyat secara keseluruhan di negara ini?
Organda-organda mahasiswa kadang dijadikan juga sebagai alat seseorang untuk menyerang seorang pejabat di daerah. Saat organda-organda tersebut dihadapkan dengan sebuah gerakan yang di dalamnya tak menghasilkan materi berupa uang, maka mereka diam. Saat ada mahasiswa yang berbeda daerah mendapatkan diskriminasi, karena perbedaan daerah, mereka pun hanya diam. Artinya, tidak ada lagi jiwa solidaritas sesama mahasiswa. Ini merupakan mental primitif.
Menutup catatannya, Ahmad Wahib mengharapkan suatu waktu mahasiswa bermental primitif ini akan hilang. Tapi ternyata, harapan Ahmad Wahib pun tak terjawab. Hingga sampai saat ini, mahasiswa bermental primitif semakin menjamur saat ini. Setiap daerah ada organisasi mahasiswa kedaerahannya masing-masing dan banyak diminati mahasiswa. Dan anehnya sesama mereka pun ribut soal perebutan jabatan, sehingga terjadi dualisme. Hal ini pun menyebabkan semakin primitif lagi.
Menurut saya, organda-organda mahasiswa ini menumpulkan semangat aktivisme mahasiswa soal memperjuangan kepentingan nasional. Mahasiswa-mahasiswa di sebuah organda menjadi pragmatis dan idealismenya hilang sebab dikontrol oleh orang-orang yang mengambil kepentingan politis dan materialistis di di dalamnya.
Hal ini melumpuhkan pergerakan mahasiswa di Indonesia yang seharusnya dapat menjadi lokomotif perubahan negara. Kita ketahui sendiri sejauh mana proses berorganisasi mahasiswa dalam sebuah organda, nyaris tanpa proses, nyaris tanpa kaderisasi, nyaris tak ada penanaman ideologi kebangsaan, kecuali kedaerahan. Kegiatan-kegiatannya hanya seremonial belaka, tak ada peningkatan kualitas diri, dan lebih mirisnya membuat mahasiswa yang bergabung menjadi konservatif dan pemikirannya dangkal. Egosentris kedaerahan tinggi, ini akibat yang paling buruk mengingat negara kita Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila.
Saya melihat mahasiswa yang bergabung dalam sebuah organisasi berdasarkan kedaerahan pola pikirnya sempit dan kedaerahan. Jiwa kedaerahannya lebih tinggi daripada jiwa kebangsaannya. Pergerakannya hanya isu-isu sektoral yang sarat akan kepentingan dan untuk keuntungan.
Menutup tulisan ini, Soe Hok Gie pun dalam buku Catatan Hariannya yang diberi judul Catatan Seorang Demonstran mengatakan, “Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain.” Dan saat ini mementingkan golongan bibitnya dapat tumbuh dari sebuah organisasi mahasiswa berdasarkan kedaerahan.
Ahmad Wahib dan Soe Hok Gie rupa-rupanya dahulu juga mengeluhkan keadaan mahasiswa bermental primitif tersebut. Mental yang membuat mahasiswa menjadi apatisme terkait kondisi dan keadaan negara skala nasional, dan pergerakan mahasiswa terpecah belah. Mental primitif ini perlu untuk ditinggalkan oleh setiap mahasiswa yang sedang bergabung di dalam sebuah organisasi mahasiswa berdasarkan kedaerahan dan kesukuan.[]
Penulis: Ibnu Arsib (Penggiat Literasi di Sumut)