Sinamot, Tradisi Perkawinan Batak Toba Yang Mulai Pudar Seiring Zaman

ilustrasi (ist/gobatak)

MEDANHEADLINES.COM – Pernikahan merupakan wujud kesungguhan dan kesucian hati untuk saling melengkapi antara dua insan yang berbeda. Bagi masyarakat Indonesia sendiri, pernikahan mampu membedakan status sosial di dalam tatanan kemasyarakatan.

Bahkan, Profesor Koentjaraningrat mengatakan bahwa melalui pernikahan status sosial seorang manusia dalam masyarakat tempat ia berada juga akan beralih dari seorang remaja menjadi dewasa bahkan nilai status sosialnya menjadi lebih tinggi dari sebelumnya.



Terkhusus untuk masyarakat Batak Toba, acara pernikahan sangat sakral dan mempunyai kedudukan adat yang kompleks. Masyarakat Batak Toba tidak boleh sembarangan memperlakukan kedudukan pernikahan itu dengan enteng, bahkan untuk mengadakan suatu pernikahan dibutuhkan persetujuan beberapa orang tertentu agar prosesi acara berlangsung secara resmi menurut adat batak itu sendiri. Setidaknya, dibutuhkan kehadiran tulang (paman) agar suatu pernikahan dapat dikatakan baik dan mengikuti normalitas adat. Hal itu dapat diistilahkan seperti pentingnya sosok jenderal bagi tentara.

Sebelum pernikahan itu digelar, ada beberapa peristiwa adat yang harus dilaksanakan. Salah satunya adalah proses tawar-menawar harga mempelai wanita (sinamot). Posisi sinamot sendiri memiliki fungsional yang sangat penting dan bagi beberapa masyarakat batak menjadi strata sosial tertentu. Hal itu diperkuat dengan pernyataan Helga Septiani Manik dalam jurnalnya tahun 2011 yang mengatakan bahwa “dimana tradisi sinamot ini ditentukan berdasarkan status sosial (pendidikan, ekonomi) tiap individu” . Sehingga tidak heran jika kita menjumpai harga sinamot mempelai wanita dengan harga miliaran rupiah (belum termasuk biaya resepsi pernikahan).

Dengan kemajuan zaman dimana perputaran uang kian meningkat beserta kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya juga berimplikasi terhadap harga sinamot itu sendiri. Berdasarkan survei yang telah saya lakukan terhadap mahasiswa perempuan didapati bahwasanya mereka memasang tarif yang cukup mahal andai kata mereka dilamar seorang pria. Perempuan-perempuan tersebut memaparkan bahwasanya latar belakang pendidikan mereka menjadi modal utama untuk menentukan tarif sinamot. Hal itu tidak bisa kita persalahkan karena memang nilai moralitas, pengalaman, dan latar belakang pendidikan sangat berpengaruh dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Hal ini sejalan dengan pendapat Helga yang mengatakan “harga sinamot itu dipengaruhi oleh pendidikan, status sosial keluarga, kedudukan keluarga, dan perkembangan zaman.”


Namun, keempat elemen yang melandasi harga sinamot perempuan dapat dihilangkan, walaupun gadis tersebut dari keluarga terpandang apabila ia tidak suci lagi atau hamil diluar nikah dan status pernah menikah. Tentunya, konsekuensi sosial yang akan diterima sangat berat. Terlebih lagi, akan ada keruwetan ekstra untuk melalui prosesi adat pernikahannya.

Kemudian, dalam beberapa kasus, pria-pria banyak memalingkan perhatiannya kepada wanita di luar suku batak yang salah satunya disebabkan oleh mahalnya harga sinamot atau tidak mau melewati prosesi adat dengan seluruh kompleksitasnya. Walaupun sebagaimana kita ketahui hal itu jarang terjadi karena masyarakat batak dimana pun ia berada pasti telah memiliki hasrat kuat untuk mempertahankan identitas sukunya.

Mengikuti beberapa masalah di atas yang merupakan bukti konkret bagi postmodernisme untuk hadir. Menurut Louis Leahy, postmodernisme adalah suatu pergerakan ide yang menggantikan ide-ide zaman modern. Artinya, paham manusia akan semakin meningkat dan juga akan mulai mengevaluasi berbagai hal yang dirasa tidak perlu atau menyusahkan kehidupan untuk segera ditinggalkan.

Postmodernisme sungguh telah hadir sejak tahun 1960-an dan telah menjadi studi khusus bagi ilmu filsafat dan kebahasaan. Lahirnya paham postmodernisme diakibatkan karena gagalnya fungsi paham modernisme bagi kehidupan manusia. Konseptual modernisme bersifat mengutamakan ilmu pengetahuan di atas segalanya, egoisme kerap terjadi, serta martabat manusia sering dilupakan. Oleh karena itu, penghapusan-penghapusan berbagai hal kehidupan manusia dan memunculkan fenomena baru sedang terjadi di bumi ini. Senada dengan pendapat Leonard Sweet dalam bukunya yang berjudul “Postmodern Pilaims” dimana salah satu teorinya tentang Kemutiakan Kebenaran dimana hal yang dianggap benar belum tentu benar bagi orang lain.

Dalam hubungan postmodernisme dan sinamot saat ini mungkin belum terlihat jelas. Namun, berdasarkan ciri-ciri postmodernisme yang lebih mengutamakan memanusiakan manusia serta mengkikuti kata hati nurani, bukan tidak mungkin suatu saat di masa depan tradisi sinamot akan terkikis lambat laun. Hal itu bisa kita lihat dari prosesi dan mekanisme sinamot yang bisa jadi sangat merugikan manusia di masa depan.

Dengan tuntutan zaman yang semakin masif serta kebutuhan ekonomi yang kian tinggi, orang-orang akan membuat pikiran mengefisiensikan uang yang hendak dijadikan sinamot untuk kepentingan pribadi pasangan yang hendak menikah. Hal itu sah-sah saja mengingat nominal yang tidak sedikit dalam seserahan sinamot bisa dipergunakan untuk usaha atau pun kepentingan yang lebih menjanjikan demi menunjang kehidupan pasangan tersebut. Mengapa itu tidak boleh? Kan yang akan menjalani kehidupan itu mereka.

Selanjutnya, untuk mendiskusikan harga sinamot tidak bisa dilakukan dalam waktu yang singkat. Bahkan kerap kali terjadi ketegangan yang meliputi jalannya diskusi dalam menentukan harga sinamot. Biasanya, juru bicara antar mempelai akan memaparkan gagasannya, dan bila terjadi perbedaan akan menimbulkan friksi. Akibatnya bisa berujung kegagalan pernikahan dan menyebabkan calon mempelai stres. Bahkan, kita cukup sering mendengar kasus bunuh diri yang dikarenakan gagalnya menikah. Tentu ini menjadi konflik tersendiri bagi masyarakat batak itu.

Akan tetapi, menghilangkan kesulitan-kesulitan yang ada saat memperjuangkan pernikahan juga akan berdampak pada komitmen manusia untuk menikah. Jika pernikahan itu bersifat mudah dan dapat dilakukan dengan santai, itu sama saja dengan mengurangi rasa komitmen dan keseriusan pasangan dalam mempertahankan pernikahannya. Mereka mungkin tidak akan mempertimbangkan moral, harga diri keluarga, konsekuensi sosial, serta susahnya melakukan tradisi adat lagi apabila mereka akan menikah lagi suatu saat.

Andai kata pemantiknya cukup kuat, niscaya kobaran api menjadi besar dan mampu membakar serta menghanguskan segala sesuatu. Jika mengikuti alur pendapat Helga Septiani Manik yang mengatakan bahwa harga sinamot kian meningkat akibat tuntutan zaman, hal itu suatu saat akan menjadi beban yang tidak dapat ditanggung lagi. Dengan kemajuan pendidikan manusia di masa depan sungguh sangat tidak dapat diprediksi langkah apa saja yang akan dijadikan.

Walau pun begitu, sejauh ini kedudukan status adat bagi masyarakat Batak Toba masih terjaga dengan baik. Ada istilah dalam bahasa batak berbunyi “mangkuling mudar i” yang bermakna sesuatu yang membuat nurani masyarakat batak terpanggil untuk melakukan ha; yang berkenaan dengan tradisi marganya.

Pada dasarnya saya tidak mengharapkan adanya perubahan dan penghapusan tradisi sinamot ini karena saya beranggapan ini diperlukan untuk harga diri, status sosial, dan kebanggaan keluarga. Namun, sekali lagi saya katakan bahwa akibat dari perkembangan zaman dan mengalirnya konsep postmodernisme di tengah-tengah masyarakat mampu melakukan hal yang tabu menjadi normal di sendi-sendi kehidupan manusia.

 

Penulis : Jefri Fernando

Mahasiswa Sastra Indonesia Unimed

 


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.