MEDANHEADLINES.COM – Sekularisasi dan sekularisme menjadi istilah yang sangat populer diperdebatkan oleh tokoh-tokoh masyarakat Indonesia, terkhususnya tokoh-tokoh intelektual agama Islam dan juga aktivis-aktivis Islam, di awal tahun 1970. Hal ini bermula saat Nurchlish Madjid (Cak Nur) mempersentasikan makalahnya yang berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” pada acara diskusi yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Pemuda Islam (GPI), Pelajar Islam Indonesia (PII), dan Persami (Persatuan Sarjana Muslim).
Dua peristilahan tersebut menuai kontroversi, meminjam perkataan Anies Baswedan dalam Kata Pengantarnya pada buku Cak Nur yang berjudul “Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan” mengatakan bahwa Cak Nur menggunakan terminologi ilmu-ilmu sosial Barat yang bagi sebagian besar kalangan Islam terasa masih asing dan beraroma Barat. Kontroversi dua istilah tersebut tidak berhenti pada tahun itu. Hingga tahun 80-an, 90-an bahkan sampai saat ini, masih banyak yang memperbincangkannya.
Cak Nur menjelaskan bahwa sekularisasi bukanlah penerapan sekularisme. Akan tetapi, Prof. Rasjidi, menolak pernyataan Cak Nur tersebut. Prof. Rasjidi menuduh bahwa Cak Nur mengartikan istilah “sekularisasi” semaunya Cak Nur saja. Selanjutnya, banyak tokoh-tokoh Islam “fundamental” menuduh bahwa Cak Nur menganut sekularisme.
Apakah Cak Nur mengartikan sekularisasi semaunya, sebagaimana yang dituduhkan oleh Prof. Rasjidi? Bagaiamanakah sekularisasi dan sekularisme dalam pandangan Cak Nur? Dan apakah Cak Nur menganut sekularisme, sebagaimana banyak kalangan menuduhnya?
Sekularisasi dan Sekularisme Menurut Cak Nur
Sebelum kita menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi, baiknya kita sedikit membahas proporsi istilah “Sekuler” dari segi bahasa. Hal ini sangat penting agar kita terhindar dari “tirani kata” seperti yang dikatakan oleh Samuelson. Nah, sebagaimana yang dijelaskan oleh Cak Nur dalam bukunya “Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan” bahwa kata “sekuler” dan “sekularisasi” berasal dari bahasa Barat, seperti bahasa Inggris, Belanda, dan lain-lain. Sebenarnya kata-kata itu berasal dari bahasa Latin, yaitu saeculum, yang artinya “zaman sekarang ini”. Dan kata “saeculum” adalah salah satu satu dari dua kata Latin yang berarti “dunia”. Kata lainnya yaitu mundus. Kata “saeculum” menerangkan kata waktu, kata “mundus” adalah kata ruang. Selanjutnya, lawan kata dari saeculum adalah eternum, yang berarti “abadi” dan digunakan untuk menunjukkan alam yang kekal abadi, yaitu akhirat.
Lebih lanjut lagi Cak Nur mengungkapkan adanya paralelisme peristilahan yang digunakan dalam bahasa Latin dan bahasa Arab (Al-Quran) yang berfungsi menunjukkan pengertian tentang dunia. Dalam Al-Quran, istilah untuk menunjukkan alam dunia dipakailah kata al-Dunya dan al-Adna, yang menerangkan kata tempat. Serta sering juga dipakai istilah al-Ula dan al-Awwal, yang berarti pertama, jadi menerangkan kata waktu.
Nah, itulah sebabnya dari segi bahasa an sich, penggunaan istilah sekuler tidak mengandung keberatan apa pun. Kita adalah makluk duniawi, sebelum kita meninggalkan dunia ini. Kata duniawi tersebut tidak masalah diganti menjadi kata sekuler, sehingga menjadi bahwa kita adalah makhluk sekuler. Hal itu bukan hanya benar secara kata, tapi secara kenyataan bahwa manusia sebelum wafat adalah makhluk sekuler. Mungkin banyak orang tidak dapat menerimanya dengan lapang dada dan pikiran yang terbuka. Hal itu disebabkan karena latar belakang pengetahuan yang berbeda.
Selanjutnya, apakah Cak Nur mengartikan sekularisasi dan sekularisme semaunya seperti yang dituduhkan Prof. Rasjidi? Bagaimanakah sekularisasi dan sekularisme menurut pandangan Cak Nur? Dan apakah Cak Nur berpaham sekularisme?
Prof. M. Dawam Rahadjo, walau ia tidak sependapat dengan Cak Nur, memberikan penjelasan bahwa Cak Nur bukanlah semaunya saja mengartikan sekularisasi dan sekularisme. Dawam Rahardjo menjelaskan bahwa sekularisasi Cak Nur memperoleh maknanya yang konkret sebagai desakralisasi terhadap segala sesuatu selain hal-hal yang benar-benar bersifat Ilahiah (transcendental). (Nurcholish Madjid, 2008:xxxii).
Sedangkan menurut Cak Nur sendiri, sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme, sebab sekularisme adalah sebuah nama ideologi, pandangan hidup yang tertutup dan berfungsi sangat mirip dengan agama. Sekularisasi bukan pula maksud hendak mengubah kaum Muslim menjadi sekularis (penganut paham sekularisme), tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang bersifat duniawi, dan meng-ukhrawi-kan yang ukhrahi.
Sekularisasi merupakan proses yang dinamis, tidaklah seperti halnya dengan sekularisme. Cak Nur menegaskan lagi, bahwa sekularisme adalah suatu paham, yaitu paham keduniawaian yang membentuk filsafat tersendiri dan pandangan dunia baru yang berbeda, dan bertentangan dengan agama, khususnya agama Islam.
Oleh karena itu, Cak Nur berpendapat bahwa sekularisasi yang bermakna proses menduaniakan yang bernilai dunia dan tidak mensakralkannya, karena hanya Tuhan lah satu-satunya yang sakral, menjadi suatu keharusan. Maka dengan tegas Cak Nur sangat menolak sekularisme. Alasan lain, karena sekularisme ini menjadi paham yang mengatakan bahwa kehidupan dunia ini adalah mutlak dan terakhir, tiada lagi kehidupan sesudahnya, yang biasa agama-agama mengatakannya Hari Kemudian. Kaum yang berpaham sekularisme ini, sebagaimana yang dikutip Cak Nur, dijelaskan dalam Quran Surah Al-Jatsiyah (45) ayat 24.
Penutup
Sekularisasi sudah menjadi suatu keharusan agar terpeliharanya Iman atau memurnikan sebenar-benarnya kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga kita katakan; Sekularisasi, Yes. Sedangkan menolak sekularisme merupakan keharusan pula, karena ia dapat mencemari kepercayaan monoteis (tauhid). Sekularisme ini menjadi pangkal ateisme dan politeisme, dan ideology yang bertentangan dengan agama. Sehingga kita katakan; Sekularisme, No!
Di hari memperingati wafatnya tokoh pembaruan pemikiran Islam di Indonesia ini, Cak Nur (wafat usia 66 tahun), yang ke-14 tahun (29 Agustus 2005 – 29 Agusutus 2019), pemikiran-pemikirannya perlu untuk digali kembali secara kritis (dengan membaca buku-bukunya). Kemajuan zaman, khususnya di Indonesia ini sudah lama ia prediksikannya. Sebagaiamana Cak Nur berpendapat, masalah kemanusiaan di zaman modern akan menjadi kompleks. Untuk itu, menurutnya perlu secara terus-menerus memikirkan kemajuan zaman ini dengan ilmu pengetahuan tanpa kehilangan nilai-nilai religiotas (agama).
Idenya tentang sekularisasi menjadi sangat relevan dalam kemajuan zaman teknologi digital, mengingat ia sangat banyak membicarakan bagaimana hubungan iman dengan ilmu, manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Cak Nur telah membuka jalan menuju tegaknya peradaban Indonesia. Semoga ide-ide pembaruan pemikirannya menjadi amal jariyah baginya dan bermanfaat bagi anak-anak Indonesia. Amiiin.
Penulis: Ibnu Arsib
(Penggiat Literasi di Sumut).