MEDANHEADLINES.COM – Persoalan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Sumatera Utara sepanjang tahun 2017 masih berada dalam kategori mengkhawatirkan. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, angka pelanggaran yang berhasil ditabulasi KontraS masih terbilang tinggi. Sepanjang tahun 2017, Kontras mencatat terjadi 118 kasus pelanggaran HAM yang dialami masyarakat sipil Sumatera Utara. Seabrek kasus pelanggaran HAM ini menyebabkan 94 orang terluka, 15 orang meninggal dunia dan 21 orang dikriminalisasi. Jumlah tersebut tidak jauh berbeda dari tahun lalu, dimana dalam catatan kami terjadi 123 kasus pelanggaran HAM.
Kondisi ini sesunggunya patut disesali, mengingat tahun 2017 seharusnya jadi pembuktian bagi Pemerintah, khususnya Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dalam menyelesaikan persoalan HAM di wilayahnya. Terlalu muluk-muluk jika persoalan penegakan HAM di Sumatera Utara digantungkan pada tahun 2018, dimana seluruh Steak Holder pasti disibukkan dengan momen tahun politik.
Berdasarkan klasifikasi, ada tiga jenis pelanggaran HAM yang paling menonjol di Sumatera Utara sepanjang 2017. Pertama, persoalan konflik agraria. Kedua, penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh aparat keamanan Negara. Ketiga, ancaman terhadap kebebasan berserikat, berekspresi dan menyampaikan pendapat. Potret yang sebenarnya tidak jauh berubah dari gambaran pelanggaran HAM di tahun-tahun sebelumnya. Dalam praktek dilapangan, ketiga jenis pelanggaran HAM ini bisa saja saling berkaitan satu sama lain. Dalam beberapa kasus, konflik agaria yang diawali oleh persoalan masyarakat versus perkebunan yang saling klaim kepemilikan tanah akhirnya bermuara pada tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan kepada masyarakat yang sedang berdemonstrasi menyampaikan pendapat.
Dari sisi aktor, Kepolisian masih mendominasi pelaku pelanggaran HAM. Kkepolisian terlibat dalam 39 kasus pelanggaran HAM yang terjadi. Disusul berikutnya oleh TNI sebanyak 20 kasus, dan Satpol PP 10 kasus. Pendekatan penyelesaian masalah menggunakan cara-cara kekerasan menjadi satu fenomena yang hingga saat ini belum bisa dihilangkan oleh pihak kepolisian. Dibanyak kasus, kepolisian justru melakukan penegakan hukum dengan cara-cara yang dinilai justru melanggar hukum.
Aktor Pelanggar HAM Di Sumatra Utara
Ambil contoh dalam hal pengendalian masa saat demonstrasi mahasiswa memperingati hari pendidikan nasional tanggal 2 Mei 2017. Mahasiswa yang dianggap melakukan tindakan anarkis justru harus dihentikan dengan cara kekerasan, dipukuli hingga 1 orang harus dirawat intensif di rumah sakit, untuk kemudian ditahanan dan dijadikan tersangka. Proses penahanan yang dalam amatan kami begitu banyak menabrak berbagai prosedur yang berlaku. Aktor lain yang menjadi sorotan dalam praktek pelanggaran HAM di Sumatera Utara adalah TNI. Dalam beberapa kasus, TNI bahkan terlibat langsung dalam bentrokan imbas konflik agraria dengan masyarakat.
KONFLIK AGRARIA
Konflik agraria tetap signifikan dalam mewarnai catatan kelam pelanggaran HAM di Sumatera Utara. Sebagai daerah tambang dan perkebunan Potensial, Sumatera Utara memang belum bisa lepas dari konflik pengelolaan Sumber Daya Alam. Jika pada tahun 2016 terjadi 49 titik konflik agraria maka sepanjang tahun 2017 KontraS mencatat terjadi 43 kasus yang mengakibatkan 27 orang luka-luka dan 11 orang dikriminalisasi.
Tanah-tanah di areal Eks HGU PTPN II menjadi zona paling rawan terjadi bentrok dengan menyumbang 12 kasus. Sejak tahun 2002 hingga sekarang persoalan tanah-tanah eks HGU PTPN II belum juga menemukan formulasi penyelesaian. Dari sisi aktor, bentrok di areal Eks PTPN II tidak lagi hanya berlangsung secara vertikal (antara masyarakat vs perkebunan). Namun, sepanjang tahun 2017, konflik juga di dominasi perebutan lahan antara petani penggarap, mafia, kelompok tani dan para organisasi kepemudaan yang saling klaim kepemilikan lahan di areal tersebut.
Persoalan lain adalah terkait penyerobotan lahan milik masyarakat yang dilakukan Perusahaan Perkebunanan. Secara umum, penyerobotan lahan yang berujung konflik antara masyarakat versus perkebunan terjadi dalam 3 zona. Pertama,di areal HGU. yakni HGU yang terbit sebagai dasar perusahaan perkebunan beroperasi justru berada dalam kawasan masyarakat hidup dan berkehidupan. Kedua, tanah Non HGU. yakni kondisi dimana perusahaan justru mengelola tanah diluar luasan HGU yang diterbitkan. Ketiga, Konflik di tanah-tanah eks HGU. Persoalan agraria di Sumatera utara juga diwarnai Penggusuran sepihak atas nama pembangunan terhadap masyarakat di Kota besar seperti Medan dan praktek pelanggaran hak atas lingkungan.
TINDAK KEKERASAN APARAT KEAMANAN
Prilaku aparat keamanan yang masih menggunakan cara-cara kekerasan menjadi satu momok menakutkan bagi masyarakat sipil di Sumatera Utara. Hasil tabulasi sepanjang 2017, kami mencatat 59 kasus kekerasan yang dilakukan aparat keamanan Negara (polisi dan TNI). Sorotan khusus diberikan pada praktek penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi. Dalam konteks ini terjadi 9 kasus dugaan penyiksaan yang mengakibatkan 4 orang meninggal dunia. Angka tersebut mengalami peningkatan 4 kasus dari tahun sebelumnya (5 kasus). Ironisnya dugaan praktek penyiksaan itu sebagian besar justru terjadi didalam sel tahanan. Apa yang dialami oleh Rifzal Riandi Siregar, seorang tahanan yang tewas dalam sel Polsek Batang Toru bisa bisa menjadi contoh.
KEBEBASAN BEREKSPRESI DAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT
Tahun 2017 diwarnai dengan maraknya fenomena pembungkaman demokrasi melalui tindakan represif terhadap aktifis/organisasi mahasiswa. Hal ini dibuktikan dengan adanya pelarangan melakukan demonstrasi di kampus, ancaman DO oleh rektorat, intimidasi menggunakan aparat TNI, tindak kekerasan, upaya kriminalisasi maupun penggerebekan sepihak sekretariat organisasi mahasiswa. Berbagai peristiwa tersebut menjadi catatan kelam yang dialami gerakan mahasiswa sepanjang tahun 2017.
Upaya pembungkaman demokrasi juga tercermin dari tingginya kasus kekerasan yang dialami oleh jurnalis di Sumatera Utara. Dalam catatan KontraS, terjadi 13 kasus kekerasan terhadap jurnalis Sumatera Utara. Angka ini meningkat drastis dari tahun sebelumnya (8 kasus). Lemahnya penegakan hukum atas kasus yang menimpa para jurnalis bisa saja menjadi preseden buruk yang mengakibatkan angka kekerasan terhadap jurnalis semakin tinggi ditahun-tahun berikutnya.
PENUTUP
Berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di Sumatera Utara sesungguhnya bukanlah jenis pelanggaran yang baru. Lebih dari itu, praktek pelanggaran tersebut merupakan masalah klasik yang tidak kunjung mampu diselesaikan, atau seminimalnya diminimalisir. Kondisi semakin mengkhawatirkan melihat sulitnya para korban mendapatkan akses atas keadilan. Dalam kasus-kasus kekerasan yang melibatkan aparat keamanan Negara, banyak proses pencarian keadilan justru menemukan jalan buntu. Mekanisme dan prosedur yang berlarut-larut serta upaya melindungi korps menceriminkan bahwa Impunitas masih tumbuh subur di Sumatera Utara. Kondisi diperparah dari minimnya kepedulian Pemerintah Daerah (baik Kabupaten maupun Provinsi) dalam menyikapi kasus-kasus pelanggaran HAM. Tidak adanya kebijakan konkret dalam menyelesaikan persoalan yang berkaitan dengan Konflik Agraria adalah satu bukti dari banyaknya bukti lain bahwa Negara masih alpha dalam tanggung jawab menghormati, melindungi dan melakukan penegakan HAM bagi masyarakat Sumatera Utara.
Koordinator Badan Pekerja KontraS Sumatera Utara
Amin Multazam